《BRAINWASH》11. MEMANCING AMARAH
Advertisement
Aku berdiri sekali lagi di depan cermin untuk memastikan penampilanku sudah terlihat rapi. T-shirt biru lengan panjang kupadukan dengan celana jeans biru. Enggak lupa kutaruh topi beaseball bertuliskan kata ‘love’ di atas kepala. Aku enggak mau kegiatan memancing bareng Papa ini membuat hatiku senang tapi wajahku tersiksa karena paparan sinar matahari.
Aku segera keluar kamar setelah meraih tas seukuran buku tulis yang isinya sudah kusiapkan sejak semalam. Acara memancing ini acara istimewa karena merupakan kegiatan favorit yang sering aku lakukan bersama Papa saat kecil dulu. Aku benar-benar enggak sabar untuk segera mengetahui tempat pemancingan pilihan Papa. Apa selera tempat pemancingan Papa masih sama seperti dulu.
Senyum yang terukir di wajahku berangsur-angsur memudar saat melihat Mama Ambar dan Evalia sudah berdiri di teras dengan pakaian yang rapi juga. Mereka masing-masing membawa topi baseball, Mama Ambar malah mengenakan kaca mata hitam dengan bingkai keemasan. Apa mereka ikut memancing juga?
“Maira, ayo masuk. Kok malah bengong di situ,” ajak Papa sambil membuka pintu belakang mobil.
Evalia sudah duduk sambil menatap ponsel di tangannya. Dengan sangat terpaksa aku pun mengambil duduk di sebelahnya. Aku juga melakukan hal yang sama. Memasang earphone pada telinga lalu nenekan logo aplikasi mendengarkan musik. Suara musik sengaja kuatur enggak terlalu keras agar masih bisa mendengar suara-suara lain. Saat itu lah, kudengar Papa sempat menegurku dan Evalia karena sikap kami yang terlalu fokus dengan ponsel. Papa ingin kami menaruh ponsel dan berbincang.
“Ini kan waktu kumpul keluarga, kok pada sibuk sama ponselnya. Ayo, ditaruh.” Papa mulai terusik, “Maira cerita dong gimana rasanya kuliah di UGM. Biar Evalia tahu dan bisa menentukan pilihan dari sekarang.”
Aku hanya terdiam, pandangan kualihkan ke jendela. Rasa kecewa karena acara memancing yang tadinya kupikir menjadi me time-ku bersama Papa, ternyata malah pergi beramai-ramai bersama Mama Ambar dan Evalia juga. Benar-benar menyebalkan! Sadar akan sikap enggak peduliku, Papa kini mencoba memberitahu Evalia.
“Evalia, ditaruh dong, Sayang ponselnya. Kamu ceritakan tentang hobimu, biar Mbak Maira tahu.”
Advertisement
Evalia menoleh ke arahku sekilas, lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela karena melihat sikap enggak acuhku. Papa menghela napas panjang melihat sikap anak-anaknya. Mama Ambar yang duduk di samping Papa mencoba menenangkan dengan mengusap-usap pundak kiri Papa.
***
Papa dan Mama Ambar langsung turun begitu Papa mematikan mesin mobil. Evalia pun demikian, sepertinya dia enggak mau berlama-lama hanya berdua denganku. Karena tergesa untuk turun, dia lupa mengenakan topi baseball-nya. Aku masih terdiam di dalam mobil. Andai boleh memilih, aku akan memilih untuk tetap di mobil sampai mereka selesai memancing.
“Maira? Kamu masih di dalam?” tanya Papa setelah menurunkan peralatan memancingnya dari bagasi. “Ayo, turun.”
Aku turun dengan malas. Kulihat Mama Ambar dan Evalia sudah berjalan jauh di depan. Bersama beberapa pengunjung yang mulai berdatangan.
“Ini salah satu tempat memancing favorit Papa. Kamu pasti suka,” kata Papa sambil menarik tanganku agar segera keluar dari mobil.
Kutanggapi dengan malas. Kutunjukkan rasa enggak berminatku dengan acara memancing hari ini.
“Kok lemas begini? Kamu sakit?” tanya Papa sambil menyentuh keningku.
“Aku enggak apa-apa, Pa. Cuma malas aja. Aku kira kita cuma pergi berdua.” Kuutarakan rasa kesalku.
“Oh, hahaha. Kita kan keluarga. Jadi benar dong kalau kita pergi bersama. Belajarlah menerima mereka, Mai. Mereka juga sedang belajar menerima kamu. Papa tahu, ini enggak gampang. Tapi bukan berarti enggak bisa, kan?”
Aku hanya terdiam menanggapi perkataan Papa.
“Mereka enggak seburuk seperti yang ada di pikiranmu. Apa lagi Mamamu, jauh.”
“Maksud Papa apa? Mama? Jauh? Aku enggak ngerti.” Nama Mama yang disebut membuat rasa kesalku bertambah. Apa lagi nada bicara Papa saat menyebut nama Mama seperti enggak suka begitu.
“Maksud Papa, Mama Ambar dan Evalia itu bukan orang yang buruk. Mereka baik. Mereka enggak seperti yang dikatakan mamamu kepadamu.” Papa memberi penjelasan dengan nada lembut.
“Memangnya Papa tahu, apa yang dikatakan Mama kepadaku soal Mama Ambar?” tanyaku mencibir.
“Tentu saja, Sayang. Papa tahu apa yang dilakukan mamamu selama ini. Papa tahu apa saja yang sudah dijejalkan mamamu ke otak cerdasmu ini.” Papa mengusap pelan puncak kepalaku. “Tapi Papa yakin, kamu pasti tahu mana yang benar mana yang salah.”
Advertisement
Papa merengkuh pundakku, mengajak berjalan bersama memasuki area pemancingan. Aku tahu, Papa sedang berusaha mengalihkan agar aku enggak banyak bertanya lagi. Ya, aku memang enggak berniat bertanya-tanya lagi, tapi ini bukan berarti aku setuju dengan ucapan Papa. Aku enggak pernah merasa dijejali apa pun sama Mama. Apa yang dilakukan Mama kapadaku merupakan hal biasa yang dilakukan seorang ibu kepada anaknya. Mama memberikan saran untukku, memotivasiku, mengatakan mana hal yang baik dan buruk. Semua itu hal biasa kan? Bukan menjejali seperti yang dikatakan Papa.
“Nah, itu mereka. Ayo Mai, kita ke sana. Pintar juga mereka memilih tempat.” Papa mengajakku berjalan lebih cepat menuju saung yang terletak di pinggir sungai. Di sana sudah ada Mama Ambar dan Evalia yang sudah duduk di atas tikar.
Area pemancingan ini sebenarnya rumah makan yang sangat luas. Pengunjung dapat memancing dan memesan makanan juga. Aku lihat beberapa orang ada yang membawa ikan ke area penimbangan lalu dibawa pulang. Namun enggak sedikit juga orang yang meminta ikan hasil tangkapannya untuk dimasak.
“Maira, sini!” Papa melambaikan tangannya kepadaku. Papa memberikan alat pancing yang sudah siap digunakan.
Aku menurut saja, memancing bersama Papa di sebelah kiri saung. Sedangkan Mama Ambar sambil ditemani Evalia, memancing di sebelah kanan saung. Lima belas menit berlalu, tiba-tiba Papa meninggalkanku. Katanya sih mau memesan minuman untuk kami. Kulihat Evalia sudah sibuk dengan ponselnya, ia duduk di dekat meja meninggalkan Mama Ambar memancing sendirian. Tiba-tiba aku merasa harus melakukan sesuatu. Ya, aku harus melakukan hal yang memperburuk hubungan Mama Ambar dan Papa. Sekali lagi kulihat Mama Ambar yang sekilas memegang kaca mata hitamnya yang sepertinya melotot. Saat itu lah, sebuah ide melintas.
Kudekati Mama Ambar sambil menanyakan di mana Papa dan mengapa lama sekali memesan minuman.
“Papa kamu ketemu temannya mungkin. Soalnya sering banget kalau memancing di sini ketemu temannya. Kadang Papa kamu mengobrol juga sama penjaga kolam-kolam di sini. Karena memang beberapa ada yang dikenal sama papaku. Haus ya?” Mama Ambar hampir menyuruh Evalia untuk menyusul Papa. Tapi aku melarangnya.
“Tante sering memancing di sini ya sama Papa?”
“Lumayan, kadang ke waduk Sermo juga,” jawab Mama Ambar sambil membetulkan letak kacamatanya.
“Kacamata Tante bagus. Emm, kayak pernah lihat,” setuju sambil mengamati kacamata yang menutupi mata Mama Ambar.
“Banyak kan, kacamata begini.” Senyum menghiasi wajah Mama Ambar.
“Oh iya, mirip kacamata Mama. Mama punya juga kacamata seperti punya Tante,” celotehku riang. “Waktu Itu Mama lagi ulang tahun. Tiba-tiba ada paket datang, eh ternyata hadiah kacamata dari Papa. Kacamata Tante itu, apa hadiah ulang tahun dari Papa juga?”
Mama Ambar bergumam enggak jelas. Kujadikan saja kesempatan ini untuk membuat hati Mama Ambar semakin membara. Kukatakan kalau setiap seminggu sebelum hari ulang tahun Mama, aku dan Papa selalu berunding mengenai hadiah ulang tahun untuk Mama. Mulai dari baju, dompet, juga tas dan sandal.
“Sandal yang Tante pakai itu juga mirip sama punya Mama. Cuma beda warna aja. Punya mamaku warna merah marun. Emm, kalau enggak salah, sandal itu hadiah ultah tahun lalu.”
Aku melihat air muka Mama Ambar berubah. Pandangannya jatuh ke sungai tapi bukan untuk mencari tahu apa umpannya dimakan ikan. Tatapan Mama Ambar seperti tengah mendendam. Enggak lama Papa datang, hampir bersamaan dengan pramu saji yang membawa empat gelas berisi cairan warna warni juga dua botol air putih.
“Ada yang sudah dapat ikan?” tanya Papa setelah mengambil botol air putih.
“Ma, aku tadi ketemu Pak ….”
Mama Ambar melenggang pergi sebelum Papa menyelesaikan perkataannya. Papa menatap kepergian Mama Ambar dengan penuh kebingungan. Pasalnya karena wajah Mama Ambar yang ditekuk dan enggak melihat Papa sama sekali. Aku menarik napas puas melihat pemandangan itu. Kuambil ponsel, alih-alih tersenyum karena melihat postingan yang lucu di Instagram, sebenarnya senyumku karena merasa menang. Aku merasa menang sudah membuat Mama Ambar marah kepada Papa.
Advertisement
CALLA
My name is Calla Lind. For 20 years, I have lived within the shadow of my beautiful older sister - chasing and holding onto an illusion of love. A love that will never belong to me... Now with this second chance of life, I won't chase after illusion. I won't rely on someone else for happiness. I will do what I want, enjoy what I do, and learn to let go.NOTE from the writer: I'm an amateur writer so please overlook plot holes, grammar issues, or anything else a story is supposed to have. This is my original story so... as the saying goes "if you have nothing nice to say, don't say anything at all".
8 481Boy For Rent
Welcome to Boy For Rent a business where you can find the type of guy that you are looking for all at a special price. Can you pay it? This is a fanfiction loosely based on the Thai Series Boy For Rent and because this is me AKA Boys love that we're talking about it will be a series of short story Bl's based on your favorite characters. 2 moons, Sotus, and a few more. I will include one or two straight couples as well. This includes the Original 2 moons cast. I have nothing against the new guys I just have grown accustomed to picturing the old cast when I write and I will not use their real names out of respect for the actors. Sotus 2moons and any other BL characters do not belong to me but to Chiffon Cake and Bittersweet.Cover done by @sheismathilda
8 158From a Cullen to a Mikaelson *Klaus LS* (Twilight x TVD )
Skyler Cullen is Renesmee's twin. The forgotten one. When the Volturi comes after the Cullen's Carlisle calls an old friend to come help. The Mikaelson's. When they do Klaus and Skyler grow close too each other and become very protective over each other. but when Skyler father suddenly 'loves' her things change. will she choose the Mikaelson's who love her with all there heart or the Cullen's when her own mother doesn't really like her and her aunt and father hate her with a burning passion.*has not been edited and was written by a grade 7/8*
8 208Broken- A Harry Potter Fanfic
The Dark Lord has finally been defeated. All Harry Potter wants is to finish his last year at Hogwarts and live a normal life like any other wizard. But that can be challenging when you're the saviour of the wizarding world, and when your eighth year at Hogwarts changes everything.These characters are owned by JK Rowling. I only own the writing and plot. It's canon, aside from some (very) small changes that probably won't go noticed.@m-blackhart designed this beautiful cover, i love them smmmThis will be a drarry (Draco and Harry) story.This story mentions PTSD, eating disorders, and depression. It will also include self harm, suicidal thoughts, and suicide attempts. If any of these topics are triggering for you, I would advise you against reading.#1 in fanfiction 05/21/21#1 in dracoxharry 02/20/21#1 in drarryfanfic 01/13/22
8 152DELIRIUM
After five years of heavy studying, Beverly Frazier finally graduated as a psychiatric nurse. When she, much sooner than she ever thought, got a job at one of England's biggest mental institutions, she realized that her life was about to begin for real. Spoiled with true friends, a rich father, guys flirting with her, and a new job, she believed after a rough childhood that her dream had now finally come true.But shortly after Beverly's arrival at St: Nicolai Psychiatric Hospital, a young, mysterious man stepped inside the gates in the grip of two escorting guards. If she only knew from the beginning what this new psychopath inmate would cause her, she wouldn't even have thought for a second about a dream coming true.Delirium; An acutely disturbed state of mind characterized by restlessness, illusions, and incoherence, occurring in intoxication, fever, and other disorders.-Mature content ✔️-Published 20/08/2022-Top ranks:#1 IN ASYLUM#1 IN MURDERER#1 IN KILLER
8 172SSRO2: Daddy's Home ✓
(SEQUEL TO SIT, STAY, ROLL OVER)I had an amazing life when he came, but when he left, the "Day" inside me left with him too.I've waited 5 years for his return.And now that he's home, I'll make sure that he stays...For good...."Sorry I'm late...little pup."MATURE [18+][ONLY FOR THE WICKED]
8 154