《BRAINWASH》19. HOPE
Advertisement
Sejak kejadian bentrok dengan pembacanya Evalia, aku enggak pernah lagi mau berurusan dengan dunia literasinya. Sumpah. Ngeri banget menghadapi fans garis kerasnya Evalia. Belum lagi kata-kata kasar. Terlebih saat malam harinya, Evalia bercerita tentang akun yang membulinya. Dia membuat postingan di sosial medianya, menceritakan kalau ada akun yang menghina tulisannya. Dengan kata-kata bijak dan mengatasnamakan kesehatan mentalnya, ia secara halus mencari dukungan dari pembacanya untuk menghabisi akun yang menghina tulisannya. Pantas saja jika akunku tiba-tiba diserang oleh Evalicious.
Aku enggak habis pikir, kenapa ada saja orang-orang yang mau saja diperalat untuk menyerang orang lain, sampai berkata-kata kasar. Sebenarnya, aku enggak masalah dengan fans Evalia yang menegur kelakuanku dengan cara yang baik-baik. Apa yang kulakukan memang salah, tapi bukan berarti mereka boleh mencaci maki dengan kata-kata kasar yang enggak pantas, kan?
Oke, kita lupakan soal Evalia dan fans garangnya. Pagi ini setelah dibuat kapok, alu mengubah strategi. Aku kembali mendekati Papa dan menyita perhatiannya. Bukankah yang ingin kurebut kembali adalah papa? Jadi, mari fokus saja pada papa.
"Pa, Maira hari ini bareng sama papa, ya," pintaku dengan tatapan penuh harap.
Setelah menelan nasi uduk buatan mama Ambar, papa bertanya, "loh, tumben. Kamu enggak bareng sama Erlangga?"
Aku mengerucutkan bibir. "Aku, kan, anak papa. Masa disurih nebeng sama orang mulu, sih," keluhku dengan nada paling merana yang kubisa.
Papa tertawa sambil mencubit gemas pipiku. "Bisa aja kamu Mai," kata papa. "Evalia, kamu enggak keberatan berangkat bareng mama, kan?" tanya Papa.
"It's not big deal, Pa," sahut Evalia dengan ibu jari ke atas.
Yes! Berhasil. Aku bakal menyita waktu papa kali ini.
"Ngomong-ngomong, Mai, kamu belum ngebalin Erlangga secara resmi, loh, ke kita," kata papa dengan nada santai.
Aku tersedak nasi kuning. Serius, rasanya enggak enak. Hidungku sampai pedih dan mataku sampai berkaca-kaca. Evalia membantu menepuk-nepuk punggungku, sedang mama Ambar langsung menyodorkan segelas air putih ke arahku. Hebat banget mereka berdua, acting-nya ngalahin Galgadot, deh.
"Resmi apanya, sih, Pa," elakku setelah berhasil menghentikan batuk. "Kita cuma teman, kok," imbuhku lagi.
"Loh, papa, kan, enggak bilang kalian bukan teman. Papa cuma nanya kenapa Erlangga enggam pernah di ajak masuk dan dikenalin ke papa, mama Ambar dan Evalia. Apa jangan-jangan kalian memng lebih dari teman?" goda papa tanpa mau membiarkanku mengelak dari topik ini.
Advertisement
Kuteguk sekali lagi air di dalam gelas gingga tandas. "Nanti Maira kenalin, kok," sahutku berharap dengan begitu papa mau berhenti menanyaiku.
"Kapan?" desak papa lagi yang sepertinya enggak mau kalah.
Nanti, Pa. Nanti kalau papa sudah balik lagi ke mama. Aku enggak mau mengenalkan Erlangga ke mama Ambar apalagi Evalia. Aku enggak mau Erlangga sampai tahu betapa bobroknya kehidupan pribadiku. Aku merasa minder dengan latar belakang keluarganya. Erlangga dibesarkan di keluarga yang utuh dan harmonis. Bukan keluarga berantakan dan pelakor yang merusak kebahagiaan seperti yang kumiliki sekarang.
"Soon," jawabku yang lebih seperti doa. Doa agar semua tujuanku lekas tercapai.
Seperti kataku tadi, aku akan menyita waktu papa hari ini. Aku meminta papa kembali menjemputku sepulang kerja. Sebenarnya hari ini kuliahku berakhir sejak jam tiga sore, tapi demi bisa mendapatkan perhatian papa, aku rela menunggu tiga jam di kampus.
Setelah masuk ke dalam mobil, aku meminta papa menemaniku memilih kado ulang tahun untuk eyang uti. Aku senang karena papa enggak menolak ataupun menunjukan tanda-tanda keengganannya. Kami memilih pusat perbelanjaan di bilangan Laksda Adisucipto. Selesai membeli kado, aku mengajak papa makan malam di salah satu restauran di dalam mall itu juga.
Kugunakan kesempatan ini untuk mengadu pada papa. "Aku sedih banget, Pa," kataku membuka obrolan.
Papa meletakkan kembali garpu dan pisau dagingnya. "Sedih kenapa?" tanya papa.
Kuhela nafas dan membuatnya sedramatis mungkin. Kalau Evalia saja bisa mencari simpati dari pembacanya, aku juga harus bisa mendapatkan simpati papa. "Sebenarnya waktu laptop Evalia rusak, mama Ambar nuduh aku yang ngerusakinnya hanya karena aku ada di rumah sebelum kalian pulang. Padahal hari itu aku pulang cepat karena enggak ebak badan. Sanpai di rumah pun aku langsung tidur di kamar. Kenapa ya, kok, mama Ambar tega banget nudih aku begitu? Apa karena aku bukan anaknya?"
Kali ini bulir bening menggelayut di bulu mataku. Aku enggak berpura-pura ketika bulir bening nyaris meluncur keluar. Harusnya pertanyaan ini kuajukan sejak bertahun-tahun lalu. Seharusnya sudah sejak dulu ketika mereka memperlakukanku enggak adil, kuajukan pertanyaan ini.
Papa meraih tangan kananku ke dalam genggamannya. "Mai, papa yakin Mama Ambar tulus sayang sama kamu. Dia menyayangi kamu sama seperti dia menyayangi Evalia. Papa yakin betul kalau mama Ambar enggak pernah bermaksid menuduh kamu." Apa tersenyum untuk menenangkan perasaanku.
Advertisement
Jujur saja itu enggak membantu sama sekali. Hatiku malah semakim teriris pilu. Papa selalu membela mama Ambar dan Evalia. Apa papa juga pernah membelaku seperti itu? Apa papa akan terus ada di pihakku seperti itu? Aku enggak yakin. Selama ini saja papa lebih memilih mengorbankan perasaanku.
"Kenapa kamu enggak coba membuka hati untuk belajar menerima mama Ambar dan Evalia? Papa tahu ini bukan hal mudah, begitupun bagi mereka. Bukan hal mudah menerima kehadiran kamu, tapi mereka berhasil, kan? Bagaimana kalau sekarang giliran kamu yanv belajar menerima keberadaan mereka?"
Tuh, kan, apa kubilang. Papa hanya peduli dengan perasaan mama Ambar dan Evalia. Papa enggak pernah mau memikirkan bagaimana perasaanku. Papa enggak pernah mau sedikit saja peka sama hatiku.
Aku diam enggak menyahut, bukan karena aku setuju dengan papa. Aku hanya enggak ingin terluka malam ini. Jadi, kubiarkan saja percakapan itu mengambang di udara. Berharap suatu saat papa bisa memahamiku.
Di jalan pulang, aku melakukan panggilan video pada mama. Sayang, mama enggak menerimanya. Namun, mama melakukan panggilan balik. Enggak apa-apa, deh, meski bukan panggilan video.
"Hai, ma. Lagi apa?" tanyaku begitu suara mama menyapa.
"Masih di kantor, Nak. Ada apa?" Suara mama terdengar singkat-singkat khas ketika dia enggak pengin diganggu olehku.
"Uhmmmm, enggak ada apa-apa, sih. Maira cuma mau cerita aja kalau tadi aku habis belanja kado buat eyang uti. Iya, kan, Pa?" tanyaku pada papa sebagai isyarat pada mama kalau aku sedang bersama papa.
Berhasil. Suara mama mendadak menjadi ramah dan menyenangkan. "Kamu beli apa untuk eyang uti?" tanya Mama yang tiba-tiba saja jadi tertarik dengan isi kadoku.
"Peralatan menyulam, Ma. Kata Eyang Kung, belakangan ini eyang uti hobi senang menyulam lagi, Ma. Ehh, mama enggak keberatan, kan, kalau aku loudspeaker?"
"Kenapa harus keberatan, sih, Sayang," kata mama dengan nada lembut yang hampir enggak pernah lagi kudengar.
Segera kutekan gambar speaker di layar ponsel. "Papa tadi bantuin aku pilih kadonya, loh, Ma," kataku mengumumkan bantuan papa tadi.
"Ohh, ya?" tanya mama dengan suara yang mengalun merdu. "Terima kasoh, loh, Gun, udah mau diperotin sama Maira," kata mama yang jelas bukan untukku.
"Bukan apa-apa, kok, Nil. Maira, kan, juga anakku," sahut papa.
Diam-diam aku menyembunyikan senyum melihat papa kembali mengobrol ringan dengan mama.
"Kamu enggak dibikin pusing, kan, sama Maira? Dia itu kalau milih barang suka lama banget. Bikin pegel orang yang nemeninnya," ujar mama lagi yang diakhiri dengan tawa kecil.
"Ya, samalah kayak kamu gitu," sahut papa kemudian tertawa bersama mama.
Kubiarkan papa berbincang dengan mama. Meski enggak lama, tapi interaksi mereka membuatku bahagia. Aku jadi membayangkan kalau yang ada di rumah adalah mama dan kami masih menjadi keluarga utuh yang bahagia.
Sebelum keluar dari mobil kukatakan pada papa, "terima kasih buat hari ini, Pa. Maira seneng banget malam ini."
Papa tersenyum lebar kemudian mengusap puncak kepalaku. "Sama-sama, Mai," sahut papa, kemudian merapikan barang-barangnya.
"Pa," panggilku menahan papa yang sudah akan membuka pintu mobil. "Maira kangen pergi bertiga seperti dulu." Sebentar ku gigit bibir bawahku, kemudian melanjutkan kalimat yang sengaja kujeda tadi. "Dulu, meskipun papa sudah pisah sama mama, tapi kita masoh sering pergi bertiga. Maira kangen kayak gitu lagi."
Papa menatapku dalam. Sorot matanya sulit untuk kuartikan. Setelah lama ditelan sunyi, akhirnya papa menjawab, "kita bisa ketemu mamamu bareng-bareng dengan mama Ambar dan Evalia juga."
Setelah mendengar jawaban papa, kubiarkan lelaki yang di dalam darahku mengalir darahnya itu meninggalkan mobil. Aku bersyukur pada lampu taman yang temaram. Dengan begitu aku bisa menyembunyikan mataku yang mulai pedih menahan sesak. Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke dalam kamarku.
Harusnya malam ini menjadi malam yang bahagia. Kenapa, sih, kebahagiaanku yang sedikit ini masoh harus dirusak oleh mama Ambar dan Evalia?
1356
💜💜💜
Advertisement
- In Serial27 Chapters
She’s Not Our Daughter!
A few years ago, my ex-boyfriend, who I broke up with after our one-night stand, came to visit me as a duke. He said he regretted abandoning me.
8 450 - In Serial984 Chapters
The Almighty Rich Daughter is Explosively Cool
For more than a decade, she disguised herself as a weakling while preyed on the strong – Qiao Qing had never viewed reputation as an important matter. But people began to take advantage and purposely hurt the ones she cared about. Qiao Qing then decided to stop hiding her real self. An incapable good-for-nothing? Her natural genius IQ can explode your eyeballs! A lowly commoner? Her real identity made her someone who you are not worthy enough to be friends with! A feeble chick? Her skills in ancient martial art can result in you looking for your teeth all over the ground! A godly student, a godly Go player, a godly night rider, a godly martial artist… as her real identity revealed little by little, all those snobs who once viewed her poorly began to switch sides and attempted to please her. Qiao Qing shut the front door. No guests welcomed. She blocked those who wanted her for their own selfish demands, but she couldn’t stop this one evildoer from approaching her. Just like that, climbing over the walls and entering through the window became Jun Yexuan’s specialty. As the President of the Jun Corporation, he had enough to protect Qiao Qing her entire life. But what bothered him was that Qiao Qing was far too independent and far too capable. Without any of his help, she was able to successfully handle everything. Jun Yexuan became moody – he felt like he wasn’t needed! So, on a random day, a cry for help appeared on Weibo, “What do I do when the wife is too capable? Waiting for immediate responses – it’s urgent.”
8 1646 - In Serial50 Chapters
His Fake fiancé
Now, I'm alone with the beast . He stares into my soul causing me to gulp. "You're going to do something for me."He rounds his desk, coming to a stop in front of me. His body towering over my seated self. I look forward facing his crotch, the bulge in his pants making itself known. I make eye contact with him, an evil smirk, he says one word, "suck."....Grayson Black is the definition of playboy. Unfortunately when owning a large and successful company, image matters especially when your only 27, so he decided to 'commit' himself to a relationship to prove that he's changed his ways. Except the woman he 'commits' himself to is his assistant. When feelings begin to grow on one end and there's a secret surprise on the way, what happens?#15 in romance 11/02/22#1 in employee 11/02/22#2 CEO 01/03/22#1 baby 09/03/22
8 616 - In Serial10 Chapters
Akad Kedua - Ana Eimaya
TAJUK: AKAD KEDUAPENULIS: ANA EIMAYAISBN N0: 978-967-0907-27-7BLURB :"Ini keputusan muktamad abi dan ingat... Khuz tak boleh kata tidak."- Tan Sri Junaidi.Mampus! Memang sah-sahlah Hasbi Khuzairy tiada pilihan. Baginya, tidak perlu lagi dia pertaruhkan kebahagiaan untuk sebuah perkahwinan. Namun, alasan serik dan takut mendirikan rumah tangga untuk kali kedua, awal-awal lagi dipangkah oleh abi.Nak tak nak, 'ya' jugalah jawabnya."Kerek! Ego! Membosankan!"- DhiaBelum sampai sehari bergelar isteri, Dhia Irdina dengan yakin melabelkan suaminya begitu. Nampaknya, dia perlu bikin sesuatu.Biarpun ego setinggi langit, Hasbi Khuzairy tidak pernah mengabaikan keperluan Dhia Irdina. Cuma cinta... itu yang sukar diberikan. Hari berganti hari, hatinya yang sunyi mula terpikat dengan sikap ceria, penyayang, manja, menggoda dan kuat mengusik isterinya."Dengan awak pun saya tak tercinta lagi, nak kahwin lagi satu? Hati saya ni ada satu ajelah."- Khuz."Jadi, hati tu untuk Dhia la kan? Kan? Kan?"- Dhia"Tolonglah, jangan nak terlajak perasan!"- Khuz.Layanan acuh tidak acuh Hasbi Khuzairy terhadap Dhia Irdina membuatkan Irsyad mula mencuri peluang yang ada. Hasbi Khuzairy gelisah. Dia mula rasa tergugat."Kalau kau rasa tak dapat nak berikan itu semua kepada Dhia, aku cadangkansupaya lepaskan ajelah dia daripada hidup kau."- IrsyadDatanglah seribu langau mahupun pendendam sekalipun, Dhia Irdina dan Hasbi Khuzairy masing-masing lebih suka memilih untuk mendiamkan diri. Namun, tanpa sedar ia membuatkan mereka makan hati berulamkan jantung."Saja. Aku nak Khuz, Tan Sri Junaidi, Rayna, Syad dan semua orang tahu perempuan yang dikatakan sepuluh kali ganda lebih baik tu sebenarnya lebih kurang sama aje dengan aku. Murah. Kau tahu tak erti mu-rah?"- DaliyaMurah? Apa maksud Daliya, bekas isteri Hasbi Khuzairy? Apa yang Dhia Irdina telah lakukan? Dan berhasilkah Hasbi Khuzairy menjadikan perkahwinan kali ini yang terakhir?
8 159 - In Serial174 Chapters
Not Never (Complete)
I'm never going to fall in love. I've seen what love does. It's pain, jealousy and heartache.I'm doing just fine until Maddox Larson's path crosses with mine. He is trouble with a capital T and he lives up to his reputation as the bad boy of my high school.When he takes an interest in me, there is no stopping him. He is egotistical and annoying.He is nothing I expect, and everything I need.I'm not never going to fall in love.Please note: I've removed the mature scenes from the story. They can be found on my profile under my works - Not Never (Mature Scenes).
8 151 - In Serial58 Chapters
Nebula's Echo (a Naruto Fanfic)
When you die, is it eternal sleep that awaits you? Maybe you'll go to heaven or hell and spend the rest of eternity there. Or, just maybe, you'll get... reincarnated.That's what happened to me. I was pushed into another world by a seriously misinformed sphere of light. But I didn't reincarnate as a human. Maybe a lizard? Lizards are cool... I'd like to be a lizard.But no. I was reborn as something much more powerful, much more sinister and frightening. My birth changed the world."Five days of disaster shook the world. Floods, wildfires, earthquakes, tornadoes, and storms covering the sky in lightning. On the sixth day, a eerie silence followed. As the full moon graced the sky, an intense wave of energy like nothing ever felt before by the creatures of the world swept over the land. The moon shined blood red, turning the sky into an ominous crimson.The nine bijuus perked up inside their jinchuuriki. They knew what was happening. They felt it, in the depths of their souls. This was the birth of a tailed beast."_______________DISCLAIMERI do not own Naruto (I WISH), I only own my oc and the concept/eventual changes in the storyline.I also do not own any of the pictures, they all belong to their rightful owners. Credits to VIBIBO for the amazing cover! (Twitter @vibibo_ if I didn't get the wrong creator, which i really hope cuz their work is amazing and they deserve the credit!)If you see your picture on here and want me to take it down, let me know ☺️+ slight WARNINGThis is rather....trash...I apologize profusely in advance..
8 157