《BRAINWASH》23. MY DAY

Advertisement

Selepas salat subuh aku bersiap-siap untuk ke bukit Pengilon. Botol yang kuisi air hingga penuh, sebatang cokelat, dua tumpuk roti yang sudah kulumuri mentega dan kutaburi coklat meses sejak sebelum subuh tadi, sudah duduk manis di dalam ranselku. Aku ingin melihat sunrise di sana. Andai enggak memungkinkan karena aku enggak tahu medan dan jarak ke sana, ya seenggaknya aku sudah ke bukit Pengilon. Karena banyak yang bilang view di sana bagus banget. Jadi rugi banget kalau sudah ke pantai Siung tapi enggak ke bukit Pengilon.

Saat beranjak keluar kamar, kulihat Evalia yang sedang tertidur pulas. Dia tertidur di atas sajadah dengan masih mengenakan mukena. Semalam dia antusias sekali menceritakan tentang keindahan bukit Pengilon kepada Papa dan Mama Ambar. Dia berulang kali memamerkan foto-foto dan video yang ia lihat di YouTube. Tadinya sih, mau aku tinggal saja dia. Tapi entah mengapa ada perasaan enggak tega dan ingin mengajaknya ke bukit Pengilon juga. Aargh! Aku jadi uring-uringan sendiri. Gimana kalau dia berulah? Gimana kalau dia bikin aku makin repot?

Seperti saat kami SD dulu. Saat itu Evalia kelas 1 SD, sedangkan aku kelas 4 SD. Bersama Papa dan Mama Ambar, dia datang ke rumah. Evalia kecil selalu mengekorku. Sampai saat aku ke kamar mandi pun, dia menungguku di depan pintu. Sudah kubilang kepadanya untuk berhenti mengikuti tapi dia enggak menggubris perkataanku. Sayang sekali, saat itu Mama sedang ada meeting ke luar kota. Andai ada Mama, aku yakin Mama pasti sudah membentak dan menyuruhnya pergi karena sikapnya sangat mengangguku. Saat bermain boneka atau masak-memasak bersama, Evalia juga selalu bermain dengan curang. Aku yang merasa kesal hanya bisa mengadu kepada Eyang Uti. Eyang Uti menyuruhku ke toko Lenny . Alih-alih membeli pensil, aku bisa bermain sebentar bersama Lenny di mana letak toko dan rumahnya bersebelahan. Tapi apa yang terjadi? Evalia minta ikut pergi ke toko Lenny. Benar-benar sangat menyebalkan. Yang paling menyebalkan adalah sikap Papa dan Mama Ambar yang turut merayuku agar memperbolehkan Evalia ikut. Apa lagi saat melihat wajah Evalia yang hampir menangis. Selalu saja senjata itu yang dia gunakan untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.

Lantas gimana kelanjutannya? Kami berjalan berdua menuju toko Lenny, Evalia yang jalan di belakangku sempat menghilang gara-gara dia mengejar seekor kucing ke gang sebelah. Aduh, aduh, benar-benar sangat merepotkan. Ketika di toko Lenny pun begitu. Dia minta dibelikan dua pensil, tiga permen, dan ice cream. Uang yang aku bawa jelas kurang. Akhirnya Mama Lenny meminta kekurangan uang ke Eyang Uti. Meskipun pada akhirnya Papa yang membayar, tetap saja sikapnya menyebalkan sekali. Jangankan ikut membeli ice cream, sebatang pensil saja enggak jadi aku beli.

Evalia menggeliat, mengubah posisi tidurnya. Tampaknya tidurnya sangat pulas, segera aku keluar kamar dan menutup pintu. Tiba-tiba perasaan aneh menelusup ke hatiku. Perasaan yang memintaku untuk memberi kesempatan kepada Evalia. Bukankah akhir-akhir ini sikapnya manis? Lantas kenapa masih saja aku mengingat masa kecil yang menyakitkan itu? Aargh! Aku merasa perlu memberi Evalia kesempatan. Dengan berat hati kubuka lagi pintu kamar lalu membangunkan Evalia.

Advertisement

“Evalia, bangun! Aku mau ke bukit Pengilon. Mau ikut, nggak?” Kuguncang tubuh Evalia yang berbalut mukena.

“Apa? Ada apa, Mbak?” Evalia membuka sedikit matanya.

“Aku mau ke bukit Pengilon. Mau ikut?”

“Bukit Pengilon?! Mbak Maira mau ke sana sekarang?” Kantuk pada mata Evalia sirnah sudah, berganti dengan pandangan berbinar-binar penuh semangat.

Evalia segera melipat mukena dan sajadah dengan asal, lalu memintaku untuk berjalan lebih dulu. Dia bilang akan menyusul setelah cuci muka dan berganti baju. Benar-benar ide yang bagus. Dengan begitu aku enggak perlu menunggunya dan dia enggak akan berlama-lama dalam bersiap. Aku berjalan santai sambil menunggu Evalia. Kuhirup udara subuh yang sangat menyegarkan, aroma laut bercampur bau garam sangat menenangkan jiwa. Aku terus berjalan di pinggir pantai sambil sesekali menoleh ke belakang. Aku memastikan bila Evalia berada di jarak yang enggak terlalu jauh dariku. Ah! Kenapa aku jadi memikirkan keadaan Evalia sih? Kalau dia tertinggal karena jalannya yang terlalu lambat, ya itu salah dia sendiri. Siapa suruh jalan seperti siput. Kutambah kecepatan berjalanku, ketika mendapati beberapa orang yang juga berjalan ke arah timur pantai Siung. Sepertinya orang-orang itu juga akan ke bukit Pengilon. Aku mengekor mereka, dan lagi-lagi aku menoleh ke belakang secara refleks untuk melihat Evalia. Gadis yang menguncir rambutnya di puncak kepala itu sedang mengarahkan ponselnya ke arah laut, pantai, dan langit yang masih gelap. Saat ponselnya mengarah ke depan, wajah Evalia terangkat, pandangan kami beradu sesaat. Secara refleks juga aku memberi kode dengan tanganku agar dia berjalan lebih cepat. Oh, Tuhan, kenapa aku jadi sok perhatian begini sih?

Selama perjalanan aku merutuki diri sendiri yang terlalu lembek. Seharusnya aku kuat dong, seharusnya aku enggak perlu terlalu perhatian begini. Ngapain juga aku membangunkan Evalia tadi, bisa besar kepalanya karena perhatianku kepadanya. Ah! Apa aku terlalu terlena mendalami peran hingga tanpa sadar aku jadi perhatian banget sama Evalia? Atau aku sudah memaafkan dan menerimanya menjadi adikku? Aku menelan ludah. Pertanyaan terakhir mengancam keberhasilan misiku untuk merebut kembali Papa.

Maira terus berjalan menaiki undakan-undakan. Menurut vlog yang aku lihat di YouTube semalam bersama Evalia, butuh waktu sekitar tiga puluh menit bahkan lebih untuk sampai ke atas. Aku jadi pesimis bisa menikmati sunrise, ah tapi itu kan hanya bonus. Yang penting aku berhasil menaiki bukit dan menikmati keindahan alam dari atas sana. Beruntungnya jalan menaiki bukit ini sudah ada tandanya. Jadi pengunjung enggak mungkin tersesat atau salah jalan. Jalan setapak yang dilalui sungguh menguras tenaga. Kamu tahu ada pepatah yang mengatakan, “Bila ingin menilai seseorang, libatkan dia dalam sebuah perjalanan. Kamu akan tahu bagaimana kepribadiannya yang sesungguhnya”. Bila harus jujur, melakukan perjalanan yang enggak mudah ini bersama Evalia bukanlah hal yang buruk. Dia enggak berulah apa lagi merepotkanku. Enggak pernah sekalipun dia mengeluh capek atau haus. Malah aku yang sering mengajaknya beristirahat sejenak menikmati langit yang berpendar keunguan. Langit yang sebentar lagi berwarna makin terang karena matahari sudah puas tidur semalaman.

Advertisement

Setelah berjalan hampir satu jam, sampai juga di tempat tujuan. Hamparan rumput yang luas bagai karpet hijau menyambut. Merayu agar aku segera duduk untuk melepas penat. Angin bertiup sangat kencang hingga membuat perut enggak nyaman. Kurapatkan jaket yang resletingnya sempat aku buka selama perjalanan tadi. Langit sudah semakin terang. Matahari yang meski enggak kulihat saat terbit tadi, tetap terlihat sangat cantik di antara birunya laut. Enggak hanya Evalia, orang-orang menjadikan matahari layaknya primadona. Mereka mengambil gambar dan berswafoto. Aku memilih duduk di atas rumput menghadap lautan lepas. Di antara rasa senang yang membuncah karena berhasil ke tempat indah ini, terselip perasaan sedih karena berada di tempat seindah ini bukan bersama Papa dan Mama, melainkan Evalia yang keberadaannya enggak aku inginkan. Kuluruskan kedua kaki, lalu berbaring di atas rerumputan yang begitu subur. Enggak ada rasa risih, justru membuatku nyaman seperti berada di kamarku yang berada di rumah Eyang Uti. Di mana aroma masakan Eyang Uti yang selalu membuatku lapar, di mana senda gurau Eyang Uti dan Eyang Kung yang kerap kudengar, juga suara lembut dan pelukan Mama yang menghangatkan. Tanpa kusadari pandanganku kabur dikarenakan air yang bermuara di ujung mata. Tangisku kali ini karena merindukan kehangatan keluarga juga rasa sakit yang kurasakan dari kecil. Rasa sakit yang selalu kurahasiakan. Aku enggak ingin Mama maupun Eyang Uti tahu rasa sakit yang sebenarnya kurasakan kala itu. Kuusap ujung-ujung mata dengan jari telunjuk.

“Aku akan bahagia. Aku harus bahagia. Aku wajib bahagia. Aku ... aku bahagia,” bisikku menguatkan diri bagai mengucapkan mantra.

Aku menoleh ke belakang saat mendapati Evalia yang tengah berdiri agak jauh sambil menatapku. Rasa kikuk menyergapku, segera kulambaikan tangan ke arahnya agar mendekat. Evalia duduk tepat di sebelahku sambil menatap laut. Kuambil botol dari dalam tas lalu kuserahkan kepadanya. Evalia sempat menolak, tapi aku paksa. Dia pasti kehausan karena enggak membawa bekal minum maupun makanan. Sambil menunggu Evalia selesai minum, kukeluarkan kotak berisi dua tumpuk roti dan sebatang cokelat. Ransel kujadikan alas untuk keduanya.

“Sarapan seadanya. Bekal buat nurunin bukit,” kataku sambil mendekatkan ransel ke arah Evalia.

“Mbak Maira kok sempat nyiapin beginian sih? Kapan nyiapinnya?” tanya Evalia penuh keheranan. Seolah-olah aku rela melakukan hal yang merepotkan.

“Kan cuma ngambil cokelat dan roti aja di tumpukan kudapan di atas meja.” Kuminum dua teguk air dari botol, lalu kembali berucap, “setelah habiskan roti dan cokelat, kita balik, yuk. Papa pasti sudah nyariin.”

Evalia mematahkan cokelat menjadi dua. Sepertinya dia sengaja mematahkan enggak tepat sama panjang. Dia mengambil potongan yang lebih kecil lalu memakannya. Aku memilih memakan roti lebih dulu, baru cokelat. Setelah berbagi air minum, kami berdiri hampir bersamaan lalu berjalan menuruni bukit. Ada satu momen yang membuatku seperti terhipnosis. Saat berjalan akan menuruni bukit, Evalia melihat ada tempat yang bagus untuk berfoto. Evalia menarik tanganku lalu mendekatkan tubuhnya ke arahku. Ponsel diangkatnya tinggi agar bisa menangkap gambar kami. Setelah itu dia mengajak melanjutkan perjalanan dengan dia sebagai pemimpinnya.

Rasa lelah dan lega menghambur kala suara deburan ombak terdengar jelas di telinga. Rasanya ingin duduk melepas penat sejenak di pinggir pantai. Tapi bila kami beristirahat dulu, makin lama sampai di homestay dan makin lapar perut ini. Akhirnya kami memilih berjalan dengan sangat santai. Evalia melepas sepatu kets-nya, akupun melakukan hal yang sama. Biar lebih ringan dan sepertinya asik berjalan dengan kaki telanjang bermandi ombak pinggir pantai. Sesekali kami menendang ombak yang datang. Dan entah siapa yang memulai, tiba-tiba kami perang pasir dan air laut sambil tertawa lepas. Sebagian baju dan celana sudah basah. Yang membuatku heran, kenapa tertawa bersama Evalia rasa bahagianya melebihi saat aku berjumpa Mama? Apa ini sesuatu yang buruk? Jika begitu, tolong biarkan aku menikmatinya sejenak sebelum aku sadar dan kembali ke jalan yang benar.

“Evalia! Maira!”

Panggilan keras itu memaksaku dan Evalia menghentikan perang air. Kami berdua kompak menoleh ke arah suara. Ternyata Mama Ambar dan Papa sudah berdiri mengamati kami dari jauh. Wajah Mama Ambar terlihat geram sekaligus senang. Entahlah, aku sulit mengungkapkannya. Yang jelas, meski terlihat sedang mengomel masih kulihat ada senyum dan sinar mata yang berbinar pada Mama Ambar. Saat jarak kami sudah dekat dengan Mama Ambar dan Papa, Mama Ambar memarahi kami karena pergi tanpa izin dan susah ditelepon. Lagi-lagi aku enggak tahu ide siapa ini, yang aku ingat aku refleks menarik Papa sedangkan Evalia menarik mamanya hingga kaki-kaki kami basah karena air laut. Kami perang air berempat. Untuk pertama kalinya aku melupakan dendamku dan menikmati kehangatan keluarga ini.

***

Meskipun berbalut pakaian yang setengah basah, Papa tetap mengajak kami sarapan di warung makan yang menyajikan masakan ikan laut. Saat sedang menikmati segelas teh hangat dan membaca grup Whatsapp yang berisi teman sekelas, aku mendengar Evalia menyebut namaku. Seketika aku menoleh ke arahnya yang sedang siaran langsung melalui Instagram.

“Namanya Maira. Ini kakakku. Pada kepo, ih.” Evalia melingkarkan tangan kirinya ke bahuku sementara tangan kanannya memegang ponsel dan menangkap gambar kami berdua.

Dengan perasaan canggung, aku melambai ke arah ponsel Evalia.

“Mbak Maira ini beauty blogger loh,” kata Evalia pada ponselnya, lalu beralih kepadaku. “Sebutin nama channel Youtube-nya dong, Mbak.”

Aku hanya tersenyum sambil sekali lagi melambaikan tangan. Bukannya sombong, aku sebenarnya ingin menyebutkan nama channel YouTube dan akun Instagram-ku, tapi rasa malu membekap mulut hingga membuat wajahku semerah tomat. Aku merasa begini karena kaget atas pengakuan Evalia yang menyebutku sebagai kakaknya. Apa lagi saat dia berbicara singkat tentangku yang berkuliah di UGM dan konten channel YouTube milikku. Rasanya seperti diiklankan gratis apa lagi Evalia seorang penulis yang punya banyak pembaca dan follower. Hari ini benar-benar hari yang membuatku sangat bahagia.

💜💜💜

    people are reading<BRAINWASH>
      Close message
      Advertisement
      You may like
      You can access <East Tale> through any of the following apps you have installed
      5800Coins for Signup,580 Coins daily.
      Update the hottest novels in time! Subscribe to push to read! Accurate recommendation from massive library!
      2 Then Click【Add To Home Screen】
      1Click