《BRAINWASH》4. KEBAHAGIAAN SEMU
Advertisement
Kutarik koper besar warna merah tua keluar dari Stasiun Tugu. Di punggungku, ransel hitam bergelayut menambah lamban jalanku. Pandanganku beredar mencari sosok Papa yang kurindu. Saat aku beranjak menelepon Papa, foto papaku muncul pada layar.
"Halo, Papa. Maira udah sampai," seruku riang seperti sedang memenangkan undian berhadiah ponsel cerdas terbaru.
"Assalamualaikum," suara lembut Papa terdengar dari ponsel
"Hihi, waalaikumsalam, Papa. Papa di mana? Maira ..."
"Diam di situ saja, Papa sudah lihat kamu kok." Jawaban Papa mengagetkanku. Kok bisa sih? Padahal aku baru keluar dari stasiun.
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri sekali lagi. Tiba-tiba dari arah belakang, Papa berjalan cepat ke arahku sambil melambaikan tangan. Kupeluk erat Papa begitu jarak kami sudah dekat.
"Papa gimana kabarnya? Maira kangeeeeenn." Lagi-lagi aku bergelayut pada leher Papa.
"Kayak enggak ketemu setahun aja. Lima bulan yang lalu kan, Papa ke Surabaya." Papa mengusap puncak kepalaku.
"Cuma sebentar gitu, Pa," protesku sambil memonyongkan bibir.
"Ih, kok gitu bibirnya? Cantiknya hilang, tuh!" tegur Papa berpura-pura memarahiku.
Papa menaruh ransel dari pundakku ke atas koper. Aku penepuk kening karena lupa. Pantas saja, pundak pegal banget gara-gara menggendong ransel yang berat. Seharusnya turun dari kereta tadi, aku sudah menaruhnya di atas koper.
"Ada yang lupa?" tanya Papa yang sadar akan sikapku.
"Enggak, Pa. Di mana mobilnya?"
Papa menunjuk mobil hitam yang mengilap. Aku memang enggak tahu berapa harga mobil ini. Kalau dilihat dari logo yang tersemat, sepertinya harganya di atas 500 juta rupiah. Nanti deh, aku kirim fotonya ke Mama.
"Papa menjemut Maira sendirian?" tanyaku kaget setelah Papa menjalankan mobil begitu selesai menyalakan mesin.
"Kecewa, ya? Tenang, Mama Ambar dan Evalia sedang menyiapkan sesuatu untuk menyambut kedatanganmu.
"Oh, begitu," jawabku singkat.
Kecewa?! I'm very, very, very, very, very, very happy, Papa. Dengan begini, aku bisa berduaan dengan Papa. Bercerita tentang apa saja. Kecuali tentang Mama, tentu saja. Enggak apa-apa, Pa. Enggak apa-apa, Maira akan membuat Papa ingin menikah lagi dengan Mama, secara pelan-pelan.
Tiba-tiba Papa menghentikan mobil di depan rumah yang pagarnya terbuat dari plat besi bermotif dedaunan. Sebelum Papa membuka pintu mobil, pagar itu bergerak ke samping. Dua wanita berada di baliknya. Kulihat Evalia melompat-lompat sambil melambaikan tangan ke arah kami.
Advertisement
"Evalia lucu ya?" tanya Papa sambil tersenyum denga pandangan lurus ke depan.
Hah?! Lucu dari mana? Itu sih, norak! Aku menghembuskan napas. Kutunjukkan rasa enggak setuju. Apa daya, Papa menangkap maksudku berbeda. Papa kira aku kelelahan karena perjalanan dari Surabaya ke sini.
"Langsung ke kamar, saja. Biar Papa yang bawa barangmu." Papa segera membuka pintu sopir, setelah memasukkan mobil ke bagian halaman rumah yang berpayung kanopi kain warna putih tulang.
Dua wanita yang merebut Papa dariku, kini berdiri di teras rumah. Senyum mereka mengembang seperti, aku ini orang yang sangat mereka tunggu. Tentu saja, aku orang yang mereka tunggu. Mereka pasti sendang menyusun sesuatu agar aku enggak betah tinggal di sini. Lihat saja nanti, aku enggak akan selemah itu. Sebelum kalian membuatku enggak nyaman di sini, aku sudah membawa Papa kembali kepada Mama.
"Capek, ya, Maira?" Mama Ambar merengkuhku ke dalam pelukannya. Aroma melati menguar dari tubuhnya, memaksa hidungku menikmatinya. Aroma yang lembut dan sangat menenangkan.
"Hai, Mbak Maira!" Evalia enggak mengikuti apa yang telah dilakukan mamanya padaku. Bukan karena dia enggak mau, tapi aku sudah melototinya tajam.
Kuikuti langkah Mama Ambar Ambar menuju ruangan yang terletak di dekat meja makan. Rumah Papa luas sekali. Ini pasti karena letaknya yang bersisian dengan jalan menikung. Mama membuka pintu kamar sangat lebar, mempersilakanku melongok ke dalam. Aku hanya tersenyum tertahan. Buat apa aku melongok, nanti juga aku masuk.
"Selamat istirahat, Maira. Oh iya, kalau mau mandi. Di sebelah, ya." Mama Ambar menunjuk pintu di sebelah kamarku. "Kalau yang di sebelah sana, kamarnya Evalia."
Jadi, letak kamar mandi berada di antara kamarku dan Evalia? Aku harus berbagi kamar mandi dengannya, gitu? Awas aja, kalau sengaja berlama-lama di kamar mandi waktu aku lagi butuh kamar mandi juga. Kututup pintu, setelah Mama Ambar dan Evalia pergi.
Wangi aroma bunga yang menyegarkan meluruhkan rasa lelah. Dalam keadaan telentang di atas tempat tidur single bed yang empuk, kuamati sekeliling kamar. Untuk ukuran rumah yang besar dengan perabotan yang mewah, kamar ini terlalu biasa. Temboknya berwarna putih polos. Meja belajar berada tepat di depan jendela. Berdiri bersisian bersama lemari bercermin. Ada nakas di sebelah kiri tempat tidur. Tempat lampu tidur berbentuk silinder berada. Sebelah kanan tempat tidurku tembok. Oh! Aku yakin kamar Evalia pasti lebih bagus.
Advertisement
***
Masih ada beberapa barang yang masih duduk manis di koper. Aku tadi ketiduran, hingga baru mandi pukul 16.50. Mana belum salat ashar, lagi. Jadi ngebut mandinya. Untung saja Evalia enggak sedang menggunakan kamar mandi saat itu.
"Mbak Maira." Panggilan itu diiringi ketukan di pintu.
Segera kubuka pintu, karena aku memang ingin segera berbincang dengan Papa.
"Ayo makan," ajak Evalia sok imut.
"Sini, Maira. Duduk di depan Papa."
Kulihat pemilik suara berat yang memanggilku. Papa yang duduk bersisian dengan Mama Ambar, melambaikan tangan ke arahku. Tanpa berpikir panjang, segera kulangkahkan kaki menuju kursi yang berhadapan dengan Papa. Evalia sendiri memilih duduk di sebelahku.
"Tadi kita bingung mau masak apa. Kata Papa, kamu suka ikan bakar. Ya udah deh. Mama pesan ikan bakar ke teman Mama yang punya rumah makan." Mama Ambar mulai berbasa-basi.
"Makan yang banyak, Mai. Kamu pasti lapar," sahut Papa sambil menahan rasa pedas.
"Jangan banyak-banyak makannya, nanti cupcakes aku enggak ada yang makan, dong," rengek Evalia.
"Cupcakes bisa dimakan sebelum tidur," sahut Papa lagi.
"Jangaaan, Papa. Nanti bikin badan gendut." Evalia mengatakannya sambil cemberut.
"Ya udah, deh. Maira makan sedikit saja. Udah gitu, habiskan cupcakes buatan Evalia."
Evalia berteriak senang mendengar perkataan Papa. Jujur saja, aku merasa iri atas perlakuan Papa pada Evalia. Aku memang mengambil sedikit nasi, ikan, dan cah kangkung. Bukan karena setuju dengan Evalia, aku memang sedang malas makan. Selera makanku hilang, rasa lapar pun mendadak pergi.
"Cah kangkungnya tambah lagi dong, Mai. Mama Ambar masak sendiri. Rasanya ... emm! Enggak kalah sama yang di rumah makan." Papa memuji masakan Mama Ambar sambil mengacungkan kedua ibu jarinya.
"Apa sih, Pa? Berlebihan, ah!" Mama Ambar menyenggol pundak Papa dengan pundaknya.
"Papa sering bilang, kan. Buka rumah makan aja. Malah bikin rumah laundry."
"Aku enggak pede, Pa," sahut Mama Ambar.
"Masakan enak begini kok enggak pede. Enak kan, Maira, masakan Mama Ambar?"
Pertanyaan Papa membuatku terkesiap. Jujur saja, masakan Mama Ambar memang enak. Tapi rasa itu seketika membuat mual saat keakraban mereka tersaji di depan mataku. Keakraban mereka ibarat hidangan yang aku benci, tapi sengaja mereka suapkan secara paksa ke mulutku.
"Iya," jawabku singkat.
"Tuh! Itu artinya Maira setuju, kalau Mama bikin rumah makan."
"Kapan yuk, kita cari tempat sekalian jalan-jalan."
"Asik! Jalan-jalan."
"Sudah, makan dulu."
Suara Papa, Mama Ambar, dan Evalia bersahutan mengganggu pendengaran. Segera saja kuberpamitan ke kamar.
"Kok makannya enggak dihabiskan?"
"Mau ke mana?"
Pertanyaan Papa dan Mama Ambar meluncur hampir bersamaan.
"Kepala Maira pusing. Maira istirahat dulu."
"Cupcakes-nya." Evalia mengulurkan dua cupcakes dengan topping warna ungu muda dan kuning.
Dengan malas kuterima juga. Anggap saja pengganti makan malam. Setelah menaruh cupcakes di meja belajar, aku berbaring di atas tempat tidur. Mengenai kepala pusing, kepalaku memang pusing melihat keharmonisan keluarga Papa. Kenapa harus Mama Ambar dan Evalia yang bersama Papa? Kenapa bukan aku dan Mama?
Pandanganku terganggu karena mata yang basah. Belum sehari berada di sini, hatiku sudah sesakit ini. Bagaimana bila selama empat tahun selalu melihat pemandangan yang sangat menyakitkan itu? Tiba-tiba aku merasa goyah, kuingat-ingat saran Eyang Uti yang menyuruhku untuk indekos. Di tengah kegamanganku, ponsel yang kuletakkan di nakas berdering. Ada foto Mama dengan rambut cokelatnya yang tergerai.
Tanpa mengucap halo maupun salam, kumenangis sepuasnya. Seolah-olah Mama berada di depan dan sedang memelukku erat.
"Maira? Sayang? Ada apa?"
Enggak kuhiraukan pertanyaan Mama. Sepertinya mulut ini hanya berfungsi untuk menangis.
"Maira?"
"Oke, menangis sepuasnya. Mama tunggu."
💜💜💜
Advertisement
Where You Once Stood | Prose
True love is horrific, for the ghosts and what-ifs will never leave you alone. POETRY & PROSE Cover by @/lannisports © chanotel / 2022
8 88Hey! It's just Bromance
I don't really know what to put here- Uhm..a 13+ novel? ;-;
8 213Undercover Gangleader
You know the normal cliche of the nerd secretly being a street fighter and the bad boy just so happens to find out? Well this is like that.... But nothing like that at all. Meet Xavier, he's your average bad boy who so happens to be the leader of a feared gang. But what happens when strange things begin to happen and he has to go undercover and go back to high school? But not as his role of the bad boy. He has to be the school nerd. Meet Asher, she's your average nerd.... Not. At school, she's pushed around, bullied, and made fun of because of her grades. To some people she's just an ordinary nerd who will most likely go far in life. What they don't know is that her father was one of the worlds best street fighters and that she's following behind his footsteps. Conflicts are resolved, secrets are told, and friendships are broken. But through all of that. Can the two find love? Warning: unedited. Many mistakes within this book but I'm very slowly going through and editing chapters.Also, this book contains major character growth. These characters mature a lot from the first to second book so if you don't like them at first, you most likely will in the second book.
8 136Stranger on Flight
Meet Zoya Haider , a young woman with a huge heart, an irrepressible spirit, huge ass insecurities. and a few little secrets : Secrets that she pledged never to tell . Because that's what secrets are for. Until she sits on a flight to Islamabad, reluctantly to attend the wedding which she was lowkey avoiding.And during a slight turbulence which didn't feel slight to her-nervous-flyer-self, she founds herself spilling the secrets (she thought was going to take to her grave) to a handsome but a rude stranger on a plane. Why are handsome men , such jerks? A question which Zoya pounders upon while she sits with him spilling her guts out. He was a stranger. He was supposed to be a stranger...Until she comes face-to-face with him on the wedding she didn't want to attend. Just her luck the handsome jerk who knows more about her than her parents and friends combined is none other than Irtaza Haider Awan . The groom's cousin, come best friend, aka the best man if there was any in desi weddings. A man who knows every single humiliating detail about her.What happens when she have to spend two weeks and look at him knowing he know stupid stuff about her? What happens when her insecurities are slapped in her face by none other than the person she told them to ? How is supposed to recover when all her secrets come out? Join Zoya and Irtaza as they attend a wedding they both were avoiding . Only to find that it wasn't bad at all? Or was it ?URDU TRANSLATIONS AVAILABLE
8 134Don't Make Me Fall For You [SUGA Fanfiction]
"I didn't ask you to fall for me, President Min."He took one look at her and he knew she was a perfect kind of trouble not to mess with. A kind heart with a bad attitude.Y/n, a toxic lover, only seeking for love. What she want was only to get back to his first love and take vengeance on him for shattering her heart. Just a confidential contract with President Min was enough for the two bitter souls to start a new but will y/n's shattered heart ever be cure?Yoongi was already warned not to fall for her but will his fragile heart listen to him?BTS Suga X Reader________#Achievements/Awards2nd Place in #THE WINTER FANFIC AWARD2nd Place in #Crystal Snow Awards 20213rd Place in #Butter Awards 20213rd Place in #Sliver Rose Awards 20213rd Place in #Smooth Like Butter Awards 2021Highest Rankings #1 in sugaxreader#1 in minyoongixreader#1 in seoulkorea#1 in bangtanstories
8 84IBTOSOOG
Title: I became the only savior of obsessive gangstersAuthor: 수비Summary She was born as the older sister of Joo-soo in the 19-gold, devastated BL novel. A world where all Omegas are dead. Alphas who have returned without Omega. My younger brother is rolled over by alpine obsessive geeks because he smells like omega, and the extras are annoying and kill me. In order to live, I decided to become a priest of the Holy Kingdom, far away from the obsessive maniacs, but Schwarz, one of the obsessive maniacs who killed me in the original, appeared! "Your lips are small. It's cute to wiggle." Besides, even Alpine prosperity Cassius, which was not in the original, is showing interest in me. "You, were you an Omega?" She walked the path of a priest and became the only surviving Omega! Will she be able to survive among the dangerous obsession maniacs?
8 229