《Soul In Seoul》#Part 14 (Keputusan)

Advertisement

Dua hari kemudian,..

Lee Ri Sa saat itu berdiri di atap gedung SMA Meongso yang sangat sepi dan tidak ada orang yang bakal datang ke tempat itu, sehingga Lee Ri Sa merasa tempat itu adalah tempat yang paling nyaman untuk menenangkan diri.

"Ya. Aku harus mempertahankan persahabatanku dan pergi dari rumah itu. Jika tetap di rumah itu, kemungkinan besar sasaran selanjutnya adalah Oppa. Masih banyak jalan untuk meniti kesuksesan sebelum kembali ke Indonesia. Masih banyak jalan untuk kembali menegakkan kepala didepan orang-orang yang membuatku harus membuang semua yang kumiliki. Kesempatan ini terlalu beresiko dan banyak hal yang harus kukorbankan lagi jika aku mengambilnya." Ungkapan dalam hatinya sambil memejamkan matanya dan menyandarkan badannya di pagar setinggi punggungnya.

Saat ia asyik menikmati hembusan angin yang menenangkan jiwanya, tiba-tiba ponselnya berbunyi tanda ada panggilan masuk. Sejenak ia melihat nomor telepon orang yang menghubunginya dan merasa tidak kenal dengan nomor itu hingga orang itu melakukan panggilan yang kedua kalinya.

"Yoboseyo,.. nuguseyo? (hallo, anda siapa?)" tanya Ri Sa pelan.

"Mendengar bahasa yang kamu pakai, jadi kamu masih di korea, Reyka." Ucap orang yang di seberang sana yang menggunakan bahasa Indonesia dan terdengar seperti suara pria dewasa yang sangat familier di telinganya.

Mendengar suara itu, Lee Ri Sa langsung terkejut dan tidak sanggup mengeluarkan kata-kata.

"Ingat Reyka,.. jangan pernah memunculkan dirimu dan Romi di Indonesia. Ingat janjimu!" tegas orang itu dengan nada ancaman.

Tangannya gemetar dan tanpa sadar telah mengepal.

"Papa tenang aja,.. sebelum sepuluh tahun, kami tidak akan kembali ke Indonesia. Saya tidak akan amnesia lagi pa,.." airmatanya berhasil meluncur bebas.

"Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi. Kamu bukan anakku. Dan karena kamu, anakku merasa tidak nyaman."

"Pa,.. emm,.. maksud saya,.. Anda sangat jauh berubah. Kemanakah kehangatan itu pergi?"

Tanpa ada jawaban dan yang ada adalah suara telepon putus. Kekalutan langsung kembali menyelimuti hati dan fikiran Lee Ri Sa saat itu. Air mata yang berkali-kali ingin ditahannya, ternyata lebih berkuasa saat itu. Isakannya pun sempat terdengar dan memecahkan keheningan di siang itu.

Dari kejauhan tepatnya di atap gedung SMA Dongjo yang memiliki gedung lebih tinggi dari gedung SMA Meongso, Kang Jung Tae melihat Lee Ri Sa yang sedang menangis sendirian. Dalam hatinya tergerak untuk mendekat dan menenangkannya. Namun, otaknya lebih berkuasa untuk tetap diam tanpa melakukan apapun.

Tak lama kemudian terdengar suara panggilan yang juga familier di telinga Lee Ri Sa. "Ri Sa-ya!"

Mendengar itu, Lee Ri Sa langsung menyeka air matanya dan menoleh ke kiri dan ternyata sumber suara tak jauh dari tempat ia berdiri. Ia cukup terkejut saat melihat Choi Moo Gak di situasi yang sangat menyedihkan itu.

"Neo Gwaenchanh-ayo?" tanya Choi Moo Gak sambil berjalan mendekat ke Lee Ri Sa.

"Ne. (ya)" jawabnya singkat seraya memalingkan wajahnya dari Choi Moo Gak.

"Jinja? (benarkah?)"

Lee Ri Sa hanya diam tak bersuara.

"Apa yang membuat seorang Lee Ri Sa bisa menangis? Ceritalah! Aku akan siap jadi pendengarnya."

"Ini tidak ada hubungannnya dengan Sunbae. Dan tinggalkan aku sendiri." Masih memunggungi Choi Moo Gak.

"Setidaknya beri aku kesempatan untuk perhatian sama kamu. Apa memang itu terlalu sulit buatmu? Hanya beri kesempatan."

"Tidak ada kesempatan lagi. Jadi berhentilah dan pergi dari sini! Aku ingin sendiri." Tegasnya.

"Kenapa kamu terus-terusan menyangkal perasaanmu? Aku tau, kamu memiliki perasaan yang sama denganku. Tapi kenapa kamu terus menyangkalnya? Apa karena Yoon Yeom Mi?" sambil menarik lengan Lee Ri Sa hingga mereka berhadapan. "Jawab aku! Sampai kapan kamu akan terus seperti ini?"

"Sunbae! Apa Sunbae ingin menjadikanku sebagai pengkhianat juga? Selama ini aku telah hidup dengan penuh dengan tekanan. Apa Sunbae ingin menambah tekanan itu dengan memaksaku menerima Sunbae?. Jika memang Sunbae sayang sama aku, aku minta lepaskan aku. Menjauhlah dariku dan buang jauh-jauh perasaan itu." Lee Ri Sa menumpahkan kemarahan dan kekesalannya pada Choi Moo Gak sambil menarik kuat-kuat tangannya hingga genggaman Choi Moo Gak terlepas.

Advertisement

"Tekanan? Apa maksudmu dengan tekanan? Apakah dengan kamu mengakui sebuah perasaan itu menambah sebuah tekanan buatmu?"

Lee Ri Sa langsung mengepalkan tangannya untuk menahan emosi, namun justru airmatanya sempat menetes didepan Choi Moo Gak.

"Cukup! Apa memang tak ada sedetikpun buatku bisa bernafas tenang?! kenapa kalian semua menekanku seperti ini?!" emosinya telah memuncak dan iapun semakin tak bisa menahan airmatanya.

Melihat reaksi Lee Ri Sa, Choi Moo Gak yang tak tahu masalah yang tengah dihadapi Lee Ri Sa, sontak langsung terkejut dan panik, "Ri Sa-ya,.. bukan maksudku seperti itu. Aku ingin meringankan bebanmu. Apa aku salah?" ungkapnya.

"Ka!! (Pergilah!)" usirnya tanpa memandang wajah Choi Moo Gak.

Namun ternyata tak secenti pun Choi Moo Gak berpindah dari posisinya hingga Lee Ri Sa teriak lebih kencang, "Oseo!!! (Cepat pergi!!!)"

Dengan ragu, Choi Moo Gak pun akhirnya menyerah dan mulai beranjak dari tempat itu. Perasaan campur aduk antara kecewa dan rasa bersalah terus menggelayuti hati dan fikirannya saat itu. Hingga ia tak menyadari ada Yoon Yeom Mi yang berdiri di balik dinding yang ia lewati.

Di sisi lain, Yoon Yeom Mi yang ternyata mendengar dari awal percakapan mereka hanya bisa menahan emosi dan berusaha untuk tetap berfikir positif tentang Lee Ri Sa. Dalam fikirannya terus menyangkal akan kemungkinan Lee Ri Sa bakal berkhianat padanya.

"Nggak. Aku nggak boleh goyah. Persahabatanku jauh lebih penting. Aku nggak ingin kehilangan sahabat-sahabatku." Ungkap batin Lee Ri Sa yang berusaha menguatkan hatinya. "Kenapa papa harus menghubungiku jika hanya untuk mengucapkan kata-kata menyakitkan itu? sekarang aku merasa benar-benar telah dibuang." Merenggut dadanya yang terasa sesak. "Papa jangan khawatir, aku tak akan kembali ke Indonesia sebelum aku memiliki nama disini. Sekalipun aku harus mengorbankan nyawaku." Lanjut batinnya penuh rasa sakit hati pada orang yang telah ia anggap sebagai orang tua namun akhirnya telah membuangnya.

Tak lama setelah Lee Ri Sa membuka mata dan menghapus airmatanya, tiba-tiba terdengar suara Yoon Yeom Mi yang berjalan mendekat dari kirinya.

"Hya,.. kucari ke seluruh tempat, ternyata kamu malah menyendiri disini. Ish ish ish,.."

Lee Ri Sa langsung kembali menyandarkan badannya di pagar dan menghadap Yoon Yeom Mi.

"Dari mana kamu tau aku ada disini?"

Yeom Mi mengambil nafas berat, "Siapa yang nggak bakal dengar teriakan kerasmu tadi? Ka! Oseo!!" Sambil menirukan teriakan Lee Ri Sa setelah itu diiringi tertawa kecil. "Emangnya siapa yang kamu usir tadi?" tanya Yeom Mi yang berpura-pura tidak tahu.

Hanya gelengan kepala dan tawa kecil yang disuguhkan oleh Lee Ri Sa.

"Kalau ada masalah, jangan dipendam sendiri. Apa gunanya sahabat jika akhirnya kamu hanya memendam kegundahan sendirian?" desak Yoon Yeom Mi.

Lee Ri Sa kembali tertawa kecil dan diikuti mengambil nafas untuk mengatur kekuatan hatinya.

"Yeom Mi-ya,.. jika suatu saat nanti aku mengkhianati sahabatku, apa kamu tetap menyukaiku dan menganggapku sebagai sahabat?" pertanyaan tiba-tiba yang meluncur dari mulut Lee Ri Sa mampu membuat Yoon Yeom Mi terdiam dengan ekspresi terkejut.

"Jawab saja. Aku akan menerima apapun jawabanmu." Desaknya.

"Apa kamu akan mengkhianatiku? Apa kamu akan mengambil Moo Gak Oppa?"

Lee Ri Sa tertawa kecil.

"Ini tidak ada hubungannya dengan itu. Aku hanya ingin tau, menurutmu bagaimana jika sahabatmu melakukan pengkhianatan. Apakah si pengkhianat itu akan tetap kamu anggap sebagai sahabatmu?"

"Pertanyaan macam apa itu? ish. Tentu saja aku nggak akan memaafkannya dan akan sangat membencinya." Jawabnya dengan ekspresi setengah serius setengah bercanda.

"Jinja? (benarkah?)"

"O (ya)." Jawabnya singkat.

Sesaat suasana pun sunyi. Tak ada suara Lee Ri Sa maupun Yoon Yeom Mi. Hingga suara angin berhembus pun mampu terdengar sangat jelas.

"Emmm,... kamu nggak ada niat mengkhianatiku kan? Aku sangat cinta Moo Gak Oppa. Meski ku tahu dalam hatinya bukanlah aku." Ujar Yeom Mi pelan.

Advertisement

"Sekalipun aku cinta sama Sunbae, aku tak akan mengambilnya darimu. Aku lebih memilih menjaga persahabatan daripada menjaga cinta. Jadi kamu tak perlu khawatir."

"Jadi dengan kata lain, kamu juga mencintainya?" tebaknya.

"Entahlah. Tapi jika memang itu benar, aku akan tetap tidak akan mengambilnya darimu. Persahabatan ini lebih penting." Yakin Lee Ri Sa diiringi sebuah senyuman manis dan dibalas senyuman dari Yoon Yeom Mi.

Sementara itu di lapangan indoor SMA Dongjo, Lee Ri An berdiri mematung sambil memandang lekat sebuah tongkat panjang yang membentang di dua tongkat pengukur yang biasa digunakan untuk olah raga lompat tinggi. Tangan dan kakinya sudah tidak dibalut gips dan perban. Namun, kakinya masih tidak sanggup untuk berlari apalagi melakukan lompatan. Perasaan frustasi, depresi dan kesedihan telah bercampur dalam hati dan fikirannya. Olah raga yang selama ini ia banggakan mendadak tak bisa ia lakukan lagi.

"Tak ada atlit yang sukses tanpa pernah cidera. Tak ada salahnya kan istirahat sebentar sekarang? Anggap saja seperti itu."

Suara itu adalah suara Heo Yoon Woo yang tiba-tiba sudah berdiri disamping kanan Lee Ri An saat itu. Ketika Lee Ri An menoleh ke arahnya, ia langsung menyuguhkan sebuah senyuman untuk menghibur Lee Ri An.

"Sedikit demi sedikit kamu pasti bisa kembali menorehkan prestasi untuk bidang ini. Aku akan selalu ada disampingmu, untuk mendukungmu." Menepuk lengan atas Lee Ri An.

"Gumawo (terima kasih). Kamu selalu ada untukku." Dengan tatapan penuh kasih pada Heo Yoon Woo. "Tak masalah kan aku sering disekelilingmu? Tak ada yang marah kan?" Lanjutnya.

"Tentu saja. Aku sangat senang terutama jika bisa membantumu. Aku sangat menyayangimu lebih dari sekedar kakak sahabatku." Celetuk Yoon Woo yang langsung membuatnya salah tingkah.

"Apakah itu benar? Aku nggak salah dengar kan? Kamu menganggapku lebih dari kakak sahabatmu?" Lee Ri An terkejut bahagia mendengar ucapan Yoon Woo.

"Emmm,.... Tak masalah kan, jika itu benar? Aku hanya takut jadi canggung nantinya jika kalian mengetahuinya." Ucapnya ragu dan menunduk.

"Tak perlu malu mengatakan perasaanmu, karena perasaanku jauh lebih dalam untukmu. Aku juga menganggapmu lebih dari sahabat adikku. Jadi tak perlu merasa canggung dihadapanku. Tapi mungkin untuk sementara ini, kita harus merahasiakannya. Jangan sampai orang-orang tau dulu. Terutama Lee Ri Sa."

"wae-yo? (kenapa?)"

"Hanya untuk sementara. Jika keadaan sudah memungkinkan, aku yang akan mengatakan padanya."

"Sampai kapan? Apa mungkin memang kita tak bisa menjalin hubungan lebih dari ini?" sedikit kecewa.

"Hanya sampai aku dapat kepastian tentang pengangkatan kami sebagai cucu Direktur Han. Bisa kan, kita rahasiakan dulu hubungan kita?"

"Mengenai pengangkatan itu, bisakah kalian selesaikan secepatnya? Dan bisakah kalian menolak rencana mengangkatan itu?" ucapnya penuh harap.

"Kenapa kamu mendadak seperti ini?" Lee Ri An sangat bingung dengan perubahan drastis sikap dari Heo Yoon Woo.

"Aku tak ingin kalian dalam bahaya. Terutama kamu. Aku nggak ingin kamu berada dalam bahaya lagi."

"Geogjeongma. (Jangan khawatir)" Yakin Lee Ri An.

Keesokan harinya saat pulang sekolah dan masih dengan mengenakan seragam SMA Meongso, Lee Ri Sa menaiki satu persatu tangga White House. Saat itu ia hanya seorang diri karena memang Lee Ri An telah pulang jauh lebih awal darinya. Ketika Lee Ri Sa baru menginjakkan kakinya di anak tangga ke 5 terakhir menuju lantai dua, ia melihat kakaknya baru keluar dari ruang kerja Direktur Han yang berada di lantai dua. Lee Ri An yang saat itu tidak melihat Lee Ri Sa, langsung naik ke lantai tiga dengan membawa sebuah map di tangannya dan menuju kamarnya.

"Oppa!" panggil Lee Ri Sa ketika baru masuk ke pintu kamar kakaknya.

"Ah, kau sudah pulang?" ucap Lee Ri Sa sambil duduk di kursi belajarnya dan meletakkan map di meja ketika melihat adiknya sudah berada di kamarnya.

"Barusan aku lihat Oppa keluar dari ruang kerja Direktur Han. Ada urusan apa?" mendekat ke meja belajar kakaknya.

Belum sempat Lee Ri An menjawab, Lee Ri Sa sudah melihat map yang ada didepan kakaknya.

"Igo mwo-ya? (ini apa?)" sebelum membuka map itu. "Kontrak perjanjian?" gumamnya dengan tangan gemetar dan semakin gemetar ketika membaca setiap kata dalam kontrak perjanjian itu.

"Perjanjian macam apa ini? Harus mengabdikan diri untuk keluarga Yong dan merebut Cessa Hotel dari Heo Joon Wang. Jika melanggar dan gagal dalam waktu 10 tahun, taruhannya adalah nyawa. Ini jelas-jelas Direktur Han telah memasung Oppa. Kenapa Oppa berani menandatanginya? Kenapa Oppa tidak diskusi dulu sama aku? Sebelumnya Direktur Han juga menawarkannya padaku. Aku sudah menolaknya dan berencana hari ini mengajak Oppa pergi dari rumah ini. Tapi sekarang apa ini?" ia sangat emosi hingga matanya sudah memerah karena tak sanggup menahan kemarahan itu.

"Kenapa kamu semarah ini? Bukankah dengan kita diangkat sebagai cucu Yong Jae Suk dan Han Seo Jin itu akan memudahkan kita untuk meraih kesuksesan dan mampu menegakkan kepala lagi jika kita kembali ke Indonesia kelak?" ungkapnya namun seperti sedang menutupi suatu hal.

"Tapi bukan begini caranya. Masih banyak cara yang lain dan yang pasti tidak akan mengorbankan sahabat dan cinta." Emosinya semakin memuncak.

Lee Ri An sangat bingung dan terkejut ketika mendengar kata-kata adiknya itu. "Apa maksudmu?"

"Oppa tau? Siapa yang akan jadi lawan kita kelak?" berhenti untuk mengambil nafas sejenak. "Keluarga Heo Yoon Woo. Sahabatku dan orang yang Oppa cintai." Tegasnya.

Lee Ri An tambah terkejut mendengarnya.

"Tanpa Oppa mengatakannya pun aku sudah tau bagaimana perasaan Oppa padanya. Bagaimana bisa aku akan diam aja ketika mengetahui jika akhirnya Oppa harus menyakiti orang yang Oppa cintai?" lanjut Lee Ri Sa diikuti berbalik dan ancang-ancang akan pergi dari kamar kakaknya dengan membawa map kontrak perjanjian itu di tangan kirinya.

"Ri Sa-ya! Bagaimana aku tidak menandatanganinya jika taruhannya adalah nyawamu." Ucap Lee Ri An penuh emosi dengan hanya menatap punggung adiknya itu. "Sebelumnya aku juga akan menolak. Tapi Direktur mengatakan hal yang sangat menakutkan, jika aku tidak segera menyetujuinya maka dia akan membunuhmu. Bagaimana bisa aku akan diam saja?" lanjutnya.

Saking marahnya, tangan Lee Ri Sa langsung meremas map yang sedang ada di genggamannya hingga terlihat lusuh sebagian dan kemudian pergi dari kamar kakaknya. Air mata kemarahan pun tak dapat ia tahan lagi.

Tanpa rasa ragu Lee Ri Sa langsung berlari turun ke lantai dua menuju ruang kerja Han Seo Jin. Dengan penuh menahan kemarahan, Lee Ri Sa mengetuk pintu ruangan itu dan membukanya. Saat sudah berada di ruangan itu, ia melihat Han Seo Jin tengah duduk menghadap meja kerjanya dan berbicara lewat telepon dengan ekspresi sangat tenang. Dan ketika ia melihat Lee Ri Sa telah berdiri didepannya ia langsung mengakhiri obrolan itu.

"Ada apa Lee Ri Sa? Apa ada sesuatu yang ingin kau sampaikan?" tanyanya sangat tenang meski ia telah melihat tangan Lee Ri Sa sudah menggenggam erat map yang sebelumnya dibawa oleh kakaknya, dengan ekspresi menahan sejuta kemarahan.

"Saya minta anda batalkan kontrak perjanjian ini." berusaha untuk tetap terlihat tenang meski hatinya sudah membara.

Mendengar itu, Han Seo Jin langsung menyuguhkan senyuman yang justru terlihat sangat menakutkan. Karena orang yang masih dapat tersenyum dalam segala situasi justru pikirannya tak mudah untuk ditebak oleh siapapun.

TAHUN AJARAN BARU, Tiga Bulan Kemudian,...

Sepatu kets putih, kaki putih bersih khas orang asia, tas ransel warna hitam beresleting warna emas, rambut sedikit bergelombang terurai sebahu dan dari belakang terlihat siswi yang tengah berdiri di depan kelas 3-1 SMA Meongso yang merupakan kelas favorit itu juga mengenakan kacamata berbingkai hitam ukuran sedang. Ia sedang menunggu dipersilakan masuk oleh guru wali kelas 3-1 yang saat itu sudah berada didalam kelas.

"Selamat atas kenaikan kelas kalian. Kelas baru suasana baru. Sebelumnya, ada kabar gembira buat kalian dan mungkin ini sedikit kabar buruk untuk Choi Moo Gak." Sambil memandang Choi Moo Gak yang saat itu duduk di bangku kedua dari depan dan kedua dari kiri. "Kali ini kelas kita kedatangan siswi baru yang sangat jenius dan akan menjadi saingan baru untuk peringkat tertinggi kelas ini." lanjutnya.

Mendengar kata-kata yang dikeluarkan oleh mulut wali kelasnya, Choi Moo Gak terlihat tidak nyaman. "Saingan baru?" ungkap batinnya yang cukup merasa gelisah. Ia langsung menoleh ke jendela dekat pintu dan ia hanya melihat setengah dari bagian tas ransel yang dikenakan siswi yang baru disinggung oleh wali kelasnya.

"Masuklah!" seru wali kelas 3-1 pada siswi yang telah berdiri lama di luar kelas.

Tak lama kemudian, muncul langkah kaki memasuki ruang kelas 3-1 yang langsung membuat seisi ruangan itu tercengang tak terkecuali Choi Moo Gak yang sedari tadi terus mengarahkan pandangannya ke pintu kelas.

"Lee Ri Sa?!" "Lee Ri Sa?" "Iya itu Lee Ri Sa." "Wah,.. Si jenius yayasan Jinhyang." "Bukankah itu Lee Ri Sa yang dulu di kelas 1-2? Bagaimana bisa dia langsung berada di kelas 3? Kelas favorit pula." Itulah ocehan-ocehan kecil yang keluar dari mulut siswa-siswi di kelas itu ketika siswi baru itu berjalan mendekat ke tempat wali kelasnya berdiri.

"Annyeonghaseyo,.. naneun Yong Ri Sa ibnida. Mannaseo bangabseubnida. (selamat pagi, saya Yong Ri Sa. Senang berjumpa dengan kalian)." Diiringi senyuman yang sangat tenang. Namun ketika ia bertemu mata dengan Choi Moo Gak, ia sejenak berubah ekspresi dan itu tidak berlangsung lama.

>> Part 15

    people are reading<Soul In Seoul>
      Close message
      Advertisement
      You may like
      You can access <East Tale> through any of the following apps you have installed
      5800Coins for Signup,580 Coins daily.
      Update the hottest novels in time! Subscribe to push to read! Accurate recommendation from massive library!
      2 Then Click【Add To Home Screen】
      1Click