《BRAINWASH》14. PERFECT LIFE
Advertisement
Oleh :
Kuteguk sekali lagi air di dalam botol, lalu kulihat jam digital pada layar ponsel. Sekitar satu jam lagi perkuliahan dimulai. Ah, masih lama. Mau ke mana aku sekarang? Kalau mau kembali sekarang, pasti Erlangga bakalan ngejar dan nanya-nanya aku kenapa pergi dan dari mana saja. Aku benar-benar lagi ingin sendiri saat ini. Untuk membunuh waktu, kuambil laptop dari dalam ransel. Kuperiksa ulang tugas kelompok yang aku kerjakan kemarin bersama Erlangga dan dua teman yang lain. Setelah itu kubuka akun Facebook dan Instagram hanya sekadar untuk melihat status dan postingan teman-teman. Beberapa teman membahas tentang perkuliahan, mengulas produk skincare dan makanan yang sedang hits, ada juga yang membahas tentang isu politik. Terbersit niat untuk berkomentar pada postingan-postingan mereka. Tapi aku sadar diri, dalam suasana hati enggak baik seperti ini bukan keputusan yang bijak untuk berkomentar. Takutnya komentarku nanti menunjukkan perasaanku. Belum lagi bila ada yang menanggapi komentarku dengan buruk, pasti aku akan terbawa emosi juga.
Tiba-tiba terbersit untuk melihat akun Instagram Evalia. Kuketik saja ‘Evalia Ananta Gunardi’ pada kolom pencarian. Segera kupilih gambar seorang gadis berambut panjang tergerai yang mengenakan baju kuning. Tangannya tengah memegang topi koboi cokelat di atas kepala. Make up natural yang menghiasi wajah, membuatnya tampak lebih cantik meski bibirnya enggak membentuk senyum. Kulihat postingan-postingan Evalia lebih sering membahas buku dan cerita yang dia unggah di salah satu platform menulis. Ada beberapa foto dirinya tapi jumlahnya enggak terlalu banyak. Ada satu foto yang membuat dadaku terasa sakit. Pada foto itu terdapat gambar Papa yang sedang mencium kening Evalia. Bila melihat caption pada foto itu, sepertinya saat ulang tahun Evalia. Jujur saja, aku benar-benar merasa iri. Terakhir kali Papa mencium keningku itu saat aku kelas 6 SD. Berbeda sekali dengan Evalia yang masih dicium keningnya meski dia sudah kelas Sepuluh SMA.
Kulihat kembali jam digital pada layar ponsel. Aku punya waktu 35 menit untuk kembali ke fakultasku. Sebenarnya, bila mengayuh sepeda dengan cepat, aku hanya memerlukan waktu sekitar 20 menit untuk bisa sampai ke fakultasku. Akan tetapi, aku sedang enggak ingin sampai fakultasku dengan cepat. Bila perlu agak terlambat masuk kelas biar aku enggak perlu duduk berdampingan dengan Erlangga. Aargh! Mungkin sikapku terlalu berlebihan dalam menanggapi Erlangga. Okay, kuakui cowok itu memang enggak sepenuhnya salah. Mungkin, bahkan wajar bila sikapnya begitu karena bertemu idola. Semua orang pasti histeris dan senang bila bertemu dengan idolanya. Dan wajar juga bila dia protes karena aku enggak memberitahu perihal Evalia. Karena dia enggak tahu betapa enggak akurnya kami. Tapi Erlangga, kamu terlalu enggak peka dengan sikapku. Seharusnya kamu paham, kenapa air muka dan sikapku berubah waktu kamu membahas Evalia. Seharusnya kamu bertanya sebelum menghujaniku dengan rasa kagummu kepada saudara tiriku itu.
Advertisement
Kutarik napas sejenak sebelum memasukkan laptop dan botol minum ke dalam tas. Kukayuh sepeda dengan kecepatan sedang. Beberapa kali aku juga memilih jalan memutar agar sampai ke tempat persewaan sepeda lebih lama. Sesampainya di kelas, dosen mata kuliah Kalkulus belum datang, aku segera memilih kursi paling depan. Pilihan ini kuambil karena setelah melihat Erlangga duduk di kursi baris ke empat. Pandangan kami sempat beradu sedetik kala aku mencari kursi kosong. Namun aku enggak menggubris pandangan Erlangga yang seolah-olah mengajakku duduk di dekatnya.
“Kamu dari mana tadi? Kok enggak ke Perpustakaan.” Kedatangan Erlangga yang tiba-tiba membuatku sempat bingung mau menjawab apa.
“Kamu kenapa sih?” tanya Erlangga lagi sambil menyelidik air mukaku.
“Enggak ada. Aku ... cuma lagi PMS aja. Tolong jangan ganggu dulu.” Sekuat tenaga aku berusaha berbicara dengan nada datar. Padahal sebenarnya, ingin sekali mulut ini berkata sewot.
Erlangga menuruti permintaanku. Untuk pertama kalinya kami duduk terpisah, enggak mengobrol apa lagi pulang bersama. Aku memilih pulang naik ojek sampai rumah. Tadinya Erlangga hampir memaksaku untuk mengantar pulang. Tapi setelah aku meyakinkannya bahwa aku ingin sendiri dan akan memberitahunya sesampainya di rumah, dia pun pergi. Aku benar-benar memberitahunya sesaat sesampainya di rumah. Aku bilang akan tidur karena merasa enggak enak badan. Sengaja aku bilang begitu agar cowok berhidung mancung itu enggak menggangguku. Dan benar saja, Erlangga hanya membalas pesan dan mendoakan agar aku segera membaik. Erlangga sebenarnya orang yang baik. Kesalahpahaman pagi ini saja yang membuatku menilainya buruk.
Kurebahkan tubuh di atas tempat tidur. Sambil menimbang-bimbang apa aku perlu meminta maaf kepada Erlangga, aku merasa ada yang berbeda dengan suasana rumah ini. Rumah ini terasa lebih sepi dari biasanya. Biasanya ada salah satu pegawai dari tempat Laundry Mama Ambar yang datang untuk bersih-bersih rumah. Biasanya, pegawai Mama Ambar itu menyalakan musik dangdut dari ponselnya sambil bersih-bersih rumah. Perasaan, saat aku datang tadi, Mbak Jum, pegawai Mama Ambar itu tengah menjemur pakaian di halaman belakang, tapi kenapa sekarang lagu dangdut itu mendadak hilang?
Advertisement
Aku berjalan keluar kamar. Memanggil nama Mbak Jum sambil berkeliling. Enggak ada suara yang menyahut, akhirnya aku berjalan ke teras depan. Benar saja enggak kudapati motor matic Mbak Jum di garasi. Kok Mbak Jum enggak berpamitan sih kalau kembali ke Laundry, atau jangan-jangan Mbak Jum sudah bilang tapi aku enggak mendengar. Segera kututup pintu lalu berjalan kembali ke kamar. Tadinya sih mau menonton TV, tapi kalau sepi begini sepertinya lebih nyaman berbaring saja di kamar. Sepertinya Mama Ambar akan pulang sebelum magrib dari tempat Laundry. Sedangkan Evalia, aku enggak tahu. Yang jelas kamarnya sedang kosong. Tiba-tiba rasa penasaran meliputi diri. Berbekal perasaan itu, aku berjalan ke kamar Evalia yang terletak tepat di samping kamar mandi. Karena kamarnya enggak dikunci, aku bebas melenggang masuk.
Nuansa serba pink dan biru muda menyambutku. Tembok berwarna pink, gorden berwarna biru muda, jam dinding berbentuk lingkaran berwarna biru muda, lemari pakaian berwarna pink, meja belajar warna biru. Hanya tempat tidur dan rak buku seukuran lemari pakaian saja yang berwarna putih. Kamar Evalia memang sedikit lebih besar dari kamarku. Kalau kamarku berukuran 2,5 X 3,5 meter, kamar Evalia berukuran 2,5 X 4,5 meter. Kudekati rak buku yang isinya penuh. Aku jadi teringat Erlangga yang suka membaca novel juga. Ada satu rak yang dihiasi bunga-bunga dari kertas, merayuku untuk mendekat. Pada rak itu ada sekitar lima belas buku. Empat di antaranya tertulis nama Evalia sebagai penulisnya. Pada buku-buku yang lain, ada nama Evalia berjejer bersama nama penulis-penulis lain.
Pandanganku beralih pada meja belajar yang bentuk dan warnanya unik. Aku berjalan mendekat saat melihat isi rak pada bagian atas meja belajar yang bukan berisi buku. Di sana terdapat barisan foto-foto Evalia bersama Papa dan Mama Ambar mulai dia berusia balita hingga SMA. Rasa iri kembali menelusup ke palung hati. Seharusnya aku juga punya foto seperti itu, foto bersama Papa dan Mama layaknya keluarga yang bahagia. Kutarik napas panjang untuk mengusir rasa sesak di dada. Kuamati salah satu foto di mana terdapat Evalia sedang berpose bersama Mama Ambar dan Papa dengan membawa sebuah novel. Tepat di belakang mereka terdapat banner yang bertuliskan “Meet and Greet Evalia Ananta Gunardi, Penulis Novel Best Seller Hujan di Ujung Senja”.
Aku mundur selangkah, memandang sekeliling kamar Evalia. Berdiri di kamar ini rasanya bagai sedang dijejali kehidupan sempurna gadis berusia 16 tahun itu. Wajah dan badan yang cantik, prestasi yang cemerlang, popularitas yang diingini banyak remaja seusianya, juga keluarga yang selalu mendukung. Benar-benar kehidupan yang sempurna. Pandanganku kembali tertambat pada meja belajar Evalia. Ide-ide nakal menyergapku. Mulai dari mencorat-coret pigora sampai merusak meja belajarnya. Atau aku robek saja salah satu koleksi novelnya?
Stop it, Maira! Tindakan kriminal itu murahan sekali. Enggak akan berefek apa-apa pada kehidupan Evalia. Papa enggak akan merasa sayang untuk membeli lagi pigora, meja belajar, juga novel yang aku rusak. Aku berjalan mondar-mandir sejenak, menimbang-nimbang apa perlu memberinya sedikit pelajaran. Tiba-tiba memori bertahun-tahun lalu melintas, kedatangannya menyesakkan dada.
Advertisement
What's Your Diagnosis, Doc?
Gabriel Morelli is an elementary school teacher. He's the favourite teacher because of his fun lessons and his very laid back attitude. But he's also very selfless, taking time out of his day and using his own money to set up after-school programs for his students. He's always trying to help out as many people who need it. And of course, in the face of trouble, he doesn't mind jumping in to be the hero. That's exactly what he does one day after a terrible accident on the road, rushing to the rescue of a woman trapped in her car. This leaves him with a large gash in his arm in need of some stitches. Doctor Ava Dara is a young resident who just began working at a hospital in Vancouver. All the staff are called to the emergency room after a large number of patients began rolling in due to an accident. She gets stuck with a young man in need for stitches on his arm. She is not at all experienced with working in the emergency room. It still makes her nervous. So her attending gives her a simple task, stitches.Can simple stitches end up weaving together two very different hearts? One of them gone cold from a bad past and the other bright and innocent as ever? Can just one small connection in the emergency room really lead to a lifelong romance? Would a school teacher and a doctor really make a good match?
8 126The Lonely God
❝I think he is attracted to her. Look at this beauty. Which man wouldn't want to keep her for himself? After all, ruling alone for such a long time he must be in search of a queen.❞He's said to be the first creation of the moon goddess.The lone wolf, Arles.The king of all wolves. An immortal. A god. They say he ruled ruthlessly. He had the power to change the inescapable destiny of man itself. She was a mortal.A troublemaker.She didn't know what she was getting into when she crossed him.... [complete | unedited] [ can be read as a stand-alone book ] [ warning: this book contains dark content ] Read at your own risk, thank you.I don't own the picture used in the cover.
8 236More Than Anything Else (Tooru Oikawa)
Asuga Azumane, the twin sister of Asahi and libero of the Karasuno girl's volleyball team, has a secret. A secret she has been holding in ever since she met her brother's friend, Daichi Sawamura. Yes, Asuga has been hiding a crush on the boy's volleyball team captain for three years and hasn't even told her best friend, Yui Michimiya, due to the fact that they have the same crush.One afternoon, while throwing a pity party for herself due to a handful of events, she has a fateful encounter with a flirtatious yet childish boy. They both spill secrets to each other without knowing who each other are until they meet again.#1 in #tooruoikawa 8/9/19#1 in #haikyuufanfiction 12/25/19#1 in #oikawa 1/26/20#3 in #haikyuu 2/6/20
8 196Poetry
A collections of short poems I've written that have been building up in my google docs.
8 126ɪ ꜱᴛɪʟʟ ᴡᴀɴᴛ ʏᴏᴜ
Falling In love was never in their plan. For him she was like the Moon, a part of her always Hidden.Life isn't about waiting for the storm to pass. Its about learning to dance in rain, and that's what he did he danced with her through the storm...............Mia came into my life at my lowest time, bringing her darkness but it was enough light in my own world. I loved her even then, I loved her even I didn't knew it was love. -Jeon Jungkook.She is mine forever and I am hers forever. Whatever happens we will face it together, if love is a choice then I would choose her every time. -Jeon Jungkook.I am confident whatever choice I would make, he will stand by my side not in front of protecting me but fighting alongside me. -Mia Thorne
8 461Inevitable
She was found in the woods, abandoned by her family, at just the age of 1. He found her, and was besotted by her, at just the age of 4. True childhood sweethearts, Easton and Noelle were inseparable. However, growing a liking towards each other at such young ages comes at a price, especially when you are the future Vampire King.All residents in the Kingdom of Highland had heard of the news. A baby girl found, wrapped up in a baby pink blanket, in the mystic woods, by none other than their King. Under the spell of the tiny thing, all the Vampires loved and adored her. What they didn't know, was that she was a fox shifter. And not just any fox shifter, the only remaining one. She was a diamond in the rough, and everyone wanted her, especially since she had killer powers, the perfect weapon against all enemies. I guess you could say, the chances of her being taken, were inevitable.============================================================"My King! Over here, look!", the voice caught the attention of Alexander Mitchell. He carried his stubborn 4 year old son, Easton, who was determined to go with them, towards the voice. "Dad, take me to her! Please?" Easton pleaded, his father didn't know what he was talking about. He thought Easton had gone mad. After a few more steps, wails and whimpers were heard. Alexander quickened his stride, jogging to the source of sound. What he saw absolutely shocked him. His loyal companion, standing beside a small basket, and inside, a baby girl. He stood there, mouth agape and feet stuck.Easton struggled against his fathers hold, causing Alexander to place him on the floor. He ran over to the basket, kneeling down, coming face-to-face with the small girl. She had stop crying once she saw the small boy in front of her, causing him to smile triumphantly. "I finally found you."
8 221