《BRAINWASH》30. SURPRISE

Advertisement

“Iya, Ma. Oke. Wa’alaikum salam.” Setelah menutup telepon, segera kuminum sampai habis jus strawberry yang isinya kurang dari setengah gelas.

“Gimana?” tanya Erlangga penasaran dengan perbincanganku di telepon dengan Mama.

“Kata mamaku, kita bikin jarak dulu, diem sebentar sambil mikir strategi baru.” Aku terdiam sejenak untuk berpikir dan menunggu tanggapan Erlangga.

“Mai, aku ada ide nih. Gimana kalau kita lihat keadaan keluarga papamu setelah kamu pergi. Kita jadi mata-mata gitu.”

Aku tertawa mendengar ide Erlangga. Ide yang menurutku sia-sia dilakukan. “Buat apa? Buang-buang energi aja. Mereka jelas bahagia setelah aku angkat koper dari rumah mereka.”

“Ayo kita buktikan, mumpung udah enggak ada kuliah lagi nih,” seru Erlangga bersemangat.

“Udahlah, Ngga. Enggak ada gunanya. Apa kamu mau lihat aku makin merana setelah melihat mereka lebih bahagia? Mending kamu bantu aku mikir gimana caranya merebut hati papaku meski dalam keadaan berjauhan begini.”

“Oke, kita bikin kesepakatan. Kita lihat dulu keadaan keluarga papamu, baru memikirkan tak tik apa untuk meraih hatinya lagi.” Erlangga mulai melakukan penawaran-penawaran.

Dengan berat hati aku setujui saja ide Erlangga, kan yang penting nanti dia mau menyumbangkan otak encernya untuk memikirkan tak tik merebut hati Papa. Kami berdua pun pergi ke tempat laundry Mama Ambar yang letaknya sekitar tiga kilometer dari kampusku. Namun, sebelum sampai tempat laundry Washy-washy milik Mama Ambar, Erlangga membeli sandal jepit untuk dipakai. Sedangkan sepatunya ia masukkan ke kantong plastik untuk dicuci. Tempat laundry Mama Ambar memang menerima pencucian sepatu dan tas juga.

Sementara Erlangga masuk ke tempat laundry, aku menunggu di depan sebuah toko yang sudah tutup. Di mana lokasinya enggak terlihat dari tempat laundry Mama yang berlogo huruf “W” besar berwarna biru dengan empat gelembung sabun warna putih di sekitarnya. Aku menunggu sampai kakiku lelah berdiri dan kerongkongan kering karena cuaca Jogjakarta hari ini sedang panas-panasnya. Karena air minum bekalku habis, aku pun mencari kedai kopi terdekat untuk memesan es kopi. Kukirim pesan WA pada Erlangga agar nanti menemuiku di kedai kopi.

Advertisement

Setelah menandaskan segelas es kopi, kulihat jam berbentuk jangkar kapal yang menempel di dinding kedai. Erlangga sudah pergi selama 40 menit, tapi kenapa enggak muncul juga sih. Kukirim pesan lagi padanya. Setelah menunggu sepuluh menit, akhirnya Erlangga datang juga.

“Lama banget,” protesku sebelum Erlangga sempat duduk.

“Dengarkan ceritaku, jangan disela. Kalau ada pertanyaan simpan dulu. Kalau kamu takut lupa karena ceritaku panjang, mending siapkan kertas sama pulpen.”

Aku menelan ludah mendengar perkataan Erlangga.

“Dengar, saat aku datang tadi, Tante Ambar sendiri yang melayani. Dia mengenaliku. Dia bilang, “Erlangga temannya Maira, kan?” Bukannya menanyakan barang yang akan kucuci, Tante Ambar malah menanyakan keberadaanmu.”

Kata Erlangga, Mama Ambar terlihat sedih saat Erlangga mengatakan datang sendiri. Mama Ambar menanyakan keadaanku. Mama Ambar juga mengutarakan kekecewaan kepada Papa karena tega menyuruhku indekos. Saat Erlangga akan berpamitan, Mama Ambar menahan Erlangga. Dia menyuruh Erlangga untuk menunggu sebentar karena ingin menitipkan sesuatu untukku. Mama Ambar bergegas pergi dengan meminjam motor salah satu pegawai. Setelah Erlangga menunggu 30 menit, Mama Ambar datang dengan membawa kantong plastik besar yang isinya penuh.

“Kamu tahu isinya apa, Mai?” Erlangga melempar senyum. “Ada tiga pak berisi potongan buah, roti, selai, makanan ringan, susu, mi instan dan pasta instan. Kita bisa pesta nanti, Mai. Aku ajak teman-teman, ya?”

“Sudah ceritanya?” Aku yakin, Erlangga pasti berlebihan.

“Belum. Tante Ambar juga meminta bertukar nomor HP denganku. Tante bilang supaya hubungi dia kalau ada apa-apa sama kamu. Tante Ambar juga minta maaf kalau bakalan sering merepotkan aku untuk jagain kamu. Berasa spesial enggak sih kamu, Mai? Sampai Tante Ambar ingin aku jadi bodyguard-mu.”

Jujur saja, aku sempat kaget mendengar cerita Erlangga. Ingin banget aku menyela, tapi cowok berbibir tipis di depanku ini melarang.

“Mai, waktu aku mau berpamitan, Papa kamu menelpon Mama Ambar. Dari situ aku tahu kalau mereka janjian bertemu sebelum papamu meeting.”

“Kamu yakin yang menelepon itu papaku?” tanyaku enggak percaya.

Advertisement

“Tante Ambar sendiri yang bilang waktu aku berpamitan. Katanya, “Tante juga mau pergi, dijemput papanya Maira. Kamu hati-hati di jalan, titip salam buat Maira” gitu.”

“Beneran?” Lagi-lagi kuutarakan rasa enggak percaya.

“Ayo kita buktikan. Kita buntutin ke mana mereka pergi.” Erlangga mengatakan ide gilanya dengan sinar mata berbinar-binar. “Ayo, kita berangkat sekarang.”

Sesampainya di area parkir, Erlangga mengangsurkan kantong plastik besar berlogo minimarket terdekat. Kaget juga saat aku menerima kantong itu. Berat. Saat kulihat isinya, ternyata sama seperti apa yang dikatakan Erlangga tadi. Aku jadi merasa bingung. Apa maksud Mama Ambar memberi makanan sebanyak itu. Setelah salat magrib di masjid terdekat, kami menunggu mobil Papa di dekat tempat laundry Mama Ambar. Menunggu sekitar 15 menit, kulihat mobil Papa melintas lalu berhenti tepat di depan Washy-washy. Mama Ambar langsung masuk mobil. Dengan menaiki motor Erlangga, kami mengekor mobil Papa yang mengarah ke Kotagede.

Aku bersyukur karena mobil Papa berhenti di sebuah rumah makan yang ramai. Entah ada acara apa. Yang jelas, kami jadi bisa berbaur dengan pengunjung yang lain. Saat Mama Ambar dan Papa duduk secara bersisian, Erlangga memaksaku untuk mendekati mereka. Kami duduk di belakang mereka. Sumpah! Ini ide yang nekat dan berbahaya. Gimana kalau kami ketahuan? Kabar baiknya, kami jadi bisa menguping pembicaraan keduanya. Dari situ aku harus menelan kenyataan pahit. Aku harus mengakui kalau Papa dan Mama Ambar ternyata saling menyayangi. Mereka juga tulus menyayangiku. Mama Ambar juga bercerita dengan nada riang saat bertemu Erlangga. Diucapkannya sedikit doa-doa untukku. Erlangga segera mengajakku keluar rumah makan saat perbincangan mereka seperti akan meninggalkan tempat ini.

“Sekarang mau ke mana? Kita harus tahu keadaan Evalia juga.” Erlangga mengangsurkan helm kepadaku sesaat kami sampai di area parkir.

“Aku lihat Instagram-nya dulu. Siapa tahu dia kasih tahu lagi ada di mana,” jawabku sambil mengambil ponsel.

“Iya, biasanya kan posting foto atau bikin siaran langsung.”

Kulihat foto terakhir pada akun Instagram Evalia. Betapa terkejutnya aku saat melihat sebuah foto yang sangat aku kenal. Foto itu berupa siluet seseorang yang tengah duduk memandang laut. Foto yang diambil dari belakangku saat berada di bukit Pengilon . Foto itu mengingatkanku akan kenangan di pantai bersama Evalia. Betapa bahagianya aku saat bermain air di pinggir pantai. Manik mataku beralih pada caption foto itu. Dan sekali lagi aku dibuat kaget saat membacanya. Evalia mengungkapkan rasa kagum, bangga dan rindunya kepadaku. Kedua mataku berkaca-kaca dibuatnya. Aku terenyak dan bingung harus berbuat apa. Akhirnya kuajak saja Erlangga kembali ke indekosku.

Di indekos, kami duduk di teras yang menjadi ruang tamu. Erlangga sibuk dengan keripik singkong yang diberi Mama Ambar, sedangkan aku sibuk memikirkan apa yang harus aku lakukan setelah tahu keadaan keluarga Papa.

“Kok diem, Mai? Laper?” tanya Erlangga.

“Aku bingung harus gimana, Ngga. Aku enggak menyangka kalau selama ini disayangi dan selalu diperhatikan,” jawabku sambil menatap jalan di depan indekos yang terlihat lebih sepi dari biasanya. Padahal jarum jam belum menunjuk pukul sembilan malam.

“Kamu terlalu fokus sama dendam dan rasa bencimu, Mai. Emm, jadi … jadi … enggak sadar sama perharian yang orang-orang kasih.” Erlangga kini sibuk memukul-mukul pahanya dengan kepalan tangan, bikin enggak nyaman aja melihatnya.

Alih-alih menegurnya, aku hanya meliriknya dengan pandangan enggak suka.

“Mai, kamu enggak capek begini terus?” tanya Erlangga sambil sesekali memukul pahanya.

“Begini gimana?”

“Ya, bersikap cuek begini. Emm, kamu, kamu enggak sadar kan kalau perhatianku ke Kamu karena … emm, aku sebenarnya suka sama kamu.”

Pengakuan Erlangga sangat mengagetkanku. Karena selama ini aku berpikir jika Erlangga menyukai Evalia. Erlangga tersenyum hangat. Sambil mengusap kepalaku, Erlangga bilang kalau seharusnya aku bisa lebih peka dengan semua perhatian dan perlakuannya selama ini padaku. Semua yang Erlangga lakukan untukku sudah cukup membuktikan perasaannya padaku.

people are reading<BRAINWASH>
    Close message
    Advertisement
    You may like
    You can access <East Tale> through any of the following apps you have installed
    5800Coins for Signup,580 Coins daily.
    Update the hottest novels in time! Subscribe to push to read! Accurate recommendation from massive library!
    2 Then Click【Add To Home Screen】
    1Click