《[✓] Mate || Park Jihoon》Chapter 21.
Advertisement
Keesokan harinya, setelah selesai membuatkan sarapan dan makan bersama, Jihan yang juga sudah selesai merapihkan rumah kini beralih duduk di sofa dengan membaca buku novel miliknya sedangkan jihoon pria itu pergi ke kamar untuk mengambil handphonenya.
"Kasian sekali suaminya tidak di hargain sama gadis ini, bisa-bisanya dia bohong ke suaminya terus jalan sama temen cowok nya." Gerutu Jihan kesal saat membaca cerita di buku itu.
Jihoon yang menuruni tangga dan mendengar ungkapan kekesalan dari Jihan itu pun berjalan ke arah Jihan kemudian duduk di sebelah Jihan.
"Kamu ngapain si?! Baca sendiri heboh sendiri, masih sehat kan?!."
"Ya masih lah, kamu pikir aku kurang waras apa!."
"Terus kenapa heboh sendiri begitu?! Cuman baca novel aja udah kaya lagi debat sama ibu-ibu komplek."
"Ini tuh aku lagi kesal bacanya, masa gadis di dalam cerita ini Bohong ke suaminya sendiri bilang jalan sama sahabat ceweknya tapi tidak tahunya malahan ketemuan dengan teman pria nya."
"Oh ya?! Terus si suaminya itu gimana reaksinya?!."
"Tentu saja marah lah, udah mana suaminya itu baik banget percaya juga sama dia tapi kepercayaannya malahan di khianati, kasihan."
"Sudahlah, namanya juga cerita kalo tidak ada konflik tidak akan seru ceritanya."
"Benar juga si." Ucap Jihan menganggukkan kepalanya.
"Kamu mau ikut aku?!."
"Kemana?!."
"Aku mau lihat kantor yang papa kasih ke aku."
Belum sempat Jihan menjawab tiba-tiba saja ponselnya bergetar yang kemudian muncul satu notifikasi dari sungchan, jihoon yang sempat melihat siapa yang mengirim pesan ke Jihan itu pun langsung merubah wajahnya menjadi datar.
Jihan membuka pesan masuk itu, walaupun sesekali ia melirik kearah jihoon tapi lagi-lagi Jihan berpikir bahwa jihoon tidak akan memarahinya jika ia keluar bersama sungchan.
"Jihoon maaf aku sepertinya tidak bisa ikut kamu hari ini."
"Kenapa?!."
"Hm aku mau nemenin sungchan keluar, dia mau ke toko buku Gramedia pustaka."
"Tidak boleh, kamu harus ikut aku ke kantor."
"Tidak bisa jihoon, aku tidak enak menolaknya."
"Kalo kamu tidak enak menolaknya lalu kenapa kamu menolak aku yang notabenenya suami kamu sendiri?! Apa di dalam hidup kamu tidak ada perasaan tidak enak jika itu adalah aku?!."
Jihan seperti di hajar oleh ucapan jihoon ia diam seribu bahasa saat jihoon berbicara dengan wajah datarnya, melihat reaksi Jihan yang hanya diam saja membuat jihoon tak habis pikir dengan apa yang di pikirkan oleh Jihan.
Lantas jihoon pun menampilkan senyum miringnya dengan menatap kearah lain, kemudian ia kembali menatap Jihan dan beranjak berdiri yang membuat Jihan menatapnya.
"Ya sudah, semoga hari kamu menyenangkan bersama sungchan, aku pergi dulu." Ucap jihoon mengambil kunci mobilnya dan pergi dari rumah meninggalkan Jihan yang menatap punggungnya itu.
"Apa Jihoon marah denganku?! Memangnya aku salah ya mau nemenin sungchan ke toko buku doang?!." Batin Jihan.
Advertisement
Jihoon berjalan masuk ke dalam mobilnya, ia menatap kearah pintu rumahnya lalu menggelengkan kepalanya dengan menarik sudut bibirnya keatas.
"Bahkan dia sama sekali tidak menyusul ku, apa dia tidak tau aku sedang marah dengannya?!." Sarkas Jihoon, tak ingin buang-buang waktu jihoon menyalahkan mesin mobilnya dan pergi meninggalkan halaman rumah nya.
Tak lama mobil jihoon keluar dari pagar rumah, Jihan keluar dengan pakaian rapihnya ia mengunci pintu rumah nya setelah itu naik taksi yang sudah ia pesan untuk pergi bertemu dengan sungchan.
Di taksi Jihan menatap keluar jendela dengan pikiran kosongnya, entah kenapa rasanya ia sangat aneh dengan sikap jihoon akhir-akhir ini, apakah pria itu cemburu dengan sungchan, tapi untuk apa? Bukankah di antara mereka tidak ada rasa suka, lalu buat apa cemburu seperti itu ditambah lagi Jihan hanya ingin menemani sungchan saja karena setelah mendengar cerita sungchan yang yatim piatu membuat Jihan merasa kasihan karena sungchan sendirian tidak memiliki siapapun.
"Dasar pria aneh, dia bilang percaya denganku tapi buktinya dia malahan sering marah-marah hanya karena aku ingin bertemu sungchan."
Lima belas menit kemudian Jihan sampai di kafetaria tempat ia bertemu dengan sungchan, saat kakinya melangkah masuk ia bisa melihat punggung sungchan yang duduk di meja nomor tiga belas.
"Sungchan, maaf nunggu lama." Ucap Jihan.
"Tidak apa-apa, aku juga baru sampai kok, oh ya duduk dulu biar aku pesankan minuman untuk mu." Ucap Sungchan, kemudian memanggil pelayan kafetaria itu,"Mbak saya mau pesan minum."
Mbak pelayan itu pun berdiri di samping mereka untuk menulis pesanan.
"Kamu mau minum apa?!." Tanya Sungchan.
"Samain saja seperti kamu." Ucap Jihan tersenyum.
"Ya sudah mbak pesan cappucino drink nya satu lagi ya."
"Baik mas, tunggu sebentar ya."
Saat mbak pelayan itu pergi untuk membuatkan pesanan mereka, sungchan menatap wajah Jihan dengan senyuman nya itu.
"Kamu tidak merasa direpotkan oleh ku kan Jihan?! Aku benar-benar tidak enak karena selalu minta kamu nemenin aku keluar." Ucap Sungchan.
"Tidak kok, aku senang bisa membantu kamu, lagi juga aku lagi tidak ada kerjaan di rumah jadi bisa nemenin kamu." Ucap Jihan.
"Kalo gitu boleh kan kapan-kapan aku main ke rumah kamu." Ucap Sungchan, sontak Jihan kaget mendengar itu, ia tidak mungkin bawa sungchan ke rumah nya kalo sungchan bertemu dengan jihoon bisa-bisa dia tau kalo Jihan sudah menikah dengan jihoon dan Jihan belum siap untuk soal itu.
"Jihan, kok bengong si?!." Tanya Sungchan.
"A-ah soal itu liat nanti saja, bukannya aku tidak memperbolehkan kamu main ke rumah ku, tapi rumah aku itu lagi berantakan karena banyak ponakan yang datang." Ucap Jihan berbohong.
Sungchan dengan polosnya mempercayai ucapan Jihan yang sedang membohonginya, sungchan menganggukkan kepalanya lalu tersenyum simpul menatap Jihan.
Advertisement
"Baiklah, tidak apa-apa next time saja." Ucap Sungchan.
"Iyah." Ucap Jihan tersenyum canggung, akhirnya ia bisa bernafas lega karena sungchan tidak banyak tanya soal ucapannya.
"Permisi ini pesanannya."
"Terimakasih mbak." Ucap Jihan, mbak pelayan itu pun pergi setelah mengucapkan kata sama-sama.
"Aku minum ya." Ucap Jihan yang di angguki oleh sungchan.
"Oh ya, jadi kapan kamu mau ke toko bukunya?!." Tanya Jihan.
"Sepertinya tidak jadi hari ini, maaf Jihan." Ucap Sungchan.
"Lho, kenapa memangnya?!." Tanya Jihan.
"Aku baru saja diberitahu kalo toko buku nya tutup dan bukanya besok, aku benar-benar tidak enak denganmu, tapi sebagai ganti nya aku akan turutin kemanapun kamu mau pergi hari ini, tenang saja aku yang traktir." Ucap Sungchan.
Jihan terdiam pikirannya tiba-tiba saja terpikir jihoon saat ini, apa dia harus pergi ke perusahaan jihoon atau pergi bersama sungchan? Tapi seharusnya dia pergi untuk menemani sungchan ke toko buku, bukan malahan jalan-jalan tidak jelas.
"Hm maaf sungchan sepertinya aku tidak bisa, untuk ke toko buku kabarin saja ya besok, aku pulang dulu." Ucap Jihan memakai tas selempang nya lalu beranjak berdiri.
"Jihan tunggu." Pergelangan tangan Jihan di tahan oleh sungchan yang membuat Jihan membelalak.
"Ma-maaf aku tidak bermaksud."
"Tidak apa-apa." Ucap Jihan.
"Untuk hari ini saja pergi bersamaku Jihan, kamu mau kan?!." Tanya Sungchan.
"Bagaimana kalo jihoon tau aku tidak pergi ke toko buku melainkan ke tempat lain, pasti dia akan berpikir yang aneh-aneh nanti, tapi tidak mungkin juga dia tau soal ini, dia kan lagi di perusahaan papa, apa aku terima aja ya ajakan sungchan?! Lagi juga di rumah aku sendirian pasti membosankan." Batin Jihan.
"Jihan, bagaimana kamu mau kan?!."
"Baiklah, aku mau." Ucap Jihan menganggukkan kepalanya.
"Ya sudah, kalo gitu kita berangkat sekarang saja, biar aku yang bayar."
"Tidak usah, aku saja ini kan minumanku."
"Karena ini minuman kamu makanya aku yang bayarin saja, udah tenang uang aku tidak akan habis kok cuman karena bayar minum doang."
"Haha yasudah Iyah, terimakasih sungchan."
"Sama-sama." Ucap sungchan tersenyum manis, setelah membayarnya mereka berdua pergi ke motor sport milik sungchan dan pergi untuk mencari tempat yang ingin mereka datangi.
*****
Di kantor papa jihoon yang akan menjadi kantor milik jihoon sebentar lagi, jihoon yang sudah berada di dalam ruangan papanya duduk di sofa empuk di dalam ruangan, matanya terus menatap ke ponsel alih-alih menunggu chat atau telepon dari Jihan, namun, tidak ada notifikasi apapun selain wajah jihoon yang terpantul di kaca telepon.
"Kamu benar-benar menyebalkan, Jihan." Ucap jihoon pelan, terlihat wajah kesal jihoon sampai meremas handphone nya itu.
"Jihoon, ada apa denganmu sampai handphone di remas seperti itu?! Kenapa?!." Tanya Papa.
"Tidak, tidak ada apa-apa." Ucap Jihoon menggelengkan kepalanya.
Papa yang melihat sikap anak laki-lakinya itu seperti menyembunyikan sesuatu darinya membuat papa yakin kalo jihoon sedang memiliki Masalah yang sekarang sedang ia hadapi.
Papa berjalan ke arah sofa dan menjatuhkan tubuhnya di samping jihoon.
"Masalah dalam rumah tangga itu memang macam-macam bentuknya, ada yang kecil, sedang dan ada yang besar, tapi semua masalah itu ada jalan keluarnya, dan papa yakin kamu pasti bisa menyelesaikan masalah kamu dengan Jihan."
"Papa ngomong apa si, aku tidak punya masalah kok dengan Jihan, jangan sok tahu deh pa." Ucap jihoon yang tidak mengubah ekspresi datarnya sama sekali.
"Wajah kamu itu tidak bisa membohongi papa jihoon, kamu sudah papa urus dari bayi setiap perubahan kamu papa sudah hafal semuanya, jujur saja dengan papa, kamu sedang bertengkar dengan Jihan?!." Tanya Papa.
Jihoon diam ia memang tidak bisa berbohong terlebih lagi saat bersama papa nya sendiri, jihoon menghela nafas berat nya dengan mengusap wajahnya.
"Aku kesal jika Jihan keluar rumah untuk menemui sungchan teman laki-lakinya, aku selalu melarangnya tapi jihan selalu bilang kalo dia hanya ingin menemani sungchan ke toko buku saja, malahan Jihan meminta aku untuk percaya sama dia, aku kesal pa, aku benar-benar kesal, dia lebih memilih pria itu dibandingkan aku suaminya."
Papa tertawa kecil saat tau apa yang menjadi pikiran jihoon sekarang.
"Kamu cemburu dengan pria itu, jihoon?!." Tanya papa.
"Cemburu?! Tidak tuh, aku mana mungkin cemburu, aku hanya kesal."
"Itu sama saja bodoh, astaga anak siapa si kamu tuh."
"Anak papa lah, kalo aku bodoh berarti papa bodoh juga dong."
"Aish, ternyata seperti ini lah kakek mu selalu memarahi papa saat papa masih berusia sama seperti kamu." Ucap papa menggelengkan kepalanya, lalu kembali menatap wajah jihoon,"Yaa! Kamu tau tidak, kesal ataupun marah itu bisa diibaratkan dengan hati, seperti kamu sekarang, kamu kesal Jihan lebih memilih pria itu dibanding kamu, itu namanya kamu cemburu."
"Sekarang papa tanya sama kamu, apa kamu sudah memiliki perasaan sama jihan?!." Tanya papa.
"Entahlah, tapi aku selalu merasa nyaman saat berduaan dengan Jihan."
"Nah, itu points penting nya, rasa suka itu akan datang jika kita merasa nyaman dengan seseorang, papa yakin tidak lama lagi kamu juga akan merasakan apa itu cinta, dan untuk soal Jihan dengan pria itu kamu harus berbicara baik-baik dengan Jihan, selesaikan dengan kepala dingin jangan sampai ucapan kamu ini menyakiti perasaan Jihan."
"Baiklah, jihoon mengerti, terimakasih pa." Ucap Jihoon tersenyum.
"Sama-sama, papa tau kamu pasti bisa menjadi pemimpin yang baik di keluarga kamu." Ucap papa menepuk pundak jihoon.
Advertisement
Elder Cultivator
Anton is a great-grandfather. He is living quite a happy life, despite his advanced age and declining health… until a group of cultivator bandits moves into the area. The nearby guardians of the area, the Order of Ninety-Nine Stars, are unable to track them down as they continue to ravage nearby towns. During one desperate winter Anton is out on a hunt when his family- his entire village- is killed or taken as slaves by the bandits. He lacks the strength to fight them, and he wasn’t even present for their arrival to die with his loved ones. At the pit of his despair, he wonders if he ever had any chance to change things. What could he even do? He cannot even pull his best bow, and his eyesight is failing. If he had been a cultivator… perhaps there might have been a chance, but he was decades- perhaps even most of his life- too late. Notes on cultivation levels: There are five general stages of cultivation, though the fifth is extremely rare. Each cultivation style might have their own name for the stages. 1. Body Tempering 2. Spirit Building/ occasionally System Creation (Ninety-Nine Stars) 3. Constellation Formation (Ninety-Nine Stars) 4. Life Transformation/Galaxy Construction (Ninety-Nine Stars) 5. Ascension Cover picture courtesy of gej302.
8 1245Maker of Fire
On a world where magic kept civilization firmly in the bronze age, the Gods dropped an accountant and a mining engineer to start a political and industrial revolution. They wanted enlightened governance and a fast track to the iron age. They got indoor plumbing, paper airplanes, a cranky queen, and one very grumpy prophet. Dramatis Personae Aylem was a bookkeeping student when she died. The Gods reincarnated her as the greatest mage ever known, born into the ruling class of gigantic, magic-wielding humans. The Gods expect her to conquer the world and introduce double-entry accounting. Though Queen and numerical reformer, world conquest is stalled because everyone is scared of her and she doesn't like war. Emily was a retired engineer when she died. The Gods reincarnated her as one of the enslaved class of small, magicless humans. The Gods expect her to drag the world out of the bronze age. Though she's already recreated matches and wrought iron, introducing technology isn't going well because she was born a slave (oops) and having escaped, wants nothing to do with so-called "civilization." Asgotl was a whale when he died. The Gods reincarnated him as a griffin and expect him to have the same role he played in his previous life: to keep a reluctant prophet from walking off the job. If only they had remembered to tell him about it. Revised update schedule will be once a week on Saturdays, noonish Mountain Time (in North America)
8 193Zero Tamer
An heir to one of the seven Royal families and current ruling family Rinox Firestorm is finally of age to be tested to find out what kind of monster tamer he will become. This is my first-time writing anything more than a short story so let us see how it goes. [also I do not own the cover picture and would cite them but found it off google. If the owner wants it removed just let me know or if someone does a fan art... when or if I get fans that is]
8 168The Oresteia (Modernized)
All three of the great Greek Tragedians have written plays about the bloody chain of murder and revenge within the royal family of Argos. Yet theirs is in fact not a story of tragedy, but rather one of redemption. As they move from darkness to light, from rage to self-governance, from primitive ritual to civilized institution, their spirit of struggle and regeneration becomes an everlasting song of celebration to be heard throughout the ages. Forming a discourse set against the emergence of Athenian democracy out of a period of chaos and destruction, the Orestian plays are compelling stories of the tensions between our obligations to our families and the laws that bind us together as a society. In the beginning, we witness how a king’s decision to sacrifice his daughter and turn the tide of war inflicts lasting damage on his family, culminating in a terrible act of retribution. In the aftermath of regicide, we behold how a son must set out to avenge his father’s death by committing a most egregious sin. In the end, the sinner is tormented by supernatural powers that can never be appeased, but ultimately finds redemption and ends the curse on his house once and for all. Woven through all of this is the story of a friendship so close that it elevates itself to brotherhood - Where the blood of the covenant is shown to be indeed thicker than the water of the womb. In this very brief twelve-chapter modern rendition of the Orestian plays, I have chosen to place my focus mainly on the lives of the characters Orestes and his best friend Pylades. The chapters, each around 2000-2500 words, are split up evenly between them in first-person narrative. I hope that you will come to enjoy reading this heartwarming story, but more importantly, that you see how the conflicts portrayed in the story, whether human or institutional, are still much very relevant to our societies today. Note on Sources: The details of this story is very loosely based on The Oresteia by Aeschylus. And I mean very loosely. Other sources that I referenced for detail and inspiration are Mythology by Edith Hamilton, Electra by Sophocles, and Iphigenia in Tauris by Euripides. You may also find that I have quoted some of these works, and others (such as Shelley's Ozymondaeus), without citations (average of 1-2 such quotes per chapter). I did this because I do not have the ability to describe certain scenes nearly as well as some of those writers. If you read a particularly beautiful piece of prose here, chances are it's probably stolen lol. Also, I wrote this during the summer between my high school senior year and my college freshmen year. It was the summer of 2020, and being quarantined apparently gets my creative side out lol.
8 191Psychotic Death Online
(Side Project for now)In a futuristic alternate reality, the creators of nanotech team up with the VR capsule company to create a capsule where one could stay it in for a year at a time before having to leave. These capsules could be use for rehab and even reconstruction! Eventually, Buzzard, the largest gaming company in the world, created a new VRMMO with 99% realism pending the new capsules, of course the rate dropped to 97% with normal capsules and 90% with the old fashioned visor systems. Unfortunately, the new capsules cost $100,000 and not many people can afford them, either way the new game World of Destiny was a hit with over 110 million subscriptions!Meet our tragic MC Feng Jun, an injured psychopath that simply wants to get his next kill. He has no MO, he doesn't even care if what he kills is an insect let alone a person. He just has to kill every once in awhile to scratch his itch. Up til an injury that left him without a leg, he was able to make do simply killing insects as no one cared and he didn't even have to visit any doctors about it. People just thought he hated bugs! But after his injury he has been suck at his home not being able to do anything! Fortunately he is rich and spends most of his time playing MMOs since normal VRMMOs don't work well with his injury as the realism setting always keeps him with only one leg! But what will he do with a new opportunity to rebuild his leg with nanotech? Knowing he has to spend a year in the game minimum for something like this, he sets a goal to insure he doesn't go crazy (er) without having stuff to kill.This is a VRMMO story where the game is closer to zhan long than royal road with a few twists here and there. The world outside of the game is sci fi and has very little impact at least for the first year due to obvious reasons. No gore or explicit sex in this story, if cursing requires a mature tag I will add it later, this story is at best PG-13. Tragedy is for his circumstances and previous life, the game itself isn't tragic at all as it's just a game more or less.(This story will be put out alongside my main story whenever I feel like it for now, no set schedule at this time)
8 150THE WHITE ROSE PAINTED WITH BLOOD
[ poetry story / teen fiction ] : about teens, who were afraid. NOTE : feel free to skip the entirety of book i ; autumn and jump straight to book ii ; winter // © 2021-2022 @uranium-girl
8 151