《BRAINWASH》20. A NEW DAY

Advertisement

Aku kembali berguling ke sisi kiri temoat tidurku. Aku sudah melakukannya sejak berjam-jam lalu berharap bisa menemukan posisi nyaman dan membuatku tertidur. Aku juga sudah mencoba berbagai cara agar bisa pergi ke alam mimpi, tapi otakku enggan bekerjasama.

Untuk kesekian kalinya aku meraih botol di atas nakas dan meneguk isinya. Serius, deh, aku capek banget. Tubuhku terasa lemas dan kepalaku berat, tapi mataku sulit terpejam. Bukan tanpa sebab, aku tahu betul insomniaku malam ini disponsori oleh otak yang terus bekerja tanpa mau berhenti. Aku terus saja sibuk memikirkan bagaimana caranya menyadarkan papa? Bagaimana caranya membawa papa kembali pada mama?

Berbagai cara sudah kukerahkan. Dari mulai mencoba membangkitkan kenangan yang pernah terjadi antara mama dan papa, hingga mengadukan mama Ambar ke Papa. Namun enggak ada satupun dari rencanaku itu yng berhasil. Aku kembali mengingat-ingat apa sajabyang sudah kulakukan, cara apa saja yang pernah kupakai.

Berjam-jam memikirkan hal iti membawaku menarik kesimpulan bahwa aku enggak bisa melawannya dengan terang-terangan seprti caraku selama ini. Aku perlu berubah menjadi gadis licik demi mengalahkan kelicikan mama Ambar dan Evalia juga. Aku harus seperti rubah yang pandai memanipulasi seperti mereka.

Tepat setelah aku mendapatkn strategi dan ide lain, adzan subuh berkumandang. Segera aku beranjak ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Aku selalu suka ketika air keran menyentuh kulitku di pagi dini hari setiap wudhu. Rasa dinginny merambat hingga ke relung hatiku. Tetesan air ini seolah mengobati segala kegundahanku. SubhanAllah, Maha Suci Allah.

Setelah menunaikan dua rakaat wajib subuh, enggak lupa kupanjatkan doa-doa pada Sang Pemilik Raga. Enggak lupa aku juga memohon petunjuk pada Allah untuk segala permasalahan yang tengh kuhadapi ini.

Setelah menyelesaikan salat subuh, tubuhku terasa ringan, begitupun dengan kepalaku. Aku merapikan kembali mukena dn sajadah ke tempatnya, lalu membaringkan tubuh di atas tempat tidur. Enggak butuh waktu lama hingga akhirnya alam mimpi menyapaku.

Aku terbangun ketika matahari menembus dari balik tirai kamar. Kepalaku sedikit berdenyut, membuatku harus memijit-mijit pelan demi mengurngi denyutannya. Aku meraih botol minum di atas nakas demi melegakan kerongkonganku yang terasa kering. Sayang, enggak ada air yang tersisa di dalam botol untuk kuteguk. Dengan enggan aku melangkah keluar kamar menuju dapur. Waktu akan melewati rung tengah, aku mendapati papa, mama Ambar dan Evalia tengah bercengkrama di sana.

Advertisement

"Mai," panggil papa yang membuat niat mengindari mereka otomatis gagal total. Aku mengulaskan senyum tipis sambil menghampiri mereka.

"Kamu habis bergadang ngerjain tugas lagi, Mai?" tanya papa sambil memperhatikan wajahku yang lusuh.

"Jangan capek-capek, Mai. Nanti kamu sakit lagi kayak kemarin itu," imbuh mama Ambar.

"Iya," jawabku singkat.

Duh, kenapa sih aku payah banget? Kenapa aku enggak pintar bersandiwara kayak mama Ambar dan Evalia gitu. Ayo, Maira, kamu pasti bisa.

"Tugas kuliahnya lagi banyak, Pa, Tan," kataku lagi. Kali ini, meski kaku aku mencoba untuk tersenyum.

"Ehh, Mbak Maira belum sarapan, ya? Tadi pas kita sarapan, kan, Mbak Maira belum bangun," ujar Evalia.

"Oh iya, betul. Tante siapkan sarapan ya?" tawar mama Ambar.

Dengan cepat aku membuka mulut dan siap melontarkan kata-kata pedas untuk mengakhiri drama mereka, tapi aku segera teringat dengan strategi baruku. Sambil mencoba tersenyum ramah kukatakan, "boleh, deh, kalau enggak ngerepotin tante."

"Ya, enggak, dong," jawab tante Ambar dengan senyum yng membuatku muak. Setelah mengatakan itu, mama Ambar langaung menuju dapur.

Aku berusaha mengikuti obrolan papa dan Evalia. Meski hanya mengangguk dan tersenyum tipis untuk menimoali mereka, tapi ini sudah perkembangan bagus, kan? Biasanya aku enggak pernah mau terlibat percakapan dengan mereka, bahkan untuk duduk bersama seperti ini pun aku selalu menghindarinya.

Mama Ambar kembali ke ruang tengah dengan tangan kanan membawa satu piring sandwich berisi selada, tomat, timun, petty lezat, keju, mayonise dan saus sambal. Sedangkan tangan kirinya membawa segelas susu putih.

"Dimakan, Mai," kata mama Ambar setelah meletakkan gelas dan piring di meja tepat di hadapanku.

"Makasi, Tante," ucapku lengkap dengan senyum dan kedutan di sekitar bibir karena kaku.

Diam-diam, kuperhatikan papa yang tersenyum melihat ke arahku dan mama Ambar. Sepertinya kali ini aku enggak bakal gagal lagi. Kunikmati setiap gigitan sandwich buatan mama Ambar. Lumayan mengisi perutku yang memang sudah keroncongan.

Advertisement

"Gimana kalau hari ini kita camping?" usul papa dengan kedua alis yang dinaik-turunkan dengan jenaka.

"Asyik!" seru Evalia sambil melompat-lompat seperti anak kelinci. Sedang mama Ambar mengangguk untuk menyetujui ide papa.

"Gimana, Mai?" tanya papa. Seketika rung tengah menjadi hening. Evalia dan mama Ambar menatap menunggu jawabanku.

"Ide bagus, Pa." Setelah menelan potongan terakhir sandwich aku kembali berkata, "dengar-dengar pantai Siung bagus buat camping."

"Wah, Mbak Maira up to date banget sama temoat-tempat begitu," puji Evalia yang sepertinya setuju dengan ideku.

"Teman arisan mama juga pernah cerita soal pantai Siung," imbuh Mama Ambar.

"Kalau gitu, tunggu apa lagi? Ayo, kita siap-siap," ajak papa.

"Yang paling terakhir selesai dapat hukuman, ya," selorohku yang di tanggapi tawa oleh papa. Sedang mama Ambar dan Evalia justru terlihat heran dengan perubahanku. Terlebih aku mau melontarkan guyonan. Ini benar-benar enggak aku banget, sih.

Meski keheranan, toh, mama Ambar dan Evalia tetap menerima sikapku dengan baik. Ya, setidaknya begitulah di depan papa.

Saat kembali ke kamar, ponselku sudah berdering. Nama mama muncul di layar benda pipih canggih keluaran terbaru itu. Sambil tengkuran di atas temoat tidur, aku menerima panggilan telepon mama.

"Assalamualaikum," sapaku begitu telepon tersambung.

"Kemana aja, sih, dari tadi diteleponin susah banget," keluh mama tanpa membalas salamku.

"Assalamualaikum, Ma,"ulangku lagi.

"Ahh, waalaikumsalam." Nada suara mama masih sekesal sebelumnya.

"Maaf tadi aku lagi di ruang tengah sama papa. Hapenya aku tinggalin di kamar," kataku memberikan penjelasan dari pertanyaan mama.

"Sama papa?" ulang mama yang enggak kujawab. Intonasi nadany turun dari sebelumnya. "Ada apa?" tanya mama.

"Habis melancarkan aksi," jawabku. Setelah membalikkan tubuh menghadap langit-langit kamar, kulanjutkan perkataanku, "aku punya strategi dan ide baru."

"Apa?" tanya mama penuh antusias. Dari pada membuat mama kembali seperti singa, lbih baik kuceritakan semua ide baruku.

Mama meresponnya dengan baik, dia setuju dengan strategi dan rencana baruku. "Mama percaya sama kamu, Mai. Cuma kamu satu-satunya harapan mama, Mai. Tolong jangan kecewakan mama, ya, Sayang," kata Mama.

Aku menghela napas sambil mengangguk meski tahu mama enggak bisa melihat anggukan kepalaku. "Iya, Ma."

"Maira masih mau kita kembali kayak dulu lagi, kan?" tanya mama.

"Pasti, ma," sahutku lemah.

"Kalau gitu buat papamu sadar dan kembali pada kita, Nak." Ucapan mama seperti motivasi sekaligus beban yng menggantung di bahuku.

Setelah memutus sambungan telepon, aku enggak langsung membereskan barangku. Aku memilih memejamkan mata sambil berharap beban yang kupikul enggak terasa seberat ini lagi.

Aku penasaran, apa anak-abak seusiaku memang dituntut untuk menciptakan kebahagiaan keluarganya atau orang tuanya yang berusaha menciptakan kebahagiaan untuk anak-anak mereka?

Kenapa aku harus dilahirkan di keluarga yang seperti ini? Kenapa aku enggak dilahirkan di keluarganya Erlangga saja?

Tuhan, aku enggak sekuat itu untuk menopang segala sesak ini. Tolong aku, Tuhan.

💜💜💜

    people are reading<BRAINWASH>
      Close message
      Advertisement
      You may like
      You can access <East Tale> through any of the following apps you have installed
      5800Coins for Signup,580 Coins daily.
      Update the hottest novels in time! Subscribe to push to read! Accurate recommendation from massive library!
      2 Then Click【Add To Home Screen】
      1Click