《BRAINWASH》29. ANGKAT KOPER
Advertisement
Selesai kuliah, aku pulang ke rumah Papa diantar Erlangga. Tadinya aku mengajak Erlangga untuk mampir tapi dia menolak. Saat melintasi ruang tengah aku dikejutkan dengan kehadiran Mama Ambar yang sedang menelepon. Pandangan kami sempat bertemu tapi Mama Ambar segera masuk kamar tanpa menyapaku. Aku terus berjalan menuju kamarku. Saat akan membuka pintu, pintu kamar Evalia terbuka. Dia keluar hanya sedetik, lalu masuk kamar lagi ketika pandangan kami beradu. Halooo, kenapa semua jadi bersikap dingin begini? Semalam aku enggak pulang pun Papa enggak meneleponku. Sudah sebenci itu kah kalian padaku?
Enggak peduli dengan rasa lelah yang masih bergelayut di tubuh, kukemasi barang-barang dan pakaian ke dalam koper. Masih setengah barang yang masuk koper, rasa bimbang mengusik. Apa keputusan keluar dari rumah ini lalu indekos di dekat kampus merupakan keputusan yang tepat? Atau aku meminta maaf saja kepada Mama Ambar dan bertahan di sini? Kuacak-acak rambut sambil mondar-mandir di kamar, lalu kuempaskan tubuh ke atas kasur yang empuk. Aargh! Aku benar-benar bingung dan enggak tahu harus berbuat apa. Kuambil ponsel di nakas, menekan simbol warna hijau dan bergambar telepon. Kupencet kata “Mama”.
“Halo, iya, Sayang,” sapa Mama tanpa perlu aku menunggu lama. Tumben sekali.
“Assalamualaikum, Ma.”
“Waalaikumsalam, Sayang. Kok lemes suaranya? Lagi enggak enak badan?” tanya Mama penuh perhatian.
“Yang benar itu lagi enggak enak hati, Ma,” koreksiku.
“Cowok mana yang bikin kamu sakit hati?” tanya Mama dengan suara agak meninggi.
“Cowoknya Mama tuh, nyebelin! Udah deh Ma, aku mau menyerah saja. Aku pergi aja dari rumah ini, toh Papa udah enggak peduli sama aku lagi,” seruku kesal dan intonasi yang enggak kalah dengan suara Mama.
“Mai, Mama tahu kamu capek. Tapi sayang loh sama perjuangan kita yang udah sejauh ini. Ayo dong Mai bertahan dikit lagi, demi kita. Kamu masih ingin kan punya keluarga utuh yang harmonis?” Mama mulai merayuku.
Advertisement
“Tapi aku males banget minta maaf ke Tante Ambar dan Evalia. Tadi aja mereka cuekin aku,” keluhku
“Mai, kamu enggak perlu minta maaf ke Ambar atas apa pun. Kamu fokus ke Papa aja, oke? Minta maaf dan rayu Papa buat mengambil hatinya lagi. Nanti Mama akan menelepon Papa agar enggak memarahi kamu lagi.”
Setelah Papa pulang, semua berkumpul untuk makan malam. Aku terpaksa ikut makan bersama karena enggak kuat menahan lapar sampai mereka meninggalkan ruang makan. Cuma denting sendok garpu beradu dengan piring yang meramaikan meja makan. Hanya ada dua percakapan antara Papa dan Mama Ambar sepanjang makan malam. Aku merasa enggak nyaman banget. Jadi ge-er sendiri, jangan-jangan karena adanya aku yang bikin mereka irit bicara? Cepat-cepat kuhabiskan makanan lalu minum sebanyak-banyaknya biar perut makin kenyang. Setelah itu aku berpamitan masuk kamar.
Di dalam kamar, kukeluarkan beberapa pakaian dan barang yang sempat kumasukkan ke dalam koper. Kususun lagi ke dalam lemari baju dan meja belajar. Untuk saat ini kuturuti saja perintah Mama untuk kembali fokus ke Papa. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pada pintu kamarku diiringi panggilan dari Papa.
“Iya, Pa?”
“Lagi belajar ya? Papa mau ngomong sebentar. Emm, boleh Papa masuk?” pinta Papa.
“Emm, nanti aku temui Papa di ruang tengah.”
“Oh, kalau gitu kita bicara di taman belakang aja.”
Aku masuk kamar sebentar hanya untuk menghabiskan segelas air putih di nakas. Aku menarik napas berulang kali untuk menenangkan diri agar enggak gugup saat ditanya Papa. Aduh, kok berasa presentasi tugas di depan kelas aja sih.
“Fokus mengambil hati Papa aja, Mai,” ingatku pada diri sendiri sambil berbisik.
Taman belakang merupakan area terbuka yang terletak di dekat laundry room. Selain taman yang ditumbuhi berbagai jenis bunga, perdu, dan pohon mangga, ada kolam ikan koi berbentuk huruf “L” dan gazebo. Kulihat Papa duduk di gazebo sambil menatap kolam ikan.
“Papa,” panggilku.
Advertisement
Papa menggeser tubuhnya, memberi tempat untukku duduk. Aku duduk di samping Papa dengan perasaan enggak menentu. Merasa bersalah sekaligus marah karena Papa enggak memedulikanku.
“Mai, emm ... untuk sementara Maira indekos dekat kampus dulu, ya.”
Aku terkesiap mendengar perkataan Papa. Sengaja aku diam sejenak untuk memastikan, apa Papa tadi enggak salah bicara?
“Emm, ada teman Papa yang punya rumah indekos dekat kampus Maira,” lanjut Papa dengan muram.
“Kenapa?” hanya satu pertanyaan itu yang sanggup keluar dari mulutku.
“Biar rumah lebih tenang dulu.”
“Oh, jadi selama ada aku keadaan rumah enggak tenang gitu ya, Pa? Oke.” Aku segera meninggalkan Papa dengan perasaan hancur.
Aku memang berniat indekos, tapi kalau Papa yang memintaku itu sama artinya kalau Papa benar-benar enggak menginginkanku. Ini namanya pengusiran secara halus yang rasanya berlipat-lipat menyakitkan. Kumasukkan kembali baju dan barang-barang ke dalam koper sambil berderai air mata. Sekali lagi kuamati sekeliling kamar barangkali saja ada barang yang tertinggal. Aku segera menuju ruang tengah menunjukkan kesiapanku angkat kaki dari rumah ini. Di sana ada Papa, Mama Ambar, dan Evalia yang sibuk dengan laptopnya. Papa kaget saat melihatku yang sudah siap dengan koper dan dua tas lainnya. Papa mengatakan bahwa besok mengantarku ke indekos temannya. Hati sudah telanjur terluka, aku ingin segera pergi dari rumah ini.
“Kita berangkat malam ini saja, Pa. Ada tugas yang harus aku selesaikan sekarang. Emm, ada banyak teman Maira yang indekos di dekat kampus, jadi bisa belajar bersama teman-teman.”
Aku juga mengatakan alasan-alasan yang lain agar Papa mau mengantar sekarang. Segera saja Papa menelepon temannya yang punya indekos dekat kampusku dan meminta menyiapkan kamar yang pernah dibicarakan. Hatiku makin sakit mendengarnya. Aku benar-benar enggak nenyangka kalau ternyata Papa sudah merencanakan untuk mengusirku. Mama Ambar yang tadinya kukira akan menahanku, malah pergi ke dapur. Saat kembali, kedua tangan Mama Ambar sudah penuh tas kain besar dan tas plastik yang berisi peralatan memasak dan makan.
***
Rumah indekos milik teman Papa merupakan rumah indekos di mana ada lima teman sekelasku yang indekos di sini. Aku biasanya juga sering ke sini untuk mengerjakan tugas kelompok. Kedatangan kami disambut teman Papa dan istrinya. Aku diberi kamar di lantai satu, dekat dekat dengan pintu gerbang. Setelah Papa pulang, segera kutelepon Erlangga.
“Halo.” Suara Erlangga terdengar parau, lalu terdengar suara menguap sebelum dia kembali berbicara. “Ada apa Mai?”
“Sudah tidur?” tanyaku heran. Karena biasanya dia hobi begadang.
“Ketiduran. Ada apa nih kok tumben jam segini menelepon?” tanya Erlangga lagi.
“Aku sudah pindah di indekos dekat kampus,” kataku malas.
“Apa? Maksudnya, kamu udah enggak di rumah papamu?”
“Iya, kamarku deket sama kamarnya Alya nih,” kataku kembali memberi info.
“Aku ke sana sekarang.”
“Ngapain? Udah malam, nih. Gerbangnya udah ditutup enggak boleh menerima tamu.”
Aku mendengar Erlangga mendengus, “Terus gimana?”
“Ya udah besok aja. Aku enggak menyangka banget kalau papaku udah mempersiapkan kepindahanku ke sini.”
“Rencanamu selanjutnya apa? Eh, mamamu sudah tahu?”
“Mamaku belum tahu. Besok aja aku kasih tahu. Emm, aku Juga belum ada rencana sih, tapi aku akan tetap berusaha membuat papaku bercerai dengan Mama Ambar dan rujuk dengan mamaku.
Erlangga menasehatiku dengan lembut untuk membuka hati menerima yang saat ini terjadi. Dia juga mengatakan andai papaku jadi bercerai dengan Mama Ambar, belum tentu papaku mau rujuk dengan Mama. Perkataan Erlangga mengingatkanku akan perbincangan dengan Mbak Arun. Mbak Arun yang mengatakan bahwa kita enggak bisa memilih keluarga dan gimana jalan hidup kita. Apa aku menyerah saja dan menerima bila harus hidup berpisah dengan Papa. Aku benar-benar bingung, apa lagi Mama memintaku untuk terus maju. Tapi bila aku enggak serumah dengan Papa lagi seperti ini gimana caranya aku bisa terus maju? Aargh!
Advertisement
Masters of Shadow and Light
Book 1 is completely posted and available to read. Masters of Shadow and Light will return for Book 2! When he begins training his body and power, eighteen-year-old Kieran finds himself facing a difficult decision. It's not whether or not he should become a Sivalshi Guardian, a protector of the peace of Sivalshi City, which rests on the back of a giant turtle floating through the ocean. No, when that choice comes, he answers it without hesitation. Kieran's choice is far more difficult than that Lucas is a handsome martial artist with the looks of a god and the ability to manipulate light itself. Kind and caring, Lucas goes above the call of duty to help Kieran with his training. Zane is a charming manager at his father's company and possesses the ability to turn to living stone. Friendly and outgoing, he gives Kieran a change of pace. The choice that Kieran will make is both simple and difficult at the same time. Which boy should he get with? Posting Schedule: Every 3 days.
8 1006Unraveling Secrets
"But... How can I be your mate?" She whispered, lowering her head. "I'm a human. Humans and werewolves can't be mates."Slowly, he reached for her face and tipped her chin up, forcing their eyes to meet. Though his expression was inscrutable, there was a perceptible fondness in his eyes whenever he looked at her."Who said I was a werewolf?"➳Highest rankings: - #3 in Wolf- #5 in Mate- #5 in Innocent- #4 in Protective- #11 in RomanceStories
8 208Forever His
A story about a most feared mafia leader that has a dangerous obsession with a young girl.They meet one night at a nightclub and one thing lean to another and they sleep together. What will happen will she fall in love with him or will she hate him. Find out in Forever His
8 96The Vampire's Pet
this story contains adult content!!!! read at own risk. I glared at the vampire before me, pressing myself against the bars of my 'cage' before dropping the glare and offering him my sweetest grin, "once I get out of her I'm going to kill alllll of you!" I swept my arms out wide, my grin turning feral, "I'm going to rip out all of your throats and see how you like your blood being drained from your neck." The vampire flashed his fangs at me in an equally menacing grin, "you can try that all you want, after the auction." I was tempted to spit in his face but I really did not want to be whipped...again. ~~~ Calla, an 18 year old human girl has always lived her life on the run, but was captured by vampires and forced into auction at a high end 'pet shop' where any wealthy vampire can buy her and proceed to do as they please until they decide to kill her. Pessimistic, rude, and short fused Calla is one hell of a handful, one most vampier's don't want to bother with...until him.THIS SHIT IS RATED MATUREin case you were curious this isn't labeled Mature on the wattpad rating thing because it won't let me change my fucking maturity thing.
8 346Uninvited | Jikook Smut |
"Come find me...I won't bite, I promise~"Jeon Jungkook is a twenty-one year old college student in his first year at Yonsei University to become a doctor. Of course, it was never his own choice to do so, but this was everything his wealthy family hoped him to be. However, he wasn't that bright when it came to medical subjects and he had no passion in whatsoever. When all hope was lost and Jungkook found himself ready to quit, his professor introduces him to a free tutoring site by graduated college students; an opportunity he just couldn't bring himself to reject. Eventually, Jeon Jungkook takes up the offer and meets his new tutor online, Park Jimin. Park Jimin; a handsome photographer, an absolute gentleman that travels around abroad. He carried a strong and pleasant smile each time he taught Jungkook or reviewed something with him. To Jungkook, he found his twenty-three year old tutor more than perfect compared to anything in this whole world! He was smart, handsome, and extremely patient. Jungkook was naive and in love... Or so he thought... 'Looks could be deceiving...right?'On the other hand, things start to take a dark turn when Jungkook realizes that there was always that one thing that bothered the young man about Park Jimin. Depicting Jimin from such a perfect and flawless King the boy always imagined him to be... Especially when Jimin comes back into Jungkook's life completely...'Uninvited.'Story Contains:-Jikook | TOP JIMIN/ BOTTOM JUNGKOOK |-Fluff-Smut (LVL: High) + Mentions of Masturbation -Strong Language -Violence -Use of drugsFor those of you who don't want to read Smut chapters, skip chapter names that end with a '~' For example:Chapter 5: (Chapter name)~°•You have been warned•°Start: February 25, 2019End: April 30, 2019
8 116Environmental Science
We all know the teen titans. The main five being Robin, Starfire, Beast Boy, Raven, and Cyborg. But what about the group we've never heard of? Consisting of the children of some of the most famous villains Gothams seen? Joker, Cat Woman, Scarecrow and newcomer Klarion the witch boy.Well this is their story, but rather than focus on all five, we focus on namely one Known as Venus, daughter of Poison Ivy. A nymph who's real name is Maira Isley, she is best friend of Jack Quinn, son of The Joker and Harley Quinn. She's been homeschooled all her life but now she has the chance to go to a real high school, with Jack and the other members of the 'Teen Misfits'. As well as meeting the and Titans who are under the guise of normal students. But what happens when she meets a certain boy named Victor Stone? And why can she only feel part of his physical presence?
8 77