《BRAINWASH》22. MOOD BREAKER
Advertisement
Efek dari kecerobohan papa membuat kami harus menyewa rumah panggung yang berada dekat dengan pantai. Evalia bersikeras ingin menginap di sini. Aku juga sebenarnya sudah bosan dengan pemandangan perkotaan Jogja. Asyik juga kalau sesekali menikmati udara pantai begini. Aku jadi bisa bersantai sejenak dari padatnya aktivitas di kota.
Hari ini pantai Siung dipadati pengunjung. Beruntung kami masih mendapatkan satu rumah panggung. Ini adalah satu-satunya rumah panggung yang tersisa hari ini, jadi pilihan kmi hanya menyewanya atau pulang kembali ke Malioboro. Aku enggak bisa menolak atau mengeluh ketika harus satu kamar dengan Evalia. Ini pertama kalinya lagi kami harus berbagi kamar. Sejujurnya aku merasa kuranv nyaman. Mengingat Evalia sudah menjadi oranv yang kubenci selama belasan tahun terakhir.
Satu-satunya hal yang kusyukuri dari tempat ini adalah pemandangan yang kami dapatkan dari rumah panggung ini
Terasnya berhadapan langsung dengan pantai dan air laut. Sedangkan dari jendala kamar yang kami tempati, aku bisa melihat tebing hijau tertutup semak pendek dan menghadap ke lautan lepas. Rumah ini dilengkapi dengan satu ruang tamu sekaligus ruang keluarga. Dapur kecil dengan meja bar sebagai meja makan dan kursi tinggi. Setiap kamar tidur memiliki kamar mandi di dalam.
Ahh, awas saja kalau samai Evalia kembali berulah seperti dulu. Aku enggak bakal tinggal diam sekarang. Aku bakal membalas dengan cara yang sama. Pokoknya aku akan lebih pintar lagi sekarang. Aku enggak bakal kalah apalagi mengalah pada anak pembuat onar itu.
"Mbak Maira belum mandi?" tanya Evalia yang tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar dan mengejutkanku.
Tadi waktu aku ke kamar, Evalia memang masih ngobrol sama papa dan mama Ambar. Aku beralasan ada sedikit tugas kampus yang perlu aku revisi, makanya aku ke kamar duluan.
"Belum," sahutku. Awas saja kalau dia beranjbmengiasainkamar mandi dan membuatku menunggu lama.
"Aku mandinya setelah Mbak Maira aja, deh," katanya sambil menyimpan carier di pundaknya ke dalam lemari yang ada di kamar ini.
Advertisement
Setelahnya, dia berjalan menghampiri tempat tidur. Dia sudah bersiap menjatuhkam tubuhnya ke atas tempat tidur, tapi tiba-tiba Evalia mengurungkannya. Aku bertambah bingung ketika dia berbalik menghadap ke arahku yang tengah duduk di sofa panjang yang berada di dekat meja televisi.
"Apa?" tanyaku bingung dengan arti tatapan Evalia.
"Mbak Maira mau tidur di sisi sebelah kiri atau kanan?" tanya Evalia lengkap dengan cengiran lebar.
Ehh? Kok, dia banyak berubah, sih, sekarang? Apa ini juga bagian dari sandiwaranya? Tadi dia membiarkan aku menggunakan kamar mandi duluan. Sekarang dia enggak jadi merebahkan tubuhnya hanya karena aku belum menentukan posisi tidur. Andai Evalia bukan anak hasil zina antara papa dan pelakor yang merusak keluargaku, aku pasti bakal menyukainya.
"Sisi sebelah kanan, deh," kataku setelah berpikir sejenak.
"Oke," sahut Evalia yang langsung menempati sisi sebelah kiri.
Ia memejamkan mata meski enggak tidur. Sebenarnya tubuhku juga lelah dan pengin banget untuk tiduran, tapi aku masih merada risih dengan keberadaan Evalia. Demi membunuh kecanggungan, aki memilih masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan diri. Aku sengaja berlama-lama demi enggak terjebak awkward moment bersama Evalia.
Waktu keluar dari kamar mandi, Evalia sudah enggak di tempat tidur. Dia berdiri di jendela sambil menatap ke luar. Aku memilih mengacuhkannya dan duduk di atas ranjang bagianku sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.
"Mbak," panggil Evalia sambil berjalan ke arahku. "Sini, deh," ajaknya yang kuhadiahi tatapan ogah. "Serius, Mbak. Sini, deh," ajaknya lagi. Tanpa permisi Evalia langsung menggandeng tanganku dan membawa ke jendela.
Tuh, kan, apa kubilang. Dia memang menyebalkan dan suka seenknya sendiri. Dari dulu dia selalu membuat orang lain menuruti kemauannya.
Aku masih merengut kesal waktu Evalia berkata, "lihat, deh." Dia menunjuk tepat ke atas tebing dengan deburan ombak yang semakin bergulung besar. Telunjuk Evalia mengarah tepat ke langit, warnanya cantik. Langit yang mulai digelayuti gelap dengan semburat warna oranye dan jingga membuat pemandangan ini begitu menakjubkan. Kami seperti melihat lukisan maha karya. Pantas saja banyak orang yang menggilai golden hour.
Advertisement
Seketika kekesalanku pada Evalia memudar. Aku justru berterima kasih padanga yang sudah menunjukan pemandangan luar biasa ini. Kami berdiri bersisian di jendela sambil menikmati langit yang kian gelap. Enggak ada satupun dari kami yang berbicara. Baik aku maupun Evalia leboh memilih larut dalam pikiran masing-masing.
Sampai langit sudah benar-benar gelap tanpa warna-warna indah, kami masih enggan meningfalkan jendela.
"Pokoknya besok pagi aku harus banget lihat sunrise. Sunset-nya aja keren, apalagi matahari terbitnya," gumam Evalia pada dirinya sendiri yang masih bisa terdengar olehku.
Kami baru beranjak dari jendela ketika papa mengetuk pintu kamar kami dan mengajak makan malam. Aku langsung mengekori papa dengan semangat karena cacing di dalam perutku sudah mulai berdemo.
Papa mengajak kami makan malam di restauran makanan laut yang berada enggak jauh dari tempat kami menginap. Kami memilih aneka hidangan laut dari mulai ikan, udang, kepiting, cumi dan kerang. Di sini pengunjung diberokan satu panggangan untuk membakar pesanannya sendiri. Papa dan mama Ambar dari tadi sibuk membakar makanan kami. Aku dan Evalia memilih duduk sambil menikmati angin yang menerpa kulit kami. Mama Ambar dan papa kembali ke meja dengan piring penuh makanan yang berhasil mereka olah.
"Harusnya kita dapet diskon, nih,"kelakar Evalia. "Makanannya kita bakar sendiri, kan," imbuhnya lagi. Kami tertawa menimpali lelucon recehnya.
"Enak enggak, Mai?" tanya papa di sela makan malam kami.
"Banget, Pa," sahutku. Dari dulu eyang uti selalu mengajatkanku untuk enggak ngomong sambil mengunyah makanan, tapi kali ini aku melnggarnya.
"Nambah lagi, dong, Mai," kata Mama Ambar sambi menyodorkan ikan kerapu bakar.
Aku menerima ikan kerapu itu dan menyendoknya ke piringku. "Makasi, Tante," ucapku sambil mengembalikan piring saji itu.
Malam ini aku makan banyak sekali, entah karena udaranya yang dingin sehingga perutku menuntut untuk terus diisi, atau suasana hatiku yang lagi bagus.
"Mai," panggil mama Ambar ketika kami berjalan kaki kembali ke rumah panggung.
"Ya," sahutku yang berjalan di depannya. Aku juga berhento berjalan agar bisa mendengar apa yang ingin ia katakan.
"Maafin tante dan papamu yang jarang jengukin kamu di Surabaya."
Pembahasan acak kali ini sukses mengubah mood-ku. Dadaku kembali sesak mengingat masa kecilku yang enggak menyenangkan.
"Papa benar-benar merasa bersalah dan minta maaf sama kamu ya, Mai. Seharusnya papa lebih bangak menghabiskan waktu dan memperhatikan kamu," kata Papa menimpali perkataan mama Ambar.
Aku enggak bisa langsung menjawab ucapan mama Ambar dan papa. Lidahku kelu dan hatiku kembali teriris. Hal yang bisa kulakukan hanya tersenyum menahan getir, kemudian kembali berjalan.
Kenapa harus sesulit ini untuk menciptakan hari tanpa kesedihan?
1046
💜💜💜
Advertisement
- In Serial13 Chapters
Healing in Medicine Bow
Misty Rundell, a bright eyed waitress and single mother was running for her life. She would do anything to protect her tiny daughter, even if it meant running from town to town for the rest of their lives.Jackson Silverman, a grouchy, but young and successful rancher, had sworn off women three years ago after he found his wife in HIS bed with one of the ranch hands. He was an impossible man to read and he always wore a scowl under his Stetson. He has never been known for being gentle, and certainly never known to smile.So, what happens when a friend intervenes and a certain past comes to haunt?
8 115 - In Serial29 Chapters
Slave To The Fang
"Bite me." She screamed tears falling down her cheeks. Her eyes were deep pools of endless beauty and her tears were like magical dewdrops on a luscious blooming flower.My flower. She was soft and delicate. She was my flower."Isn't that what you're here for?" She added, her cries a jumbled mess. She looked broken, she was broken and yet, I didn't mind. I was broken too.I moved to her, taking tentative steps. I was breathing harshly, my fangs were protruded and covered in blood. I was a monster, I was a broken monster. I took one more step further, my body covered in gore. This was it, I was giving her a chance to run, to get away. But instead she stood her ground, her determination steely.My flower. My brave flower. "I am here for many things flower. But of all those things, only you matter." I said and caught her just before she lost consciousness.************Three LordsThree vampiresThree brothersThree stories.************Lord Kyryaan Kyle Von Luckeberg is the Lord over the Southern regions of Lakaiyah and positively an unpredictable sociopath. Kyryaan's long life has been a cacophony of interesting events but not even one of those events quite gave him that spark he needed to fill the void no one expects him to have. Till he met her. His flower.Gabrielle Vaella Sura , or Gale for short is a beautiful girl with an ugly past has been through more than most people dream of. For someone who deserved to have everything, yet has nothing, she never expected the whirlwind that is Lord Kyryaan in her life.Blood, gore, betrayal, numerous secrets, and a new unexpected enemy surround them and put them on opposite sides of the spectrum. Well until fate decides to bring them together. A new set of chaos everywhere they turn.But it is said, two things put together by fate will always find a way to be united.***********STANDALONE BOOK!This is KYRYAAN'S story.Prepare to get sucked in.Enjoy.Tray-CKierra❤️
8 130 - In Serial116 Chapters
The Final Project
Aaron Kristensen and Ivy Blake are sworn enemies, both competing to be valedictorian, but what happens when they have to work together for the final project? Can they overcome their hatred, or will it be their downfall?All credits to the artist of the cover: Minamiliste (image found on Pinterest)
8 139 - In Serial45 Chapters
Once Bitten
(18+) *Unedited*It has been seven years since the vampires took over. I remembered the day like it was just yesterday. The sirens. The deaths. The fear instilled upon every living human. And now I was being used as a blood bag for these beasts who took my life and threw it out of proportion. *****This is a reverse harem story. (18+ for strong language, graphic depictions of violence, and graphic sexual scenes)
8 298 - In Serial29 Chapters
You're MINE now! (Chucky X Reader) [SLOW UPDATES]
You're 18 years old and you live with your Aunt Karen and your cousin Andy Barclay and his doll (Chucky) comes to life... What happens next..?
8 181 - In Serial50 Chapters
Maybe tomorrow
Life isn't always easy and sometimes you have to find it out the hard way.Allison has it hard enough as a single mother trying to pay for the hospital bills of her son. When the money just isn't enough anymore she is forced to contact Charlie's father, Damien Black, who she hasn't seen in almost 5 years and who has no idea he has been a father for the past years.Problems keep raining down on her when her psychopathic ex boyfriend reappears and she finds herself on a plane to New York.Damien though seems to do everything to keep Ally away from him and his family, and more and more it seems like there is more behind it than his resentment, and Allison's growing attraction towards him doesn't help much.Especially when she starts to realize that both of them have changed a lot once there last encounter.Without even knowing it she slides deeper and deeper into a world full of secrets, dangers and lies.This isn't the first book I wrote but it's currently the only one that is published and also the only one in English. English isn't my first language but it's pretty good, I swear. Likes and Comments are much appreciated^^Hope you like it:)
8 100

