《BRAINWASH》28. SEHANGAT ARUNIKA

Advertisement

Sesampainya di kafe dekat kampus, aku memesan minuman cokelat panas dan air putih. Selera makanku sudah hilang, ditambah perut yang enggak juga protes meski belum diisi nasi. Padahal aroma makanan menguar dan sudah mengusik hidung sejak aku membuka pintu Kafe. Setelah menunggu 45 menit, Erlangga akhirnya datang. Wajahnya menyiratkan rasa menyesal Karena sudah membuatku menunggu lama.

“Mai, sorry lama. Kamu sudah makan?” Tanya Erlangga sembari duduk di depanku.

“Belum. Aku enggak lapar.”

“Tapi kamu tetep harus makan, Mai.”

Tiba-tiba saja air mataku kembali tumpah. Erlangga tetap duduk dalam diam. Dia memberiku ruang untuk menangis sampai puas. Setelah tangisku surut, baru kumulai menceritakan apa yang terjadi di rumah.

“Aku pergi dari rumah, Ngga. Papa tadi nampar aku.” Bulir-bulir kembali memenuhi pulupuk mata, aku pun menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Mencoba menahan air mata agar enggak tumpah lagi.

Erlangga enggak juga mengeluarkan pendapatnya. Hanya menarik napas panjang.

“Aku enggak ngerti, Ngga. Rasanya aku udah enggak bisa bedain mana yang benar dan mana yang salah. Rasanya semua sikapku jadi salah semua di hadapan Papa.”

Aku diam sejenak, “Aku habis bikin rumah berantakan sampai mamanya Evalia enggak pulang tiga hari. Aku lakukan itu demi kaluargaku kembali utuh. Heran deh aku sama Papa, kok bisa-bisanya masih aja belain mamanya Evalia. Udah jelas-jelas dia pelakor yang bikin keluarga hancur.”

“Mai, kamu boleh sedih, nangis berjam-jam juga boleh. Tapi kamu harus tetep makan. Kamu harus sehat, enggak boleh sakit. Aku pesankan nasi goreng, ya?” tawar Erlangga.

Mendengar Erlangga menyebut nasi goreng, mengingatkanku akan menu makan malam yang kubuat tadi. Menu yang kubuat dengan tulus dan sepenuh hati hati untuk Papa dan Evalia berakhir di meja makan tanpa disentuh. Aku yakin, sampai saat ini pun pasti enggak ada yang menyentuh nasi goreng itu.

“Mai? Aku pesankan, ya?” tanya Erlangga hati-hati, meski begitu tetap saja membuatku terkesiap dari lamunan.

“Emm, enggak usah Ngga. Aku lagi enggak ingin nasi goreng,” tolakku. Sepertinya sampai beberapa bulan aku enggak akan bisa makan nasi goreng. Menu yang harus aku coret dari daftar makan kalau enggak ingin sakit hati.

“Mi? Burger?” Erlangga kembali menawarkan.

Advertisement

“Burger aja,” jawabku singkat.

Erlangga segera menghampiri Pramusaji yang baru saja meninggalkan dua meja di sampingku. Setelah itu dia kembali duduk di depanku dan menanyakan apa yang aku perlukan sekarang. Pandangannya jatuh pada ransel di kursi sebelahku.

“Aku butuh tempat menginap untuk semalam ini saja. Besok temani aku mencari indekos dekat kampus, ya.”

Erlangga terlihat sedang berpikir. Sampai pesananku datang pun dia masih terlihat berpikir dan sibuk dengan ponselnya. Aku jadi merasa enggak enak hati karena sudah merepotkan.

Setelah perutku terasa kenyang, Erlangga mengajakku keluar kafe. Dia enggak bilang apa-apa sebelumnya sampai kami tiba di sebuah rumah berpagar hitam dan bertembik putih.

“Ini rumah kakakku. Masuk, yuk.”

Erlangga berteriak mengucap salam. Kutepuk bahunya memberitahu bahwa ada bel di sana. Belum menekan bel, si pemilik rumah keluar. Seorang wanita berusia sekitar pertengahan tiga puluhan berjalan melewati teras menuju pagar.

“Kebiasaan! Itu kan ada bel. Berisik tahu, ganggu tetangga aja,” protes pemilik rumah kepada Erlangga.

“Ayo, masuk, yuk, masuk,” ajak Kakak Erlangga kepadaku.

Dia ramah sekali, meski tinggi badannya enggak setinggi Erlangga tapi wajah mereka mirip bagai kembar. Perbedaan hanya pada bentuk rahang saja. Bila rahang Erlangga terkesan kokoh dan agak lebar, khas lelaki. Rahang kakaknya lebih ramping sehingga bentuk dagunya pun meruncing.

“Jadi gimana ini gimana?” tanya Kakak Erlangga sambil mengulurkan tangan mempersilakanku duduk. “Eh kenalan dulu. Aku Arun, Arunika. Mbaknya Erlangga.”

Kujabat tangan Mbak Arun, “Maira.”

“Oke, Erlangga jelasin coba. Pusing aku baca pesan Whatsapp-mu tadi.”

Jadi saat di kafe tadi, Erlangga sudah memberitahu tentangku kepada Mbak Arun. Tapi sepertinya cuma sekilas saja, makanya Mbak Arun menanyakan lagi. Karena aku sedang butuh tempat untuk tidur semalam, terpaksa kuceritakan dengan sejujurnya. Mbak Arun yang awalnya menolak, akhirnya mau menerima dengan syarat.

“Kamu izin dulu sama orang tuamu. Baru boleh menginap di sini,” kata Mbak Arun sebelum meninggalkanku di ruang tamu diikuti Erlangga yang mengekor.

Syarat dari Mbak Arun susah-susah gampang sebenarnya. Aku bisa saja bilang ke Mama kalau menginap di rumah teman. Namun, bila Mama menanyakan alasanku, aku jawab apa? Aku belum ingin menceritakan mengenai tamparan Papa di pipiku tetapi aku juga enggak mau berbohong kepada Mama. Aargh! Benar-benar bikin pusing. Aku mulai memikirkan kata-kata yang tepat agar diizinkan Mama tidur di rumah Mbak Arun. Saat itulah tiba-tiba Erlangga menghampiri.

Advertisement

“Sudah? Izin mamamu aja kalau enggak mau izin papamu,” saran Erlangga.

“Aku bingung bilangnya,” keluhku.

“Ribet juga kamu ini. Bilang aja menginap di rumah teman. Kalau mamamu tanya lebih lanjut, baru cerita sejujurnya. Kalau enggak tanya, ya sudah, kamu enggak perlu jelasin kalau emang enggak mau jelasin.”

Segera kukirim pesan WhatsApp ke Mama. Singkat saja, enggak sampai sepuluh kata dan enggak menjelaskan apa pun. Bukannya membalas pesan, Mama malah meneleponku. Aku jelas makin bingung. Erlangga menyuruhku menerima telepon dan berkata sejujurnya. Otakku benar-benar sedang buntu saat ini. Jadi semua perkataan Erlangga aku turuti.

“Assalamualaikum, Mama.”

“Walaikumsalam. Kok mendadak? Lagi ngerjain tugas sampai harus begadang ya?” tanya Mama perhatian.

Kutarik napas panjang sejenak sebelum menjawab. “Ma, sebenarnya aku habis ribut sama Evalia. Papa ....” Aku sengaja enggak melanjutkan perkataanku. Semakin aku mengingat dan mengatakan atas tamparan yang Papa lakukan, membuatku makin sedih dan putus asa. Membuatku semakin merasa enggak dicintai Papa.

“Sudah Mama duga akan begini jadinya. Ya sudah, kamu di sana saja dulu. Besok kita pikirkan lagi gimana selanjutnya. Ah, biar Mama aja yang mikir. Kamu fokus sama tugasmu. Oke, Sayang?”

Aku menghela napas lega. “Makasih Mama.” Ku tutup telepon setelah mengucap salam.

“Yes!” seruku pelan.

Erlangga melempar senyum padaku lalu berjalan memanggil Mbak Arun. Enggak lama Mbak Arun datang sambil membawa nampan berisi tiga cangkir beraroma teh melati yang sangat menenangkan pikiran. Asap tipis menari-nari di atas cangkir porselen berwarna putih polos tanpa hiasan.

“Sudah dapat izin?” tanya Mbak Arun ramah.

“Sudah. Mamaku barusan menelepon juga,” jawabku sambil tersenyum.

“Wah bagus, tuh. Ayo diminum tehnya. Erlangga, setelah tehmu habis langsung pulang, ya. Cewek-cewek cantik mau tidur,” usir Mbak Arun dengan halus.

“Kalau gitu, pelan-pelan aja habisin tehnya, sampai pukul sebelas lah ya,” sahut Erlangga cuek.

“Aku lempar sapu kalau setengah jam lagi teh-mu belum habis.” Ancaman Mbak Arun membuatku dan Erlangga terbahak.

Setelah Erlangga pulang karena diusir dan diancam Mbak Arun, aku membantu membawa nampan berisi cangkir-cangkir kosong ke dapur. Jam di dinding memang sudah menunjukkan pukul 22.30 jadi wajar bila Mbak Arun mengusir adiknya itu.

Rumah Mbak Arun enggak seberapa besar. Hanya terdiri dari ruang tamu, dua kamar tidur, kamar mandi, mushala kecil, ruang TV yang berhubungan langsung dengan ruang makan dan dapur. Meski begitu, rumahnya bersih dan nyaman sekali. Ada satu keanehan yang enggan aku tanyakan. Enggak ada satu barang pun yang berhubungan dengan anak kecil. Apa Mbak Arun belum punya anak ya? Besok aja aku tanyakan ke Erlangga.

“Taruh di meja makan sini aja, Mai,” kata Mbak Arun sambil beranjak duduk di kursi makan. Di hadapannya ada laptop yang terbuka.

“Mau tidur sekarang? Kamar kamu yang di sini, ya.” Mbak Arun menunjuk kamar nomor dua yang ada di belakangnya.

“Emm, iya Mbak.”

“Enggak usah nungguin aku. Aku biasanya tidur lewat tengah malam.”

Mbak Arun tipe orang yang gampang akrab. Banyak yang dia ceritakan tentang keluarga dan dirinya padahal baru kali ini loh kita ketemu. Dari Mbak Arun, aku jadi tahu kalau Erlangga itu bungsu dari tujuh bersaudara. Anak pertama bukan saudara kandung, melainkan anak saudara ayah yang dijadikan pancingan karena sudah tiga tahun menikah namun orang tua Erlangga belum punya anak juga.

“Aku anak pertama itu, Mai. Usiaku 37 tahun dan belum punya anak. Banyak omongan, banyak saran, banyak cacian ... Ah! Banyak deh pokoknya. Tapi semua itu enggak pernah aku bikin pusing. Kalau aku sih yang penting keluarga, ya. Hubunganku sama keluarga harus baik. Alhamdulillah hubunganku sama orang tua dan adik-adik angkatku baik, sama orang tua dan saudara kandung juga baik. Itu yang penting.”

Mbak Arun bilang kalau banyak kepala itu banyak masalah. Banyak saudara, banyak juga bertengkarnya. Pertengkaran-pertengkaran kecil yang membuat mereka makin akrab. Ada satu ucapan Mbak Arun yang membuatku berpikir sampai susah tidur.

Kata Mbak Arun, “Kita enggak pernah bisa minta akan lahir di rahimnya siapa. Akan gimana jalan hidup kita. Yang bisa kita lakuin ya cuma nerima aja, gitu. Terus berusaha jadi orang yang baik.”

    people are reading<BRAINWASH>
      Close message
      Advertisement
      You may like
      You can access <East Tale> through any of the following apps you have installed
      5800Coins for Signup,580 Coins daily.
      Update the hottest novels in time! Subscribe to push to read! Accurate recommendation from massive library!
      2 Then Click【Add To Home Screen】
      1Click