《BRAINWASH》24. TITAH ERLANGGA
Advertisement
Seharian berada di pantai seperti kemarin, membuatku lebih semangat menjalani rutinitas kampus. Otak terasa lebih segar dan badan terasa lebih bugar tapi sebenarnya kaki lumayan pegal-pegal karena berjalan ke bukit Pengilon. Semalam saja bukan body lotion yang kuoleskan pada kaki, melainkan balsam dengan aroma lavender yang menenangkan. Sama seperti kemarin, hari ini pun aku masih menjadi anak yang manis. Aku menurut saja saat Papa memintaku berangkat ke kampus bersama Mama Ambar. Selama perjalanan, aku juga berusaha ceria dan lebih banyak tersenyum. Jika dengan Mama Ambar dan Evalia saja aku bisa bersikap baik, seharusnya aku juga bisa bersikap baik kepada Erlangga yang selama ini selalu membantuku. Masak hanya karena masalah kemarin hubungan kami jadi buruk.
Aku berjalan menuju Perpustakaan, tempat favorit Erlangga menunggu jam kuliah dimulai. Benar saja, kulihat Erlangga sedang memasukkan tas ke dalam loker. Aku segera berlari dan memanggilnya. Erlangga terkesiap, lalu menyambutku dengan senyum lebarnya.
“Hai, Ngga! Ada yang mau aku omongin,” ucapku to the point.
Erlangga urung memasukkan ransel pada loker, dia mengajak Maira berjalan ke kelas sambil berbincang.
“Aku minta maaf. Gara-gara aku, kamu jadi dapat hukuman dan diketawain sama teman-teman sekelas,” ucapku menyesal.
“Oh itu, haha. Santai aja, Mai.” Erlangga menepuk pelan puncak kepalaku. “Aku lihat kemarin kamu ada di live Instagram Evalia. Kamu kelihatan bahagia banget, tulus banget senyum kamu. Emm, Kayaknya kalian harus sering jalan-jalan begitu biar saling memahami gitu.”
“Aku tuh malu, tahu, sebenarnya. Tiba-tiba aja Evalia ngarahin ponselnya ke aku. Lagian, sebenarnya aku ingin ke sana bareng Papa dan Mamaku. Bukan sama mereka.” Tiba-tiba suaraku bergetar karena rasa sakit dan tangis yang sku tahan.
“Cerita, Mai. Jangan dipendam sendiri. Enggak bagus buat dirimu. Emm, enggak harus cerita sama aku, boleh sama siapa aja yang bikin kamu nyaman.” Lagi-lagi Erlangga menepuk perlahan puncak kepalaku.
Sikap dan perkataannya itu membuatku merasa sangat diperhatikan. Tanpa berpikir puluhan kali segera saja kuceritakan bagaimana sebenarnya keadaan keluargaku.
Advertisement
“Sebenarnya Papa sudah ninggalin aku sejak umurku satu tahun. Papa pergi dan menikah dengan wanita yang sudah menghancurkan keluargaku. Papaku menikahi wanita pelakor itu karena sudah ada Evalia di dalam rahimnya.”
Aku diam sejenak, menikmati semilir angin dan meyakinkan diri bahwa keputusanku menceritakan kepada Erlangga merupakan keputusan yang tepat.
“Setelah Papa dan mamaku bercerai, Mama yang menanggung kebutuhanku. Ya memang sih, Papa tetap sering mengirim uang buatku, tapi kata Mama jumlahnya cuma cukup buat jajanku seminggu.”
“Papa tetap mengunjungiku juga tapi makin lama makin jarang. Terutama waktu Evalia sudah lahir.” Aku menghela napas panjang sejenak. “Belum lagi perlakuan Papa yang enggak adil ke aku dan Evalia. Papa selalu belain Evalia, mengutamakan Evalia, dan enggak memahami perasaanku.”
Secara spontan, mulut ini lancar bercerita tentang kenangan masa kecil saat dicurangi Evalia sedangkan Papa malah membelanya. Juga kenangan-kenangan buruk lainnya yang tanpa sadar sudah menyesakkan dada hingga memaksa mata mengeluarkan bulir-bulir bening. Erlangga memang menanggapi ceritaku dengan diam, tapi tangannya sesekali mengusap punggung yang menenangkan.
“Makanya enggak salah dong kalau aku berusaha merebut kembali papaku. Sikapku ke Evalia dan Mama Ambar itu juga karena perlakuan buruk mereka padaku dulu.” Aku terus berbicara meski sudah berada di depan kelas.
Beberapa teman sudah masuk kelas, aku dan Erlangga pun mengikuti. Kami memilih kursi baris keempat tanpa berdebat. Karena biasanya kami suit dulu untuk menentukan duduk di baris keempat, tempat favorit Erlangga atau duduk di baris kedua andalanku. Bukan tanpa alasan aku langsung memilih kursi pada baris keempat. Aku memilih duduk di sini karena samping kiri kanan dan belakang sebagian besar cowok-cowok yang enggak peduli dengan perbincangan orang lain. Berbeda dengan lokasi duduk di barisan depan yang sering didominasi cewek-cewek. Kebanyakan dari mereka kepo, ada yang menguping dan ada juga yang terang-terangan ikut dalam obrolan. Nyebelin banget, kan?
“Aku jadi bingung nih kasih saran apa,” celetuk Erlangga sesaat aku mengakhiri cerita.
Advertisement
“Kamu mau berbagi telinga aja aku udah terima kasih banget loh, Ngga,” sahutku jujur.
“Aduh, ya jangan dong! Kalau telinga kananku kamu ambil, mau diganti apa? Batang pohon?”
“Iya, lumayan bisa dipakai buat nyantolin tas,” ujarku setuju, kami pun tertawa bersama.
“Banyakin istighfar kalau lagi marah, sedih, atau dapat perlakuan enggak enak. Selalu libatkan Allah, Mai. Terutama kalau mau ambil keputusan. Jangan gegabah, jangan sampai sikap atau pilihan yang kamu ambil cuma menguntungkan buat kamu tapi merugikan orang lain.”
“Semua orang punya hak bahagia. Kamu juga, tapi jangan sampai kebahagianmu itu bikin orang lain tersiksa. Kalau dulu kamu diperlakukan enggak baik sama orang, bukan berarti sekarang kamu balas berbuat buruk juga ke orang itu. Udah biarin aja, biar Allah yang membalas. Kamu cukup duduk manis dan tetap berbuat baik. Kalau kamu beruntung nih, Allah sendiri yang tunjukkin gimana hancurnya orang yang udah bikin kamu terluka.”
Kedua mataku berkaca-kaca mendengar perkataan Erlangga. Benar-benar enggak disangka kalau dia bisa bijak begini. Aku terdiam meresapi kembali tiap kata yang diucapkan cowok jangkung ini. Terlebih kerkataannya yang mengenai kebahagiaan. Kuulang dalam hati perkataan Erlangga itu. Jangan sampai kebahagiaanmu membuat orang lain tersiksa, begitu kan? Aku jadi berpikir arti kebahagiaan menurut Papa. Apa keberadaanku? Atau justru adanya Evalia dan Mama Ambar yang menjadi sumber kebahagiaan Papa?
***
Motor Erlangga sudah melaju menjauhi rumah. Segera kututup pintu pagar lalu menguncinya kembali. Aku kaget saat mendapati mobil Papa yang bersanding dengan city car Mama Ambar. Kok tumben Papa sudah pulang. Sambil berjalan cepat kumasuki rumah lalu berjalan menuju ruang tengah. Tempat favorit Papa saat di rumah. Kudapati Papa yang sedang berbincang di telepon. Dengan sabar aku menunggu Papa selesai menelepon. Setelah selesai, aku berjalan berjinjit lalu mengagetinya dari belakang.
“Door!” seruku agak berteriak
“Pintu!” sahut Papa tanpa rasa kaget sedikitpun.
“Kok enggak kaget sih, Pa?”
“Kan Papa sudah tahu kalau kamu pulang.”
“Papa tumben sudah pulang?” tanyaku lalu duduk di samping Papa.
“Nanti malam mau ke Bali,” jawab Papa sambil menaruh ponsel ke atas meja.
“Bali?!” tanyaku kaget. Maksud Papa kita semua ke Bali atau cuma Papa nih.
“Enggak usah ge-er, Papa enggak ajak kamu. Ada urusan kantor di sana.”
“Oh, aku kira ikut.” Aku pura-pura menyesal.
“Maira seneng ya ke pantai kemarin?”
“Kalau Papa?” kulempar pertanyaan kembali kepada Papa.
“Seneng. Seneng banget malah. Lain kali kita pergi lagi, ya.”
Binar mata Papa cerah sekali saat mengatakannya. Efeknya membuat dadaku terasa sakit. Jangan-jangan benar, bukan keberadaanku yang Papa inginkan. Aku berpamitan sebelum ke kamar. Baru saja kuletakkan tas di atas meja belajar, tiba-tiba ponselku berdering. Ada foto Mama memenuhi layar.
“Halo, iya, Ma?”
“Kemarin ke mana saja? Susah sekali menelepon kamu,” protes Mama dari seberang.
“Memangnya pukul berapa Mama menelepon?”
“Gimana kelanjutan misi kita? Sudah sampai mana? Kamu dari pantai kan kemarin? Jadi begitu, ya. Giliran senang-senang kamu lupa sama Mama dan misi kita.”
Mama tahu soal pantai pasti dari melihat Instagram Evalia.
“Kamu jangan enak-enakan dan terlena dengan perlakuan mereka. Ingat Maira, mereka yang membuat hidup kita merana. Mereka yang membuatmu jauh dari Papa.”
Mama kembali berucap dengan nada marah. Aku hanya terdiam terlebih lagi saat Mama mengatakan bila seharusnya yang menikmati hari kemarin seharusnya kami berdua bersama Papa. Bukan Evalia dan Mama Ambar.
“Jangan goyah lagi, Mai. Fokus saja menghancurkan keluarga Papa.”
Aku menarik napas panjang, lalu duduk di sisi tempat tidur. Wajah bahagia Papa di ruang tengah tadi terlintas di pikiran, bersama perasaan bingung harus berbuat apa.
Advertisement
- In Serial75 Chapters
The Mafia Man's Girl
17 year old Arya Cadel is the sweetest girl you'll ever meet. With a heart full of joy she loves to see the good in people. However, she likes to focus on one thing and one thing only. School. And that's because of her parents.He's mean. He's dangerous. He's cruel.Rome Black is his name. When you hear it, you better run for the hills. But she doesn't. Why?Simply because she loves to see the good in people.What happens when innocence and sinful meet?
8 1748 - In Serial65 Chapters
The Alpha's Little Witch | Completed ✔️
An Alpha and a witch, one cruel, one kind. Who will win and who will lose in this mateship? Will they come out of it hand-in-hand or part ways when the truth is revealed?
8 246 - In Serial37 Chapters
The Kissing Game
Zoey Adams couldn't care less about The Kissing Game. Now that it's their last year, her classmates are going crazy over the game where a single kiss is passed around frequently, going through student after student, with whoever has the kiss last being the winner. This game has been going on since her freshman year, and Zoey finds it ridiculous. She wants nothing to do with it, but one fated day, she somehow ends up with the kiss. But because she's who she is, she simply keeps it, putting the game on pause. This leads to many angry players of the game and boys chasing after her, wanting to win the game. Axel West is the most determined out of the bunch, and soon Zoey's once boring life turns into one big hectic game of its own.
8 115 - In Serial65 Chapters
30 Day Trial Period
This is a FREE story with PAID bonus chapters.Lizzie and Parker couldn't be more opposite, except for their inability to sustain romantic relationships. They can't stand each other - but when they take on the challenge to date for thirty days to fix their horrible dating habits, the line between fake and real starts to blur... *****Lizzie's relationships have never lasted a week. Parker's have never lasted more than two. But being dating disasters might be the only thing they have in common. Tired of their constant fighting, a mutual friend challenges them to date each other for thirty days. What they didn't expect was for the trial period to be so sweet.[[word count: 100,000-150,000 words]]Cover designed by Adam Budny
8 136 - In Serial64 Chapters
The Prime Minister's Beloved Wife
Transmigrated into an ancient novel, the modern fashion designer Bai Yu Yan suddenly became the wife of the Prime Minister. However, regardless of her position, her ending was but a tragic death. "Death? Ha!", Bai Yu Yan scoffed as she packed her bag to become the master of her own fate. "Wife, this lord has already warmed the bed for you. You dare run after eating this lord's tofu?", a certain lord stripped himself and closed the bedroom door. ...In a world where survival was her only goal, love came knocking on her door. Although he was her husband, he would soon meet his fated one. But why does this man look so handsome in her design? Bai Yu Yan looked at fate on one hand and her heart on the other. Which one will she choose? Start: 12th April 2020 [Original Story] [Cover credit: @buruberipeach]
8 107 - In Serial67 Chapters
Falling For A Hijabi (part 1 And 2)
#1 in spiritual in 16/6/2019Previously known as " My very own hijabi" Two young people finding shelter within each other from the world and its evils Jannah Mohamed is not your typical hijabi, she is an introvert, her traumatic past has turned her into the person she is today. Her senior year was supposed to be a regular year if it wasn't for a stupid bet. James Wayne is your typical filthy rich popular bully whose money and extreme good looks help him get away with everything he does. Jannah will teach him that he can't get everything he wants. What happens when two worlds collide?!Teaser" Because....because you like me, I know that you like me, but you are trying to suffocate your feelings, you are trying to bury them under the mountain of disappointments you have in your life, you are acting like you don't care, but you do care, very much actually, more than I can imagine, more than anybody can imagine, that's why you always try your best to hide it very Well, I know you care because I can see the spontanous smile that is drawn on your face once you see me, the luster in your eyes When you see me, I know this because I see myself in them, and this is the only reflection of myself that I like, that I love " he said, as tears kept playing at the corners of his eyes. I was speechless, my mind has betrayed me, I just stood there starring at him as he ran away, I couldn't even ask him to stop or come back for me, he just ran away, like a prey from a predator, and I felt guilty about it, he was my victim. High ranks: reached #12 in highschool in 12/6/2019 out of 219k#4 in nerd out of 29k#1 in spiritual in 16/6/2019Not Cliche I promise👌, crowded with Plot twists, joyful moments and heartbreaks. You will laugh, cry and fall in love with the characters. Ps: It's a fictional story, don't take inspirations from it.Real love comes with marriage 👍. It's a story for all religions, races, and countries.You are all welcome.
8 144

