《BRAINWASH》15. REVENGE
Advertisement
Aku tersenyum melihat papa yang juga tersenyum padaku di kursi tepat di depanku. Di hadapan kami tersaji banyak makanan lezat seperti tengah merayakan sesuatu. Ahh, kami memang sedang merayakan sesuatu, setidaknya begitulah yang kupikirkan. Pasalnya, enggak berapa lama setelah kuberitahu papa kalau aku mendapat juara matematika tingkat provinsi, papa langsung ke Surabaya dan mengajakku makan malam begini. Coba pikirkan, alasan masuk akal apa lagi makan malam mewah kali ini kalau bukan merayakn prestasi yang kuraih?
"Makan yang banyak, Mai," ujar Mama Ambar dengan senyum merekah. "Kamu juga, Evalia." Mama Ambar menyendokkan sapi lada hitam ke piring Evalia.
Untuk kali ini saja, enggak kuhiraukan kehadiran mama Ambar dan Evalia. Aku juga enggak merasa terganggu harus duduk bersama seperti ini dengan mereka. Aku malah senang mama Ambar dan Evalia turut hadir malam ini. Jadi, mereka bisa menontoni kesuksesanku, kan? Biar mereka tahu kalau aku adalah anak yang membanggakan bagi papa dan mama dengan segala prestasi yang berhasil kucapai.
"Papa senang banget bisa berkumpul sama kalian malam ini," kata papa di sela makan. Raut wajahnya jelas memancarkan kebahagiaan.
Ahh, papa. Aku benar-benar bahagia melihat papa sesenang itu karena keberhasilanku meraih medali emas di kejuaraan matematika. Jika hal ini bisa menjadikanku alasan papa bahagia, aku berjanji akan membawa pulang medali emas sebanyak mungkin. Aku mau menjadi alasan papa tersenyum. Aku mau menjadi anak yang bisa dibanggakan sama papa. Aku mau papa kembali perhatian padaku.
Tuhan, aku rela menukar apapun yang kumiliki asal aku bisa menjadi pusat kebahagiaan kedua orang tuaku. Aku pengin banget bahagia bersama mama dan papa. Aku janji enggak bakal jadi anak nakal asal Tuhan mau mendengar dan mengabulkan doaku.
"Papa benar-benar bangga," ujar papa setelah kami menghabiskan hidangan makan malam yang terasa amat lezat itu.
Senyum lebar merekah di bibirku, bibir gadis berusia lima belas tahun yang baru saja menyabet piala kejuaraan matematika Jawa Timur. Jantungku memompa lebih cepat dari biasanya. Sesuatu di dalam diriku seolah meletup-letup menunggu kalimat selanjutnya yang akan papa katakan. Ahh, rasanya aku enggak sabar untuk mendengarkan pengakuan papa terhadap prestasiku di hadapan mama Ambar dan Evalia. Aku jadi memikirkan reaksi mereka berdua saat mendengarnya.
Advertisement
"Papa bangga bisa menghadiri meet and greet buku perdana Evalia, penulis muda novel best seller yang sudah dicetak lima kali," kata papa dengan mata penuh binar kebahagiaan.
Tunggu sebentar. Apa aku enggak salah dengar? Evalia? Harusnya, kan, papa memberi selamat padaku, kenapa jadi Evalia? Aku memenangkan lomba sejawa timur, kenapa papa malah membuat perayaan untuk novel Evalia? Enggak, ini pasti salah. Ada yang salah dengan indera pensengaranku.
"Selamat, ya, Sayang," papa mengusap puncak kepala Evalia.
"Makasi, Pa," sahut Evalia dengan riang.
Benteng suka cita yang sedari tadi berdiri kokoh di dalam diriku, seketika runtuh dan hancur berkeping-keping. Anganku untuk bahagia kembali dimuskahkan. Jadi, semua jamuan makan malam ini bukan untuk merayakan kemenanganku, melainkan untuk Evalia? Senyum bahagia yang menghiasi bibir papa itu semua karena Evalia, bukan aku.
Jadi, usahaku selama ini belajar mati-matian sia-sia? Di mata papa, prestasiku enggak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pencapaian Evalia?
Dadaku sesak. Luka di dalamnya menganga kian lebar. Kenapa, sih, papa enggak pernah melihatku? Kenapa papa enggak pernah peduli dengan apa yang kulakukan? Kenapa aku enggak pernah berarti apapun bagi papa? Kenapa yang ada di hati papa cuma Evalia? Aku, kan, juga anak papa. Aku juga pengin mendapat tempat di hati papa.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali demi menghalau laju air mata yang sudah meronta ingin dikeluarkan. Rasanya nyaris mustahil untuk enggak menangis di tengah kekacauan perasaanku saat ini. Setelah menghela nafas dalam, aku berdiri dari tempat duduk.
"Aku ke toilet dulu," kataku lalu meninggalkan ketiga orang yang sedang berbincang dengan riang itu.
Sebenarnya ke toilet hanya alasan karena aku enggak benar-benar pergi ke toilet. Kakiku malah melangkah ke luar restauran dan memberhentikan taxi, kemudian pulang ke rumah. Di dalam perjalanan, kukirimkan pesan pada papa. Kukatakan saja aku enggak enak badan jadi pulang duluan. Sebenarnya, bukan tubuhku yang sakit, tapi batinku yang babak belur.
Advertisement
Papa, mama Ambar dan Evalia menyusul ke rumah eyang kung satu jam setelah aku tiba di rumah. Kuminta eyang uti mengatakan kalau aku sudah tidur setelah meminum obat. Setelah papa, mama Ambar dan Evalia pulang, Eyang uti kembali ke kamarku dengan membawa kotak kado di tangannya.
"Nduk, ini ada bingkisan dari Ambar. Katanya untukmu, hadiah sudah memenangkan lomba matematika," ujar Eyang sambil meletakkan kado di atas nakasku.
Kenapa harus mama Ambar? Kenapa bukan papa? Apa kado ini sebagai ejekan mereka karena papa lebih sayang pada Evalia? Cibiran karena papa malah merayakan keberhasilan Evalia daripada aku?
Hingga detik ini, sampai aku berdiri di kamar Evalia dan mengenang semua kejadian hari itu lagi, enggak pernah sedikitpun kubuka hadiah dari mama Ambar hari itu. Aku menyimpan kotak itu di gudang, bersama barang enggak terpakai lainnya. Aku membenci kado itu sebesar kebencianku pada malam itu, juga pada mama Ambar dan Evalia.
Aku melanjutkan berkeliling kamar Evalia. Kakiku kembali terhenti ketika mendapati notice board. Di sana tertulis, "deadline naskah novel Akselerasi Rasa, 23 November 2018."
Sebuah ide terbersit dalam benakku. Alih-alih langsung menjalankan ide itu, aku malah bulak-balik di depan papan kecil berisi to do list Evalia, menimbang apakah aku harus mengeksekusi ide itu atau melewatkannya? Bayangan-bayangan masa kecil kami terus berkelebat seperti pertanda yang terus menguatkan tekatku.
Ya, selama ini aku sudah banyak mengalah dan menelan pahit. Jadi, biar anak anak manja itu juga merasakan apa yang kualami. Santai aja, Mai. Satu kali membuat Evalia menderita masih belum sebanding dengan apa yang kamu rasakan selama ini. Bahkan jika dia menangis karenanya, tetap saja air matanya enggak sebanyak yang sudah kamu keluarkan.
Selama ini mama Ambar dan Evalia selalu merusak dan merenggut kebahagiaan yang kumiliki. Mereka selalu menjadi alasan kenapa aku selalu kekurangan cinta seorang ayah. Mereka membuat aku kehilangan figur seorang ayah. Aku bersumpah enggak bakal membuat mama Ambar dan Evalia bahagia. Mereka harus merasakan sakit hati seperti yang kurasakan.
Dengan cepat aku duduk di kursi belajar milik Evalia. Jemariku langsung menekan-nekan tombol di laptop milik Evalia. Aku tersenyum bahagia ketika mendapati Evalia enggak menggunakan kode keamanan di laptopnya. Aku membuka storage dan mencari semua naskah Akselerasi Rasa. Setelah menemukannya, kuhapuas bersih dan memastikan naskah-naskah itu enggak tertinggal di recycle bin.
Meski enggak paham betul tentang komputer, tapi otakku masih mampu mengingat dengan jelas bagaimana caranya merusak laptop dari dalam yang pernah temanku jelaskan. Kubuat seolah-olah laptop Evalia terkena virus dan semua datanya hilang.
Setelah memastikan kamar Evalia bersih dari jejakku, aku kembali ke kamar. Kuletakkan air putih dan obat penurun demam yang membuat kantuk di atas nakas, di samping tempat tidurku. Aku langsung merebahkan tubuhku ke atas tempat tidur. Aku bergelung dalan selimut layaknya sedang sakit.
💜💜💜
1108
Advertisement
Bound To Him
Tristan Ambrosio is a 32-year-old eligible bachelor. He is the CEO of the famous Ambrosio group. He was always described to be as cold as ice, but he was also sly as a fox. Love has never crossed his mind. His childhood experiences marred his desire to get married. To compensate for the loneliness, he spends all his time and energy in building his empire.
8 3322အတ္တလွန်အချစ် (OC) Completed
"စီးကရက်နဲ့ကျွန်မ ရှင်ဘာကိုပိုကြိုက်လဲ""လွယ်လိုက်တာ မင်းပေါ့ မင်းကိုမနမ်းဖူးခင်အထိ ကိုကင်းက ကိုယ့် Favoriteမင်းနှုတ်ခမ်းတွေနဲ့ယှဉ်ရင်တော့ ဘာအေရးပါမှာလဲ"Mautre on Uni/Zawgyi"စီးကရက္နဲ႕ကြၽန္မ ရွင္ဘာကိုပိုႀကိဳက္လဲ""ၾလယႅိုကၱာ မင္းေပါ့ မင္းကိုမနမ္းဖူးခင္အထိ ကိုကင္းက ကိုယ့္ Favoriteမင္းႏႈတ္ခမ္းေတြနဲ႕ယွဥ္ရင္ေတာ့ ဘာေအရးပါမြာလဲ"
8 777Ever Lasting
"No!" He yelled, making me jump back a bit. "I am the Alpha of Phoenix Moon! I am not a victim! I am fine.""Atlas, listen to me." I wept. I went to approach him but he turned away from me. "This does not make you any less of an alpha, man, or mate because you are traumatized. You are allowed to not be okay, especially when it comes to this." He scoffed, still not facing me. "How could you possibly think that?" I put my shaking palms on his back, feeling him relax against them. "Because I still want you all of you and love you all of you like I did a few hours ago." I whispered into his shirt. He nearly knocked me over when moved his body to face me. "What?" His face was so broken and held honest shock. "I love you, Atlas Roman Lycurgus."✨Please vote and comment!✨‧͙⁺˚*・༓☾Reads☽༓・*˚⁺‧͙100 - 05/10/2022200 - 05/11/2022300 - 05/17/2022400 - 05/31/2022500 - 05/31/2022600 - 06/04/2022700 - 08/23/2022800 - 08/23/2022900 - 08/23/20221000 - 08/23/20222000 - 08/23/20223000 - 08/24/20224000 - 08/24/20225000 - 08/25/20226000 - 08/26/20227000 - 08/29/20228000 - 09/12/20229000 - 10/12/2022‧͙⁺˚*・༓☾Ranks☽༓・*˚⁺‧͙#80 in Feminism 5/04/2022
8 226YanShi Fanfic (Ice Fantasy) [COMPLETED]
Short stories between the hot headed Fire Princess and level headed Fire - Ice Prince. Pairings: Ying Kong Shi x Yan Da Yun Fei x Yan Da
8 95Loving You
Book One in the 'Loving' series. ▪▪▪▪▪▪▪▪▪Arjun Singhania is a 27 year old workaholic man. He thinks he has everything that he'll ever need in life: supportive family, a best friend who always has his back and his successful company. And then comes a 22 year old chirpy girl in his life, whose only goal is to become independent. Getting the position of the personal assistant to Arjun, she feels that this is her first step towards achieving her goal. But is there going to be just work behind the office doors?COMPLETED
8 127Rinney Oneshots|The Blackphone
just random ass oneshots cause i'm bored lol
8 209