《BRAINWASH》7. WONDERSTRUCK
Advertisement
Mulanya kupikir ospek bakal mengerikan. Tugas-tugas aneh dan hari-hari penuh omelan dari senior. Nyatanya, aku malah menikmatinya. Memang, sih, tugas membawa barang yang namanya di ganti pakai clue itu memusingkan. Tapi, justru tugas itu yang membuat aku dan Erlangga jadi lebih dekat. Setiap pulang ospek, kami mampir dulu ke angkringan di dekat kampus untuk memecahkan teka-teki. Setelahnya, kami juga pergi bersama untuk membeli tugas-tugas itu.
Aku sempat khawatir kalau kami akan menjauh ketika masa orientasi Maba selesai, tapi kekhawatiranku enggak terbukti. Sebaliknya, kami jadi lebih sering bersama. Mungkin karena kami memiliki kesamaan, sama-sama enggak suka keramaian dan agak susah bergaul. Itu yang membuat kami seperti saling bergantung satu sama lain. Meski begitu, kami enggak benar-benar menutup diri, kok. Kami juga memiliki teman lainnya seperti Lila, gadis manis berhijab yang berasal dari Demak. Ada juga Brian, cowok jangkung, berambut ikal dari Bandung.
Namun, dibandingkan dengan ketiga temanku yang lain, aku dan Erlangga memang jauh lebih sering bersama. Terlebih karena kelas kami selalu bareng di semester ini. Hal itu membuat kami jadi sering mengerjakan tugas bersama dan menghabiskn lebih banyak waktu berdua. Kalau ada tugas kelompok, Erlangga enggak pernah membiarkanku sekelompok dengan orang lain. Sebenarnya aku juga enggak berniat sekelompok dengan orang lain, tapi cara Erlangga membuatku senang.
Di antara hal yang membuatku enggak betah berada di Jogja, Erlangga menjadi satu-satunya penyemangatku agar tetap bertahan di kota ini. Aneh. Padahal kami baru saja saling kenal.
Erlangga berpenampilan modis. Wajahnya yang tampan dengan rahang dan tulang hidung yang tegas semakin menambah daya tariknya. Dia cocok banget jadi anak bad boy atau idola kampus yang pacarnya rentengan. Tapi, Erlangga justru memilih menghabiskan waktu di perpustakaan bersamaku. Padahal, banyak banget cewek-cewek yang jelas menginginkan menjadi kekasihnya. Enggak jarang cewek-cewek itu melemparkan tatapan sinis padaku.
"Mai, habis kelas kalkulus kita ke taman pintar, yuk," ajak Erlangga saat kami tengah mencatat materi sistem koordinat cartesius dan grafik persamaan.
Advertisement
"Ngapain?" desisku agar enggak terdengar oleh dosen kalkulus kami.
"Cari buku buat bahan tugas kita," sahut Erlangga dengan mendesis juga. Demi terhindar dari omelan dosen, aku menanggapi Erlangga dengan mengangguk.
Kelas berakhir satu jam kemudian. Kami langsung menuju parkiran di mana Erlangga memarkirkan motornya. Setelah memakai helm yang Erlangga berikan, aku langsung melompat naik ke atas motor Yamaha R25 ABS yang Erlangga kendarai hari ini. Erlangga pecinta motor sport. Baru dua minggu kuliah, ia sudah tiga kali mengendarai motor yang berbeda. Semua berjenis motor sport dengan harga yang enggak murah.
"Orang tua lo punya showroom motor, ya?" tanyaku saat kami berhenti di lampu merah. Helm yang kami gunakan dilengkapi dengan alat komunikasi agar kami tetap bisa mengobrol meski di tengah deru mesin.
"Enggak. Kenapa memangnya?" Dia bertanya balik.
Kuangkat bahu acuh. "Habisnya motor lo ganti-ganti terus. Kirain orang tua lo punya showroom atau pabrik motor," kataku enteng.
Erlangga menanggapi ocehanku dengan tertawa nyaring. Sampai motor kembali melaju, dia masih saja tertawa.
Kami langsung berkeliling kios buku-buku yang terletak di daerah taman pintar. Erlangga terlihat asyik bersama buku-buku. Dia enggak cuma membeli buku pendukung tugas kami, tapi dia juga membeli buku-buku lain. Pantas saja dia pintar, bacaannya saja beragam. Dari mulai buku-buku Mipa yang tebal, pengetahuan umum, bisnis, otomotif sampai novel-novel filsafat dan sajak dinikmatinya.
Sambil berkeliling, Erlangga juga menjelaskan tentang buku-buku apa saja yang dipegangnya. Dia juga bercerita buku-buku kesukaannya. Aku bukan penikmat buku sajak dan filsafat seperti Erlangga. Jadi, aku enggak begitu hafal dengan judul dan nama penulis yang Erlangga katakan. Hnya satu judul buku yang mampu kuingat, yaitu Aljabar Rindu. Judul yang aneh dan enggak biasa membuatnya mudah terekam oleh otakku.
Satu buku yang dipajang oleh salah satu kios menarik perhatianku. Gambar sampulnya membuatku ingin melihat buku itu lebih dekat lagi.
"Ngga, ke sini bentar, ya," ajakku tanpa menoleh pada Erlangga.
Advertisement
Waktu aku mau masuk, tiba-tiba saja tangan Erlangga menyentuh kepalaku dan menekan lembut agar aku merunduk. Sontak aku menoleh ke belakang. Satu sudut bibir Erlangga ditarik ke atas. Dengan gerakan mata, Erlangga menunjuk palang pintu yang berada tepat di atas kepalaku. Dia memberi kode bahwa kepalaku hampir saja terantuk kusen pintu kios yang rendah.
"Hati-hati, Mai," ucap Erlangga pelan sambil berjalan meninggalkanku yang masih terpaku.
Bukan hanya soal perhatian kecil Erlangga, tapi mata kami yang sempat bersitatap dalam membuat jantungku memacu cepat. Aku yakin pipiku sudah bersemu merah karena rasanya panas.
Norak! Maira norak!
Masa baru dibegitukan saja sudah geer! Dasar amatir!
Sudah kubilng, kan, kalau Erlangga memiliki segalanya yang bisa mendukung dia jadi cowok idola di kampus. Namun, sahabatku ini malah memilih jadi manusia lurus yang ogah neko-neko. Dia bahkan enggak terlalu suka kongkow dengan anak-anak lainnya yang mulai membentuk geng. Dibandingkan Brian yang masih suka kumpul sama anak-anak satu angkatan dan kadang bolos bareng, Erlangga jauh dari kata itu.
Mungkin hal itu yang membuatku tertarik padanya. Selalu ada kenyamanan saat bersama Erlangga.
Dulu di sekolahku ada satu cowok, namanya Dendi. Papanya pemilik percetakan besar hasil warisan turun-temurun dari zaman penjajahan Belanda dulu. Mamanya pemilik pabrik gula terbesar. Dibesarkan dengan harta kekayaan membuat Dendi menjadi idola di sekolah. Banyak banget cewek mengantre untuk jadi pacarnya. Padahal, Dendi terkenal suka mempermainkan cewek. Dia juga sering banget modusin dan gombalin siswi di sekolah. Dendi dan Erlangga seperti dua kutup yang sama, saling bertolak belakang. Sifat Erlangga membuatku takjub.
Selama ini kupikir cowok itu memang suka memamerkan kekuasaan dan kehebatannya demi sebuah pengakuan, juga agar menarik banyak lawan jenis. Tapi, Erlangga enggak melakukannya. Dia bahkan enggak peduli dengan penilaian orang di sekelilingnya.
"Mai, pulangnya aku antar aja, ya," pinta Erlangga saat kami selesai membeli buku terakhir.
Sebenarnya, ini bukan pertama kali Erlangga berniat mengantarku pulang, tapi selalu kutolak. Aku juga enggak tahu alasan pasti kenapa menolaknya. Namun, kali ini sepertinya aku enggak bisa menolaknya lagi. Aku mengangguk untuk menyetujui tawaran Erlangga.
Erlangga mengantarku sampai ke depan rumah. Aku enggak menawarinya mampir karena aku enggak ingin Erlangga bertemu dengan mama Ambar ataupun Evalia. Aku malas saja mengenalkan dua orang perebut kebahagiaan itu pada Erlangga.
Setelah hari itu, Erlangga jadi sering menjemput dan mengantarku. Dia juga enggak mempermasalahkan soal aku yang enggak menawarinya mampir. Dia juga enggak pernah bertanya-tanya soal keluargaku.
Kebersamaanku dengan Erlangga membuat aku enggak lagi memusingkan soal papa mengantarkan siapa. Erlangga benar-benar membuatku menikmati masa-masa perkuliahan dan persahabatan kami.
Iya, sahabat. Aku enggak bisa mengatakan lebih. Toh, kenyataannya memang enggak ada hal spesial di antara kami. Ya, kecuali perasaanku yang semakin lama terasa semakin aneh padanya. Aneh karena aku selalu senang ketika bersamanya.
💜💜💜
Advertisement
The Rise of the White Lotus
The downfall of the infamous white lotus, Lexi Yang led her to the only escape she knew -- SUICIDE. Born with a golden spoon, having all the privileges being the young miss of the prestigious Yang family, Lexi Yang was the type of person that whatever she wants, she gets. However, fate must have challenged her the moment she fell in love with the domineering CEO of Liu Empire. Alas, just like in every romance novels, Morris Liu fell for another woman who's kind, fragile, and gentle. Due to her intense desire to gain Morris Liu's love, she has done extreme vicious deeds. But in the end, everything backfired on her. Now, on her death moment, just as her vision went to a pitch black abyss, a cute minion voice was heard. "Chuchururu~! CONGRATULATIONS! Your viciousness score surpassed the preliminary test! To receive full access to the 'otome love system', here's the initiation main task -- make your ex-fiance's bestfriend fall in love with you!"
8 9447Come Back To Me, Kiwi.
Vidal Ferrari is an engineer who's ready to start his own family but with no suitable woman in sight. His wealth seems to attract the wrong kind of girl and he's becoming restless. He's a large rough man who is only ever gentle with his nieces. But he knows that'll have to change if he wants to find himself a wife.Kiara is a heavily traumatized young woman, stuck in an awful facility for sixteen years of her life. Trained to be enslaved and sold. She never had a childhood, never felt love of any kind. When she's saved from the facility, she lands in a hospital in Vancouver. She's in desperate need of someone to look after her and help her heal. Someone gentle and never rough. Can these two find the love they need in each other?Will Vidal be able to be the gentle, careful man that Kiara needs?Will Kiara ever heal from the deep scars her life has left her with?Can the engineer and the scared girl truly be the ones for each other?---"Kiwis..." He said softly. I examined them, seeing how some had some white parts and some were free of the black specks."I like these a lot." He smiled. He brought one to my lips and I bit into it. It was very different from the others. Much less sweet."These ones match your eyes, don't they? Your pretty green eyes." He said to me, wiping away more of my tears while I was too distracted by the explosion of flavour in my mouth.I rubbed my irritated eyes and he fed me another kiwi slice. It tasted good but it made my body shiver a little from the little sting it had in its taste."Is it too sour? Sorry about that." He chuckled, gently raking his fingers through my hair as I relaxed a little.I wanted more. I liked kiwi."You want more?" He asked me.I looked at the kiwi and then at him. He really, really wanted me to talk. He fed me the rest of the kiwi pieces even though he hadn't gotten an answer from me and then he smiled."All done." He said to me, brushing my hair away from my face with a smile.
8 150Have a Little Faith
Faith Cox did not expect to get a divorce for Christmas, but there it is. So instead of taking her second honeymoon with her husband, she finds herself on the beach. Crystal clear water isn't all she finds in the Caribbean. A reverse harem Christmas romp, with three alpha males who want nothing more than to make their mate happy, and steamy bits that are intended for adult audiences only, that ends in a Christmas sized HEA.
8 91Kakanaru: The pain behind Naruto's mask
Naruto is a boy who has been abused by his village. To reduce the number of beatings he is forced to endure, he pretends to be a happy go lucky dead last idiot. Secretly though, he trains with Kurama to become strong. After he graduates he lets go of his mask, tired of having to pretend to be happy. Kakashi, Naruto's teacher, can't understand why this child is so different from the file. As time passes, Kakashi finds himself growing closer to the boy who's eyes look older than they should.
8 175The Dead Poets
The year is 1959, and for its very first time, Welton Academy Boarding School is now accepting female students. Violet Ross is not only one of those girls, but the only girl in the graduating class. She feels as though she must face her fears entirely alone, until she comes across a quirky group of boys. Also known as The Dead Poets. Violet soon finds herself becoming rather close with one in particular..."I'm not entirely sure I even knew what constituted 'love,' until I had met him. Now the mere thought of him made me ache to be with him, to look at him, to touch him. I couldn't quite put my feelings into words. Even as I try, few seem to suffice. An entire sea of ink could not adequately describe my feelings towards him. It was almost as if all the stars in the sky were condensed into a single, twinkling one. The only words I felt could convey some of what I felt for him, easily fell from my lips. ' I love you, too.'"
8 81Believe Me, I'm Lying
When 17 year old Harley finds herself jobless, she needs a new job-- and quick. Her uncle comes to her house with a job offer. For her to become a teacher at his school. A school for delinquents.Watty Awards 2010 Winner of Best Overall, Best Romance, Best Female Lead, and Best Cast!
8 98