《1001 Masalah》Obrolan di Teras Rumah

Advertisement

Percayalah, punya bapak tukang ngupil itu, sengsara Sobat. Setiap hari harus membersihkan bawah meja kayu, yang terletak di teras depan.

Kebiasaannya bersantai sambil membaca koran atau minum secangkir kopi hangat, selalu disertai mengupil lalu meletakkan di bawah meja. Jijay? Bukan, lagi. Lebih horor dari cerita orang KKN yang viral itu.

Sampai-sampai, kita punya alat perontok untuk mempermudah pembersihannya. Sudah tidak berbilang ibuku menegur kebiasaan jorok dari Bapak. Namun, seperti angin lalu saja semua omelan serta protes dari kami.

Hari ini setelah usiaku genap 20 tahun, Kang Tedi berencana datang menghadap Bapak dan Ibu untuk melamar. Semua telah rapi dan rumah pun dibersihkan hingga perabotan pun terlihat kinclong. Ibu tidak ingin malu, di depan calon mantu.

Kang Tedi belum pernah bertandang ke rumah, sebelumnya. Kami berkenalan di rumah teman dekat Ibu dan melanjutkan hubungan secara LD R karena tuntutan pekerjaan. Berhubung sudah saling klik, kami memutuskan untuk mengakhiri status lajang dan berjanji untuk saling menjaga dengan ikatan pernikahan.

Sebelum kedua orang tua dipertemukan, Kang Tedi berinisiatif datang berkenalan terlebih dahulu dengan Bapak serta Ibu. Itulah mengapa, dia datang seorang diri.

"Assalamu'alaikum," sapa Kang Tedi yang datang dengan memakai kemeja batik coklat susu dan celana polos berwarna senada.

"Wa'alaikumsalam," serentak kami menjawab, lalu Bapak mempersilakan masuk.

"Gak usah, Pak. Di sini saja, gerah," jawab Kang Tedi sambil duduk di kursi yang berada di teras.

"Owalah, nanti masuk angin lho. Ayo, masuk saja," kata Ibu agak memaksa.

Namun, karena sang tamu bersikeras untuk duduk di teras maka kami pun mengalah. Bapak dan Kang Tedi duduk berdampingan, ngobrol seru tentang permainan bola. Ternyata mereka cocok, kataku dalam hati. Senang melihat keduanya akrab.

Lalu, aku dan Ibu masuk untuk mengambil minum dan makanan kecil. Agar pertemuan kali ini lebih intim lagi.

Saat kami keluar dengan nampan penuh makanan dan minuman, terlihat pemandangan yang sangat ganjil.

Advertisement

Bapak dan Kang Tedi terlihat bermuka masam, sapaan kami pun ditanggapi dingin. Ada apa, rupanya?

Ibu segera menyeret Bapak ke dalam rumah, aku yakin kini sedang diinterogasi. Sementara Kang Tedi aku hadapi.

"Ada apa, Kang? Kok sepertinya ada sesuatu yang terjadi?"

Lama, Kang Tedi diam. Seperti menimbang dan memikirkan sesuatu yang berat. Namun akhirnya keluar juga ungkapan yang mengejutkan dari mulutnya.

"Emm, aku kurang suka dengan sikap bapakmu, Dek."

"Sikap yang mana?" Tidak dapat aku tahan rasa penasaran yang membuncah, ingin rasanya langsung melabrak Bapak.

Karena sudah membuat calonku yang ganteng ini tidak nyaman dengan keluargaku.

"Masak enak-enak ngobrol, tanganku memegang sesuatu yang bergerindil dan basah di bawah meja," katanya sambil bergidik.

Sepertinya, dia kembali membayangkan serta merasakan sensasi yang baru dialaminya.

Ya Allah, tentu saja peristiwa itu sangat mengerikan baginya. Aku yakin wajahku telah berubah warna menjadi merah padam. Malu sekali rasanya, memiliki Bapak pengupil yang gak tahu tempat serta waktu.

Aku lalu berlari, masuk ke dalam. Rencanaku mau meledak karena Bapak membuyarkan rencana, tetapi belum sampai aku membuka mulut.

Aku mendengar Ibu berbicara pelan pada Bapak yang tengah duduk menunduk membersihkan ujung telunjuk kirinya dengan tisu basah berulang kali.

"Jadi, kalian saat ngobrol seru di teras sama-sama mengupil lalu tanpa sadar tukeran tempat duduk?"

Bapak mengangguk masih dengan menunduk membersihkan tangannya dengan keras. Seolah ingin dia copot dan ganti tangan saja.

"Setelah itu, kalian mengupil lagi tanpa sadar memegang kotoran ...."

"Sudah, sudah! Jangan diulangi lagi, pokoknya begitulah, Bu. Aku benar-benar tidak menyangka calon anakku tuh, pengupil."

"Lhah sudah tahu, jijik. Kenapa Bapak gak insyaf juga. Ada tisu yang bisa digunakan, masih juga ditempelin di bawah meja."

Ibu terlihat menahan geli, tidak ada amarah sama sekali dari nada bicaranya. Sementara aku, yang tidak sengaja mendengar cerita kedua orang tuaku menjadi semakin merah padam. Namun kini, bukan kutujukan pada Bapak.

Advertisement

"Oooh, jadi begitu masalahnya," ujarku.

Kedua orang tuaku terkejut. Mereka tidak menyadari kehadiranku di dekatnya.

"Tari!" seru Bapak, "maafkan bapak ya, Nak. Rasanya kok bapak gak suka ya, dengan calonmu. Walaupun hobi kita sama, sih."

"Tari juga gak mau, Pak. Punya suami pengupil. Sudah cukup Bapak yang bikin Tari mau muntah tiap hari, gak perlu ditambah lagi."

Bapak menunduk, "maafkan Bapak ya, Tari. Bu, maafkan aku, ya."

Kami pun berangkulan, dan bersepakat untuk membatalkan lamaran. Mungkin, ini hanya masalah seupil atau sepele. Namun, jika di awal sudah mengganjal tidak menutup kemungkinan ke depannya akan menjadi masalah besar.

Pelajaran yang harus diambil di sini: mengupillah pada tempatnya dan di jam yang tepat.

Tamat

    people are reading<1001 Masalah>
      Close message
      Advertisement
      To Be Continued...
      You may like
      You can access <East Tale> through any of the following apps you have installed
      5800Coins for Signup,580 Coins daily.
      Update the hottest novels in time! Subscribe to push to read! Accurate recommendation from massive library!
      2 Then Click【Add To Home Screen】
      1Click