《BRAINWASH》2. MEYAKINKAN DIRI
Advertisement
Kubuka aplikasi Whatsapp pada ponsel sambil mengunyah makan siang. Khusus kali ini saja, Eyang Uti membebaskanku membawa serta handphone ke atas meja makan. Kalau bukan karena aku sedang menunggu jawaban dari Papa, pasti deh, Eyang Uti sudah menyimpannya pada saku daster batik yang ia kenakan.
“Sudah dibalas?” tanya Eyang Uti sambil mengangsurkan piring berisi lima potong ayam dan tempe goreng tepung. Diletakkannya piring itu tepat di hadapanku.
“Heeemm, belum,” jawabku singkat sambil menghirup dalam-dalam aroma gurih ayam goreng. Refleks tanganku terulur, mengambil satu potong ayam goreng berbentuk seperti stik drum.
Jemariku baru menyentuhnya sedetik, lalu kulepaskan lagi kala rasa panas begitu cepat menjalar. “Aduh, panas.”
Eyang Uti tersenyum, memintaku bersabar. Tanpa kuminta, wanita yang seluruh rambutnya berangsur-angsur memutih itu mengambil sepotong ayam dengan menggunakan sendok. Setelah menaruhnya di piring, Eyang Uti mengelus puncak kepalaku. Eyang Uti selalu begitu, selalu menganggapku anak TK yang harus selalu dilayani. Bukan cuma itu, Eyang Uti juga selalu memeluk dan mendoakanku. Terutama saat aku akan pergi dan pulang.
“Mau nasi seberapa? Sini Eyang Uti ambilkan.”
Belum juga mulutku membuka, suara Mama yang sedang duduk di kursi malas dekat pintu samping menyahut, “Ibu, Maira bukan balita. Biar dia ambil sendiri.”
“Eng, enggak usah Eyang. Aku masih mau makan ayam goreng aja sama sambal,” seruku, berusaha enggak membuat Mama dan Eyang Uti berdebat.
“Jangan diet. Badanmu sudah bagus.” Eyang Uti meninggalkan meja makan menuju dapur.
Tiba-tiba ponselku berdering, memberitahu ada pesan yang masuk. Kedua mataku berbinar dan jantungku melonjak-lonjak saat tahu pesan itu berasal dari Papa. Segera kutaruh ayam goreng yang mau kugigit. Dengan jari kelingking kanan, kubuka pesan dari Papa.
“Perumahan Ramayana Regency, jalan ....”
“Ramayana Regency?! Papamu pindah rumah? Perasaan dulu di Perumahan Griya Alamanda, deh.” Mama memotong pembicaraanku. “Coba tanya, kalau bener. Dekat sama Jalan Malioboro tuh. Asik! Bisa belanja-belanja.”
“Ma, yang mau tinggal sama Papa kan aku. Kok Mama yang kesenangan bisa belanja-belanja?” protesku.
“Kan Mama bisa titip belikan kain batik, bakpia, baju ....”
“Mama bisa beli di Market Place.” Kali ini aku yang memotong pembicaraan Mama.
Advertisement
Mama mencelos, lalu kembali fokus menatap layar ponselnya. Kudengar Mama bergumang pelan membaca deskripsi barang yang akan dibelinya. Mama memang gila belanja dan selalu enggak puas bila belum mendapat harga termurah dengan barang dan kualitas yang sama. Mama enggak cuma hobi keliling toko di market place, tapi juga keliling toko di Surabaya sampai luar negeri. Ih, kenapa jadi bahas Mama sih.
Setelah kutanyakan pada Papa, enggak lama kemudian Papa membalas. Segera ku baca dengan keras lagi isi pesan balasan dari Papa.
“Iya, Papa sudah pindah. Sekitar dua bulan yang lalu. Dekat Malioboro.”
“Tuh, bener, kan! Makin sukses aja dia. Rumah di situ kan enggak murah.” Mama histeris, ditaruhnya ponsel ke atas dada. Kedua manik mata Mama melirik ke atas kiri dan kanan sambil tersenyum miring. Ekspresi yang membuat siapa saja menilai negatif.
Sebagai pengalihan, yang sebenarnya enggak yakin juga akan membuat Mama teralihkan, kubaca dengan nyaring pesan Papa itu. “Kata Papa, ‘Ada kamar untuk Maira di sini. Enggak usah indekos. Untuk sementara Papa dan Ibu yang antar Maira.’ Aku enggak mau ah, dianter Ibu,” tolakku.
“Maira mau pindah ke Yogyakarta? Kenapa toh, Nduk Ayu?” Eyang Uti yang mencuri dengar pembicaraanku dengan Mama dari dapur langsung mendekati meja makan sambil menyebut panggilan kesayangan untukku. Asal tahu saja, cuma Eyang Uti yang memanggilku begitu.
“Maira mau kuliah, Eyang. Kan Maira sudah bilang,” jawabku lembut.
“Kenapa harus di Yogyakarta? Kan di sini banyak universitas yang bagus.”
Aku meneguk segelas air putih untuk menjawab pertanyaan Eyang Uti. Kutolehkan kepala ke arah Mama yang sadar akan pandangan minta tolongku.
“Maira ingin berkuliah di UGM, Bu. Kampusnya bagus, UKM-nya beragam ....”
“UKM? Maira mau kuliah sambil jualan?” Eyang Uti memotong perkataan Mama yang belum selesai. “Yo opo seh, Nila. Arek kok mbok suruh jualan. Kamu enggak bisa biayain?”
Mama dan aku terbahak mendengar pertanyaan bernada tinggi Eyang Uti. Pasti Eyang Uti mengira UKM itu singkatan dari Usaha Kecil Menengah. Makanya Eyang Uti langsung naik pitam mengira Mama menyuruhku berjualan. Padahal yang dimaksud Mama kan, Unit Kegiatan Mahasiswa.
Advertisement
“Uwes, sudah! Pokoknya Ibu enggak setuju kalau Maira ke Yogyakarta, apa lagi tinggal sama papanya.” Eyang Uti masih kelihatan marah. Salah Mama juga sih, enggak menjelaskan arti UKM yang kami maksud.
“Ibu, Maira ingin tinggal sama papanya. Selama ini kan dia bareng kita terus.” Mama tampak berhati-hati mengatakannya.
Mama segera meninggalkan kursi malas dan ponselnya. Lalu mendekati Eyang Uti yang berdiri sambil bersedekap menatap halaman belakang di mana letak jemuran aluminium yang penuh sesak pakaian basah. Sekilas kulihat mimik sedih tercetak di wajah Eyang Putri.
“Yakin, Nduk Ayu? Maira jauh loh sama Mama, Eyang Uti, Eyang Kung.” Eyang Uti mengatakannya dengan bibir agak bergetar. “Kalau ada apa-apa gimana? Kalau Maira sakit?”
Sebelum aku menjawab, Eyang Uti duduk di sampingku untuk mengambil air minum. Meminumnya seteguk sebelum memelukku. “Kamu nanti tinggal sama ibu dan adik tiri, loh. Kalau mereka jahat gimana? Kayak di sinetron yang sering Eyang Uti lihat.”
“Aduh, Bu. Itu kan sinetron. Enggak selalu bener. Buktinya Ashanty sayang sama anak-anak sambungnya,” sahut Mama.
“Itu kan artis, jangan disamakan dong. Enggak selalu benar apa yang ditampilkan di TV.”
Andai perbincangan ini ringan, aku pasti terbahak mendengar balasan perkataan Eyang Uti yang mirip perkataan Mama. Sayang, aku hanya bisa tersenyum tertahan karena mulai memikirkan perkataan Eyang Uti.
Jangan salah sangka, aku memikirkan perkataan Eyang Uti bukan karena aku percaya sinetron-sinetron itu. Aku begini karena Eyang Uti bukan sekadar Nenek buatku. Eyang Uti benar-benar segalanya bagiku. Hubungan kami sangat dekat melebihi kedekatanku dengan Mama. Kenapa bisa begitu? Itu karena hobi Mama yang pelesiran ke sana ke mari bersama teman-temannya. Itu Mama lakukan sejak aku kecil. Setiap Eyang Uti menasehati, Mama selalu membuat pembelaan. Mama selalu mengatakan, ‘Aku stress di rumah, Bu. Aku selalu kepikiran Mas Gunardi. Belum lagi kerjaan kantor yang enggak ada habisnya.’ Bila Eyang mengatakan bahwa aku juga merasakan apa yang Mama rasakan. Mama selalu berkata, ‘Dia masih kecil. Enggak akan merasakan stress. Kasih aja kue dan mainan yang banyak.’
Setelah mengatakan itu, Mama selalu pergi berhari-hari dengan membawa koper. Pernah sih, Eyang menelepon ke kantor Mama. Kata pegawai di sana. Mama selalu masuk kerja. Lantas pergi ke mana Mama selama berhari-hari? Aku yang kala itu masih berusia lima tahun hanya bisa menangis sambil menatap mobil yang menjemput Mama. Eyang Uti memelukku erat sambil membelai rambutku. Beliau enggak pernah menyuruhku berhenti menangis. Justru sebaliknya, Eyang Uti menyuruhku menangis sampai air mataku habis. Sampai rasa sakit di dadaku hilang.
Keadaan seperti itu selalu membuatku merindukan Papa. Aku yakin Papa enggak akan bersikap begitu padaku. Meski tinggal di Yogyakarta, Papa selalu menyempatkan diri meneleponku dan Eyang Uti. Papa juga rajin mengunjungi tiap dua bulan sekali. Eyang Uti selalu bilang bahwa Papa orang yang baik. Meski akhir-akhir ini sikapnya terlihat membenci Papa, tapi aku yakin kalau kesan Eyang Uti kepada Papa enggak pernah berubah sejak dulu.
“Kalau memang Maira ingin sekali berkuliah di Yogyakarta, ya sudah enggak apa-apa. Tapi kenapa enggak indekos aja dekat kampus?” Meski nada suara Eyang Uti enggak terlalu keras, tetap saja mampu membawaku kembali ke kehidupan sekarang.
“Enak loh. Kamu enggak kecapaian dan bisa berhemat. Kalau Eyang mau menjenguk Maira bisa nginep di sana juga,” seru Eyang Uti lagi.
“Aduh, Bu. Kalau kita mengunjungi Maira, kita bisa tidur di hotel rame-rame. Ngapain tidur di indekos-nya Maira.” Mama menyahut enggak setuju dengan saran Eyang Uti.
“Maira, dengar! Selama ini kamu selalu ingin tinggal sama Papa, kan? Ya udah, kenapa ragu. Evalia dan ibunya harus memahami, bahwa papamu punya kamu. Papamu harus adil sama anak-anaknya.”
Aku menatap lama gerakan bibir Mama. “Maira, selama ini mereka menyingkirkanmu. Menganggapmu enggak ada. Apa lagi setelah Evalia berusia lima tahun, papamu jadi jarang menjenguk. Kalau cuma telepon sih, semua juga bisa. Sekarang saatnya kamu meminta hak-mu sebagai anak.”
Perkataan Mama seperti mantra. Aku benar-benar merasa terhipnosis. Meski sudut hatiku ingin menuruti perkataan Eyang Uti, tapi sebagian besar yang lain setuju dangan Mama. Mungkin memang saat inilah waktuku bersama Papa. Gambar Papa dan aku kecil yang berpelukan tergambar jelas di pelupuk mata. Masa bersama saat kecil yang hilang, akan aku dapatkan sekarang.
♥
Advertisement
- In Serial725 Chapters
The Demon’s Bride
Elise had about to change into the dress that was lying on the corner of her bed when she heard a knock lightly calling from her door. Curious, she turned the door knob only to have a tall man towering in front of her.«Master Ian!» She called.Ian smiled with the usual mischievous smirk that he always used. His crimson eyes trailing a little over her room and spotted the black dress over her bed and shifted his eyes over to the woman in front of him. He stepped forward and spoke. «Where did you acquire that dress?»«Mr. Harland gave it to me.» Elise replied and strained her neck to see Ian’s brows knitted in its elegance.«Do you know why a man would love to give a woman a dress?» He gave the riddle that she always had to think twice before replying. But this time, she found no answer and instead shook her head. «I don’t know.»His grin grew bewitching as though something had stirred deep inside the scarlet eyes that he had. He slowly slid his hand over the collar of her dress, sending a cold shiver that startled her for a moment due to its freezing temperature. After unbuttoning the first two buttons on her collar, he tilted his head down, whispering to her ears. «Because they want to be the one to undress the cloth.»He paused and kissed her neck, turning the pale skin to red before retracting his move to fix his eyes on her and leisurely replied. «Unfortunately, you can’t wear the dress over there with this.» He chuckled and passed a box over to her hand. «And the fortunate news is I prepared a dress for you.»
8 841 - In Serial45 Chapters
The Three CEOs
Silas, Sawyer, and Sage Sanders: Three of the youngest billionaires in the world. And three of the most sought-out bachelors available. Owning a multi-billionaire company, Sanders Corporation, the three brothers have risen from their parents' ashes and have taken the world by storm. Their only problem? They are arrogant, entitled, and cold. So what happens when Caden Wilson, a sweet, innocent, but damaged young soul comes crashing into their lives? +++Her face turns towards the bar, and I get somewhat of a clear image of what she looks like and my body freezes. Vanessa detaches her lips from my neck and says something but my mind doesn't register her words. All I can think about is HER. Dancing there with some motherfucker who isn't me. Without a second glance, I stalk toward the dance floor where she is, leaving Vanessa stranded and confused. But I don't give a fuck. Not when I know that someone else's hands are on HER.+++Rankings:#5 in ragstoriches #4 in newauthor #11 in innocent#14 abuse#1 in fiction
8 242 - In Serial75 Chapters
Girl on Track
[FREE STORY w/ bonus paid chapter]Seventeen-year-old bike lover Roxy must fight her feelings for her cocky trainer in order to win the tournament. *****When her dad's racing accident leaves him in a wheelchair, feisty bike lover Roxy expects to have to give up racing for good. But then her family moves to the small town of Parkwood, and Roxy discovers Parkwood's racetrack, along with its cocky long-time champion, Tyler Wakeford. With the annual tournament coming up and both competitors determined to win, who's going to take home the medal?*If you aren't reading this book on Wattpad, it has been stolen. Please report the website!*
8 210 - In Serial44 Chapters
Late Regret ( COMPLETED )
Unicodeချစ်နေတုန်းပါ ... ဒါပေမဲ့လဲ မပတ်သက်ချင်တော့ဘူး ခင်ဗျားရယ်Wang Yiboငေးကြည့်ရုံနဲ့ တင်းတိမ်နိုင်မရ်ထင်လို့ လွတ်ချမိလိုက်တာပါ ... မင်းနဲ့ပတ်သတ်ရင် လောဘကအတောမသတ်နိုင်ဘူးဆိုတာ ကိုယ်မေ့သွားတာ ...Xiao ZhanZawgyiခ်စ္ေနတုန္းပါ ... ဒါေပမဲ့လဲ မပတ္သက္ခ်င္ေတာ့ဘူး ခင္ဗ်ားရယ္Wang Yiboေငးၾကည့္႐ုံနဲ႔ တင္းတိမ္ႏိုင္မရ္ထင္လို႔ လြတ္ခ်မိလိုက္တာပါ ... မင္းနဲ႔ပတ္သတ္ရင္ ေလာဘကအေတာမသတ္ႏိုင္ဘူးဆိုတာ ကိုယ္ေမ့သြားတာ ...Xiao Zhan
8 131 - In Serial56 Chapters
Talk About the Direct Approach...
Picture this: One day, you're sitting on your porch when you spot a gorgeous guy stepping out of a car. You're in your pajamas with noodles hanging out of your mouth when he sees you. The next thing you know, the gorgeous stranger is kidnapping you. Fun? Not exactly. What if you later found out you were destined to be his mate, which is his reason for kidnapping you? Talk about the direct approach...
8 129 - In Serial29 Chapters
His Love
COMPLETE: Arthur and Merlin finally are just starting to realise their feelings for one another - near fatal accidents and Gwaine's dubious intentions aside - when a beautiful princess arrives with desperate plea to help save her kingdom from the beast that terrorises it. How will their new relationship survive the chaos of a quest against a deadly foe and the temptations of the fairer sex?....Word count: 40k~Mpreg....
8 64

