《BRAINWASH》26. MISI SELESAI
Advertisement
Empat hari setelah kepulangan Papa dari Bali, pertemuan kami bersama Mama akhirnya terlaksana. Sepulang kuliah, aku tetap memilih pulang duluan. Sama sekali enggak tergoda dengan iming-iming Erlangga yang akan mentraktir kebab bila aku ikut. Pasalnya, Erlangga dan beberapa teman sekelas akan pergi ke rumah Diandra yang terletak di Bantul. Pulangnya mereka rame-rame ke Malioboro. Misiku kali ini harus berhasil, jadi kutolak ajakan Erlangga dan memilih pulang dengan ojek online. Soal kebab aku bisa minta traktir Mama kalau misiku kali ini berhasil membuat rumah Papa kacau.
Setelah salat magrib, aku berjalan ke ruang tengah. Sambil menunggu Mama Ambar dan Evalia yang entah sedang sibuk apa di kamar Mama Ambar, kubuka Instagram. Enggak lama Evalia memanggilku, dia ingin aku masuk ke kamar Mama Ambar. Keraguan meliputiku, enggak enak saja masuk ke kamar orang tua. Apa lagi Mama Ambar bukan Mama kandungku.
“Ayo sini, Mbak. Bisa sampai subuh kalau menunggu Mama memilih syal.”
Syal?! Jadi gara-gara syal Mama sama Evalia enggak keluar-keluar? Segera kuhampiri kamar Mama Ambar. Dari ambang pintu, kulihat kamar Mama Ambar yang tembok dan perabotannya didominasi warna kuning gading dan cokelat tua. Aku berusaha fokus enggak tergoda untuk mengelilingi kamar dengan mataku. Kupaksa kedua mata hanya tertuju pada Mama Ambar yang berulang kali mengambil dan mencoba syal lalu menaruhnya di atas tempat tidur.
“Itu bagus. Tante jadi makin cantik,” celetukku saat Mama Ambar berdiri di depan cermin mengenakan syal bermotif garis dengan warna cokelat.
“Ah, kamu ini! Beneran enggak norak, Mai? Enggak kelihatan ramai?” Mama Ambar menoleh ke arahku sekilas lalu kembali menatap bayangan dirinya di depan cermin yang mengenakan baju bergaris warna putih tulang, rok selutut warna hitam, dan syal bergaris warna cokelat.
“Enggak Tante, kan bajunya warna putih. Warna netral dikasih cokelat jadi bagus,” yakinku.
Aku berkata jujur loh soal penampilan Tante Ambar malam ini. Tante Ambar memang terlihat lebih cantik. Warna lipstik Mama Ambar yang merona sepertinya patut diberi penghargaan karena membuat penampilan pemakainya lebih segar.
“Ya udah, deh. Yuk berangkat!”
Aku meninggalkan kamar Tante Ambar lebih dulu sambil tersenyum puas. Aku menyematkan satu bintang imajinasi pada dadaku karena berhasil membuat Mama Ambar mendengar saranku. Saat mengambil tas yang aku letakkan di sofa ruang tengah, Mama Ambar memintaku untuk menelepon Papa.
Advertisement
“Maira, tolong telepon Papamu dong. Bilang, kalau kita mau ke hotel bertemu dengan mamamu.”
Wajah semanis bidadariku seketika berubah licik. Senyum sinis tersungging. Segera kukeluarkan ponsel dari dalam tas rajut buatan Eyang Uti. Kupencet layarnya secara sembarang lalu mendekatkan ke telinga. Kulakukan hal itu beberapa kali.
“Papa susah sekali dihubungi,” keluhku kesal.
“Kok tumben, sih! Kenapa ya? Nanti coba telepon lagi ya.” Mama Ambar melempar tatapan enggak percaya. “Ya sudah, kita berangkat dulu saja.”
Mama Ambar berjalan paling depan. Evalia yang betugas mengunci pintu, berjalan paling belakang. Aku membantu menutup pintu gerbang, lalu masuk ke mobil hampir bersamaan. Selama perjalan, Evalia lebih banyak bercerita. Entah karena Mama Ambar sedang fokus menyetir atau tengah kepikiran Papa yang enggak mengangkat teleponku tadi? Karena, tiba-tiba saja Mama menyela pembicaraan Evalia untuk memintaku menelepon Papa lagi. Aku yang duduk di belakang segera mengambil ponsel dari dalam tas rajut. Lagi-lagi kupencet ikon sembarang pada layar ponsel, lalu mendekatkannya ke telinga. Aku bersyukur di dalam hati karena bukan Evalia yang disuruh, melainkan aku.
“Sibuk, Tante. Aku kirim WA aja, ya,” kataku pada Mama Ambar yang menunjukkan ekspresi gelisah karena jawabanku.
“Boleh deh.” Mama Ambar langsung setuju.
Suasana hening meliputi. Sungguh membuat enggak nyaman, aku berusaha mencairkan dengan bertanya tentang kafe yang unik di Yogyakarta . Evalia menjawab dengan menyebutkan beberapa nama kafe yang di antaranya pernah disebut Erlangga.
“Pernah jumpa fans di sana?” tanyaku.
“Aku penulis, Mbak. Bukan artis.” Evalia mengatakan sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Loh penulis punya fans juga, kan?” tanyaku merasa enggak salah memilih kata.
“Launching buku baru, Mbak atau bedah buku.” Evalia membetulkan perkataanku.
Kulihat sekilas Mama Ambar tersenyum. Lalu aku mulai membahas tentang penulis yang memiliki banyak fans, eh pembaca maksudnya. Evalia menimpali, Mama Ambar juga sih meski hanya sekilas-sekilas saja. Tiba-tiba saja kecepatan mobil melambat, kulihat ke jendela ternyata kami sudah memasuki kawasan hotel yang banyak terdapat banyak tumbuhan perdu. Pohon-pohon berdiri gagah dengan jarak yang sama antara pohon satu dengan yang lainnya. Setelah memarkirkan mobil, kami bertiga segera turun. Mama Ambar terlihat mengaduk isi tasnya. Dengan sigap, segera kukatakan kalau kami harus segera sampai di kamar hotel Mama sebelum Mama pergi menemui temannya.
Advertisement
“Oh, oke. Nanti saja Tante
Menelepon Papa.” Dengan terpaksa Mama Ambar menuruti kemauanku.
Kami bertiga berjalan memasuki lobby. Evalia berjalan sendirian di belakang karena sedang menerima telepon dari temannya. Sedangkan aku dan Mama Ambar berjalan bersisian. Sambil mengomentari suasana lobby hotel yang tradisional sekaligus modern, aku bergelayut manja ... aduh! Ini sebenarnya bukan aku banget. Aku enggak biasa bermanja kepada orang lain selain Papa. Sama mamaku sendiri aja enggan, apa lagi dengan Mama Ambar yang bukan orang dekat buatku. Namun, aku terpaksa melakukannya demi keberhasilan misiku.
“Langsung ke kamar Tante Nila? Enggak nunggu di Lobby?” tanya Evalia setelah menyusulku dan Mama Ambar.
“Langsung ke kamar mamaku aja. Kita bisa ngobrol sambil selonjoran di atas kasur,” jawabku.
“Bener juga. Sambil makan camilan ya? Semoga Tante Nila punya banyak camilan.”
“Hush! Kamu ini makanan aja yang dipikir. Kita aja lupa enggak membawa oleh-oleh buat Tante Nila tadi.” Mama Ambar menepuk bahu Evalia agak keras.
“Enggak apa-apa Tante. Mama itu enggak seberapa doyan cemal-cemil.” Pandanganku menyusuri ruangan mencari di mana lift berada. “Sebelah sana ya, lift-nya?”
Kami bertiga berjalan bersisian menuju sebelah kanan gedung. Ada seorang pria yang tengah berdiri di depan salah satu pintu lift. Pria itu memiliki postur tubuh yang sangat aku kenal.
“Itu ... Papa bukan sih?”
Pertanyaanku segera mendapat tanggapan berupa tatapan bingung dan enggak percaya dari Mama Ambar dan Evalia. Secara refleks mereka berdua berjalan cepat menuju lift. Salah satu pintu lift terbuka, sosok mirip Papa masuk. Pintu lift menutup sebelum Mama Ambar dan Evalia sampai di depan lift. Kami bertiga segera mengikuti ke lantai lift itu berhenti. Karena kami yakin cuma Papa seorang yang ada di dalam lift. Begitu keluar dari lift, kami mencari sosok yang mirip Papa itu. Pria itu berjalan di koridor dengan jarak yang jauh dari kami. Aku berjalan cepat mendahului Mama Ambar dan Evalia untuk mengejarnya. Saat itulah kulihat Papa memasuki salah satu kamar. Segera saja kukeluarkan ponsel dari dalam tas. Kulihat pesan WA dari Mama yang memberitahu nomor kamar hotel. Kucocokkan dengan nomor pintu kamar yang tadi dimasuki Papa.
“1005,” gumamku. Lalu berjalan kembali ke arah Mama Ambar dan Evalia.
“Papa bilang ke Tante enggak, hari ini mau pergi ke mana atau ada janji dengan siapa?” tanyaku pada Tante Ambar dengan nada penuh kehati-hatian.
“Enggak, tadi kamu telepon enggak bisa juga, kan? Memangnya kenapa?” Mama Ambar bertanya dengan mimik wajah antara cemas, enggak percaya, dan jengkel.
Aku memasang wajah sedih, lalu kusodorkan ponsel ke arah Mama Ambar. Kubiarkan Mama Ambar dan Evalia membaca sendiri pesan WA dari mamaku mengenai nama dan nomor kamar hotel tempat mamaku menginap.
“Apa karena ini Papa enggak menjawab telepon? Bukannya Papa benci banget ya sama Mama? Tapi kenapa malah ke kamar hotel mama diam-diam?” gumamku.
Air muka Mama Ambar enggak hanya terlihat sedih tapi juga marah. Wanita yang menyempatkan menyanggul rambutnya dengan sederhana itu berjalan gontai menuju lift. Tangannya sempat terangkat menyentuh mata, sepertinya Mama Ambar menangis. Evalia mengejar lalu merangkul Mama Ambar untuk menenangkan. Aku tersenyum puas sambil berjalan pelan di belakang mereka. Aku yakin, kalau rencanaku kali ini akan berhasil.
***
Aku sengaja ikut pulang. Aku enggak mau memperkeruh keadaan dengan tetap berada di hotel. Meski sebenarnya, ingin sekali aku bertemu Mama. Sesampainya di rumah, Mama Ambar langsung masuk kamar dan enggak keluar-keluar lagi. Kami berdua takut untuk mengetuk pintu. Jadi yang bisa kami lakukan cuma menunggu di ruang tengah.
Sekitar dua jam mengurung diri, Mama Ambar tiba-tiba keluar kamar dengan membawa satu koper besar. Ia berkata akan ke rumah Nenek dan kakeknya evalia. Eva terpaksa enggak bisa ikut karena akan menghadapi ulangan umum. Setelah kepergian Mama Ambar, Evalia masuk kamar. Meski rencanaku kali ini berhasil, tapi aku merasa ada yang aneh dengan diriku. Entah kenapa aku merasa enggak bahagia banget. Aku malah merasa seperti ada yang hilang. Rumah ini juga terasa gueia justru merasa rumah itu jadi terasa aneh sekarang.
Papa baru pulang pada pukul sepuluh malam. Evalia menolak keluar kamar meski Papa sudah mengetuk pintu kamarnya berulang kali. Aku juga hanya membuka pintu untuk mengatakan kalau Mama Ambar pergi membawa koper.
Advertisement
- In Serial21 Chapters
Hopeless Romangatic
A high-school kid is so wrapped in romance mangas and the love that they have in them by the time an actual girl likes him he has no idea how to deal with her. After having to break up with his girlfriend, Yu, a 2nd year high-schooler spends most of his days reading romance mangas. It makes his heart flutter in ways never thought to be possible. His classmate Sara likes to watch over him from a distance. He really doesn't take care of himself making her worry for him. In actuality it's because she is in love with him. The only thing that she thinks is getting in the way is his manga. So she decides that she'll fix him up and show him what true romance is like. She's confident in her plans, but when it doesn't go her way she becomes very flustered and shy. And to make matters worse she's never actually been in a relationship before. How will things work out between the two? Who knows! Because I sure as hell don't!
8 77 - In Serial47 Chapters
Rebirth of Fa Wei Lan
I am dying - it was inevitable. The poison given to me over the course of several months have spread throughout my veins and seep through my bones. I was alone. There was not one single person to hold me, to comfort me, or to cry for me... I am all alone...NOTE from the writer: I'm an amateur writer so please overlook plot holes, grammar issues, or anything else a story is supposed to have. This is my original story so... as the saying goes "if you have nothing nice to say, don't say anything at all".
8 311 - In Serial50 Chapters
My Mate is a Monster
The black wolf looked towards me after I gasped and his piercing green eyes stared into my bright blue ones. It felt as if time had stopped, and that the only people in the field were him and me.After what seemed like an eternity, I saw him shift back and then whisper, "Mine."******Started on 6/22/2016, Completed on 2/22/2017Highest Rank- #16 in Werewolf on 9/25/2016
8 233 - In Serial11 Chapters
Fractured Horizons
I am discontinuing this story, it is not fully baked and I want to full rewrite it. However as it stands I do no recommend this, It will a poor incomplete experience, I will have other fictions and will eventually rewrite this one, but I am not deleting it as to me I am still proud that I did this, I am just not proud of the outcome. Thank's yall for understanding Zara, a princess, is set to be wed in three days to a beautiful prince. However the royalty is corrupt, and the prince is repulsive. Her life was destined for unfulfillment and suffering. On her wedding day, when all looked lost, she is captured by a dragon. Waking up in an unfamiliar place, she learns that this dragon wants to change the world. To unify the nations. They begin a Journey of unifying the nations of the world no matter how long it takes, and how hard it is. This is my first serious writing project so any feedback is welcome and appreciated! Go hard, even if it hurts it will make me better, and the story stronger.
8 141 - In Serial38 Chapters
A Lonesome Fragrance Waiting to be Appreciated 4
Book 3 COMPLETEDThis is Book 4 (COMPLETE)This is the final book:Bai Pingting has always been contrary the saying, "A woman's virtue is ignorance". Although she serves the Marquess of Jing-An as a maid, she leads a life far richer than most women. Her plain appearance is not what defines her - but her intelligence, far beyond many wise men.Although Chu Beijie was an enemy general, she still cannot help being attracted to this man, despite the many lies and conspiracies...but between love and loyalty, she must make a choice. She can only hope that man's love for her isn't as deep as she thought.One is a soul who seemingly destroys peace while the other aspires to be the sword that saves. Between them, lies a mountain of hate...Who of the two most cunning people on earth cast the trap and just who captured the other?
8 214 - In Serial28 Chapters
The Hazards of Skinny Dipping
This isn't a deep book about first loves or self-discovery. If you want a book like that, I'd be happy to recommend one, but I don't have that kind of story to tell. Instead my story is about rash decisions and finding out that your dream guy is bad in bed. It's the story of when I finally went skinny dipping, and how my life was never the same again. Oh, and it's also the story of my freshman year of college and realizing Mr. Right might have been there all along.
8 133

