《BRAINWASH》10. UNPREDICTABLE
Advertisement
Meski separuh diriku merasa enggak enak atas kejadian tempo hari, tapi aku tetap ngotot menjalankan aksi mogok bicara. Aku memilih menghindari mama Ambar dan Evalia. Aku sengaja menghindari berada di rumah pada waktu sarapan dan makan malam agar enggak satu ruangan dengan mereka. Aku berusaha sekuat tenaga untuk bersikap enggak peduli dengan kedua orang itu.
Sebenarnya mama Ambar sudah berusaha untuk mengajak bicara, tapi aku tetap enggan melakukannya. Aku sengaja nerpura-pura enggak melihatnya dan segera menjauh dari mama Ambar.
Hingga suatu hari, sepulang bekerka kelompok menyelesaikan tugas kampus, aku berjalan dengan enggan ke ruang makan. Arloji di tangan kiriku menunjukan sudah hampir jam sembilan malam. Biasanya sudah enggak ada siapa-siapa di ruang makan. Kerongkonganku kering, botol minumku juga kosong. Aku harus ke dapur dan melewati ruang makan demi menyelesaikan urusan dengan kerongkongan ini.
Aku sudah hampir sampai waktu mendengar suara percakapan dari ruang makan. Saat hendak putar badan dan menuju kamar, aku menangkap suara papa.
Jadi, papa sudah pulang?
Habis, deh, aku! Mama Ambar dan Evalia psti sudah mengadukan kelakuanku habis-habisan pada papa. Ini, sih, tandanya aku perlu menyiapkan diri menghadapi kemarahan papa. Mama Ambar dan Evalia pasti memberi bumbu pada cerita mereka demi mengobarkan amarah papa.
"Maira," panggil papa yang entah sudah sejak kapan mendapati aku berdiri di sini.
"Papa," sahutku ragu-ragu.
Perlahan, aku mendekat ke arah papa. Sambil menggigit bibir bawah bagian dalam, aku mencium punggung telapak tangan kanan milik papa.
"Kamu baru pulang, Mai?" tanya papa.
Sumpah. Aku benar-benar terkejut. Bukan karena papa nanya begitu dengan nada marah. Papa malah bertanya dengan nada lembut seperti biasanya. Bahkan enggak ada raut kesal sedikitpun di wajah papa. Ia bersikap seolah-olah enggak terjadi apapun
Ada yang salah di sini. Bukan. Aku bukannya berharap kena omelan papa. Hanya saja ini terasa janggal. Bagaimana mungkin mama Ambar dan Evalia melewatkan kesempatan ini? Atau jangan-jangan mereka meloloskanku kali ini karena sudah merencanakan hal besar lainnya untuk menyingkirkanku? Enggak. Aku enggak boleh lengah.
Advertisement
"Mai," panggil papa lagi karena aku tak kunhung menyahut.
"Ehh, i--iya, Pa," sahutku dengan terbata. "Aku habis ngerjain tugas kampus sama teman-teman," imbuhku lagi.
"Kamu udah makan, Mai?" tanya mama Ambar lengkap dengan senyum khasnya.
Mama Ambar, tuh, memiliki senyum meneduhkan. Wajahnya juga keibuan, tapi justru itu yang memvuatku ingin mengamuk lebih besar lagi padanya. Bukan hal mustahil kalau senyumnya merupakan umpan yang akhirnya menjerat papa.
"Ayo, temani papa makan," ujar papa karena aku enggak juga menyahuti mama Ambar.
Dengan patuh kuikuti perintah papa. Aku duduk di sebelah papa. Dengan cekatan mama Ambar menyendokkan lauk ke piring di hadapanku. Kali ini aku enggak menolak dengan perlakuannya.
Lagi-lagi, aku harus mengakui kalau masakan mma Ambar memang lezat. Tanpa sadar, aku jadi menghitung segala kelebihan mama Ambar yang bisa menambah point untuk memikat papa. Apa aku harus minta mama untuk kursus memasak agar masakannya enggak kalah enak dengan mama Ambar?
Aku pernah dengar kakak sepupuku bergosip dengan temannya sesama ibu-ibu rumah tangga. Katanya, jika ingin meraih hati suami, maka mulailah dengan manjakan dulu lidah dan perutnya. Apa itu juga yang membuat mama Ambar sukses merebut papa dari mama? Apa karena masakan mama rasanya parah?
"Gimana kuliahmu, Mai?" tanya papa di sela makan.
Aku baru akan membuka mulut untuk menyahut, tapi Evalia langsung menotongku. "Mbak Maira sibuk banget, Pa. Aku rasa, Mbak Maira bakal dapet IPK 4, deh, semester ini," kata Evalia penuh semangat.
Papa dan Mama Ambar tertawa ringan mendengar ocehan Evalia. Apanya yang lucu, sih, dari ucapan sampahnya Evalia?
Tadinya aku mau bercerita pada papa soal perkuliahan, tapi melihat tingkah Evalia membuatku mengurungkan diri. Buat apalagi kuceritakan? Toh, fokus papa hanya pada Evalia doang.
Sambil menahan kesal, kuletakkan sendok dan garpu di sebelah piring. Setelah meneguk air putih banyak-banyak kukatakan, "aku udah selesai makannya. Aku izin duluan ke kamar ya. Masih banyak tugas."
"Loh, udahan? Enggak mau temenin papa dulu? Papa, kan, masih kangen sama kamu."
Advertisement
Kalau papa sudah begitu, aku mana sanggup menolaknya. Luruh juga kekesalanku ditatap penuh harap begitu sama papa. Aku mengurungkan niat kembali ke kamar demi menemani papa menghabiskan seluruh makannya.
Menyadari aku hanya diam dan enggak menimpali obrolan mereka, papa kembali bertanya padaku. "Kamu kenapa, Mai, kok dari tadi diam aja?"
Aku memcoba tersenyum. Nahas. Hanya satu sudut bibir yang mampu tertarik ke atas. Senyumku terasa kaku. Akhornya aku memilih untuk menggelengkan kepala.
Papa pengusap lembut pipiku. "Kalau ada apa-apa, cerita sama papa atau mama Ambar ya. Kami pasti bakal berusaha bantu kamu," kata papa.
Aku pengin banget bilang sama papa kalau aku mau minta tolong sama mama Ambar agar meninggalkan papa. Aku pengin banget minta tolong sama papa buat kembali ke mama. Aku pengin banget minta tolong sama mereka agar mengembalikan kebahagiaan kami. Aku pengon banget minta tolong sama mama Ambar agar enggak merusak keharmonisan keluargaku. Masalahnya, apa aku bisa mengatakannya? Apa papa dan mama Ambar bakal membantuku?
"Maira enggak kenapa-kenapa, kok, Pa. Aku cuma lagi suntuk aja. Di kampus lagi banyak tugas," bualku yang enggak sepenuhnya berbohong.
Hari-hariku memang diisi dengan banyak tugas kampus dari dosen. Hampir setiap hari aku dan Erlangga harus kerja kelompok menyelesaikn tugas dari para dosen. Namun, bukan itu yang membuatku murung. Satu-satunya yang membuatku sedih adalah kenyataan bahwa mama Ambar masih menguasai papa, serta belum ada tanda-tanda papa mulai merindukan mama, bahkan menginginkan kembali ke pelukan wanita yang melahirkanku itu.
"Papa yakin Maira pasti bisa mengatasi soal tugas kampus," kata papa.
"Eva juga yakin, kok. Mbak Maira, kan, pintar,"imbuh Evalia penuh semangat. "Benar, kan, Ma?"
Mama Ambar mengangguk. Dari seberang meja, mama Ambar berusaha meraih tngankubke dalam genggamannya. Reflex, aku menarik tanganku dari jangkauan mama Ambar. Hal yang menjadi perhatianku setelahnya bukan raut canggung di wajah mama Ambar, tapi air wajah papa. Dia terlihat sedih atas penolakanku. Melihat papa membuat hatiku kian terluka. Kenapa, sih, mama Ambar begitu berarti buat papa? Kenapa, sih, papa enggak memikirkan juga perasaanku?
Setelah berdehem dn berhasil menguasai dirinya, mama Ambar berkata, "tante yakin Maira anak yang pintar, pasti bisa mengatasi permasalahan tugas kampus."
Meski sudah berusaha sekuat tenaga, tapi hanya senyum tipis yang mampu terbit di bibir. "Makasi," sahutku singkat.
Setelah makan malam yang terasa super enggak nyaman itu, papa memaksa mengantarku ke kamar. Padahal jarak ruang makan ke kamarku cukup dekat. Lagi-lagi papa beralasan masih rindu.
"Maaf ya, Mai, selama ini papa enggak punya banyak waktu buat kamu," kata papa ketika kami hampir sampai di depan pintu kamarku. Aku mendongak menatap mata papa yang teduh.
Ya, Allah. Apa ini pertanda papa mulai luluh?
"Papa, sadar banyak salah sama kamu. Banyak hal yang papa lewatkan tentang kamu. Bahkan, papa enggak tahu banyak soal kamu." Papa membasahi bibir, kemudian menghela napas. Bahasa tubuhnya seolah menjelaskan kalau papa sedang menimbang kalimat yang akaj ia katakan selanjutnya. "Bahkan papa kesulitan memahami perasaanmu dan menyelami pikiranmu. Maafin papa."
Apa aku sudah boleh meminta papa untuk kembali pada mama?
Sebenarnya ada banyak hal yang pengin kusampaikan pada papa, tapi yang bisa keluar dari mulutku hanya, "Maira kangen papa."
Setelah menatapku dan terpaku, papa langsung meraihku ke dalam dekapannya. "Maafin papa ya, Mai."
Aku gagal membendung air mata. Pulukan papa yang seperti ini memang hql yang kurindukan. Dekapan papa yang begini memang yang kubutuhkan.
Setelah lama berpelukkan, akhirnya rengkuhan itu terlepas. Kami sama-sama sibuk menyeka air mata smbil tertawa canggung.
"Gimana kalau akhir pekan ini kita pergi memancing?" tanya papa.
Aku membelalakan mata enggak percaya pada apa yang kudengar. "Kayak waktu aku kecil?" tanyaku untuk memastikan.
Papa mengangguk. "Kayak waktu kamu kecil dulu."
Yes! Akhirnya aku mendapatkan perhatian papa lagi. Aku berjanji bakal membuat akhir pekan ini jadi hari pling bahagia bersama papa. Enggak lupa, aku juga akan membuat papa bernostalgia tentang mama.
💜💜💜
Advertisement
- In Serial19 Chapters
Innocent Bet
Summer Rich. Just your typical 16 year old girl, just a little more rich. Not popular, but not unknown either. Cheerleader, but not a snob or stuck up. Not shy but not really outgoing either, she's an Ambivert. Not smart but is an Honors student. She's basically average. Luke Matthews. Popular, cocky, arrogant, bad boy, all of the above 17 year old boy. Basketball player, the best on the team. Has an attitude with everyone except hot girls. He's also super smart. Everyone looks up to him like he's a king. Summer and Luke's friends all come together to make a bet on who is gonna have the other wrapped around their fingers. They both agreed to it, whoever loses has to twerk to a song the other person selects during half time.
8 74 - In Serial37 Chapters
VOWS THAT BIND US ✔️
Nov, 09, 2020 : #1 in romanceMay, 14, 2021 : #1in respectMay, 14, 2021 : #4 in lovestory"Don't try and act all nice to me. I know girls like you. I don't know what spell you casted on my parents but I won't ever fall for it. And get one thing straight & clear, I don't want anyone to know about this marriage. We will act like a couple only infront of my parents. Don't expect anything more from me and neither do you knock at my door unless it's important." He spoke menacingly and turned to leave but the moment those words left his mouth, I felt as if someone dumped freezing water over my head.If he hates me so much, then why did he marry me and what does he mean by.. "What do you mean by 'girls like me' ?" I asked.He turned around and walked even closer, all my confidence began to fade. He leaned in, I could feel his breath on my ears. His closeness was doing things to me I have never felt before.I was on the verge of losing my senses, until he spoke.."A gold digging, desperate brat." His words pierced my heart, moreover his tone, his words reminded me of people I have been fighting all my life.ZACH KNIGHT FUTURE HIER OF THE KNIGHT'S CORPORATION.HOTSHOT BILLIONAIRE, A LOVING SON WORKAHOLIC, SLIGHTLY ARROGANT. CONFIDENT & ENTHUSIASTIC.CURRENTLY IN A RELATIONSHIP !! AVA ANDERSONCO-OWNER OF THE RAE CORPORATIONBEAUTIFUL, LOVING, CARING, INNOCENT, CONFIDENT, ALSO WORKAHOLIC AND ENTHUSIASTIC NEVER BEEN IN A RELATIONSHIP.WHAT HAPPENS WHEN ZACH IS FORCED TO MARRY AN OBLIVIOUS AVA.MOREOVER, WHAT HAPPENS WHEN HE REALISES THAT THERE IS MORE TO HER THAN SHE SHOWS.WILL THEY BE ABLE TO FIND LOVE OR FALL APART ? READ TO KNOW !!
8 180 - In Serial4 Chapters
BENEATH THE STARS. ashara dayne
she laughed; head thrown back, throat to the stars; is this what they call bliss? §~º° eliartyrell roberts rebellion origins : wylanvanecks
8 121 - In Serial32 Chapters
dream girl ✿ hermione granger
erin mckinnon and hermione granger first met at hogwarts express on the first of september nineteen-ninety-one. they promised each other to be friends. sadly, after erin was sorted into slytherin, the two of them barely talked since. when in their fifth year dumbledore's army is established, hermione and erin get closer and closer and closer.「ootp - dh」 hermione granger x fem oc © onyxlovegood 2022start; 9th august 2022end; -
8 176 - In Serial42 Chapters
Her Given (Editing)
She's an angel as bright as the sunshine, even when the darkness threatens to consume her, and she's just trying to find her place in this world to protect her Given.They're three shifters of the night, wolves wearing human skin, and they're just trying to fill in the missing pieces to their hearts-hearts that have always been owned by an angel they've never even met, an angel that isn't even aware of it herself yet.There's an evil threatening to destroy their newfound love, a being of darkness and hate and bitter resentment.Will the girl with oceans for eyes, silver for hair, and gold for a heart be able to stop this evil, along with the werewolves that love her? Or will she plunge into the darkness that's threatening to scuff out her ethereal light?♡♡♡WARNING!Will have cursing, sexual content, a polyamorous relationship, and themes of violence and SA.☆☆Completed (May 4, 2019)☆☆
8 122 - In Serial24 Chapters
This Farm Girl is Overpowered
Wakes up as a 9 years old in an ancient time. Their house is falling out and their field is not plowed. The villagers refuse to helped them out. Her only companion is an old woman that is on verge of dying. Her siblings are all sold by her heartless father.So now, how to say this?Isn't it a bit pitiful?Maybe....If she is not a high rank Magician in her past life.◇◇My original Work◇◇
8 195

