《UTARI》Bab 14 - Pelukan Sundari

Advertisement

AKIBAT keributan yang terjadi di rumah Sapto dan Sundari tadi siang, banyak warga di pulau itu yang mulai membuat-buat cerita. Kisah itu beredar secepat kilat. Ada yang bilang Sapto berselingkuh, ada yang bilang ada wanita gila dari ibu kota yang berusaha mengejar pemuda berparas tampan itu. Di pulau dengan penduduk yang masih sedikit ini, cerita hisapan jempol mengenai keuzuran seseorang ternyata juga mudah digemari, layaknya yang terjadi di kota-kota besar.

Utari sedikit merasa bersalah dengan hal itu. Namun, kesedihan yang dirasakannya sudah menyita energinya saat itu. Aksara dan Utari menginap di salah satu rumah warga, di rumah keluarga Pak Parman. Ia adalah ayah dari salah seorang pemuda yang ditemuinya di warung dekat dermaga saat pertama kali mereka menginjakkan kaki di pulau itu.

Rumah Pak Parman memang lebih besar apabila dibandingkan dengan kebanyakan rumah penduduk yang ada di pulau itu. Utari tidur di kamar ukuran 2x3 meter yang terletak paling depan di rumah itu. Sementara Aksara memilih untuk tidur di ruang tamu, meskipun sudah ditawari untuk tidur di kamar yang lebih besar oleh Bu Parman, Aksara tetap memilih untuk tidur di ruang tamu dekat dengan kamar Utari.

Utari yang tengah berbaring di atas kasur, mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia menyeka keringat yang mengucur dari dahinya dan menggerak-gerakkan tangannya mengusir kegerahan. Perempuan itu beranjak keluar kamar setelah mengenakan cardigan-nya yang berwarna merah muda. Ruang tamu telah gelap. Samar-samar terlihat bayangan seseorang tengah terlelap di salah satu kursi di ruangan itu. Utari membuka pintu rumah perlahan, takut membangunkan Aksara.

Utari memilih untuk menghabiskan sebagian waktu di malam itu duduk menatap ke arah laut yang tenang, suara angin yang bergesekkan dengan air menenangkan indera pendengarannya. Embusan udara menyapu wajah dan rambutnya, memberikan kesejukkan. Kapal-kapal penduduk bergoyang di dekat dermaga. Dari kejauhan, ia melihat siluet seorang laki-laki keluar dari kapal kayu sambil membawa sesuatu di tangannya.

"Eh, Mbak Tari sedang apa di sini sendirian?" Tanya lelaki yang rupanya adalah Pak Rustam, yang tadi mengantarkan mereka ke rumah Sapto.

"Nggak apa, pak. Di dalam rumah gerah, jadi saya memutuskan untuk cari angin."

Pak Rustam tertawa, "hati-hati, mbak. Salah-salah malah masuk angin." Ia duduk di samping Utari seraya meletakkan jaring di sampingnya.

"Bapak sudah berapa tahun tinggal di pulau ini?" Tanya Utari.

"Sejak lahir saya sudah tinggal di sini, mbak. Dulu, pulau ini masih sangat sepi. Sekarang saja sudah mulai ramai."

"Kalau begitu, bapak tahu bagaimana ceritanya Abimanyu... Mmmhh... maksud saya, Sapto sampai ke pulau ini?"

Advertisement

Pak Rustam menundukkan kepalanya, sepertinya ia sedang mengingat-ingat peristiwa itu. "Sapto, seingat saya tidak datang sendiri. Ada seorang laki-laki yang menemaninya. Saya sendiri tidak begitu ingat namanya. Kalau tidak salah Geri namanya. Mereka tinggal di sebuah rumah—yang saat ini ditempati Sapto. Keesokkan harinya, laki-laki yang menemaninya itu naik kapal dan tidak pernah kembali lagi setelah itu."

Utari memperhatikan penjelasan Pak Rustam dengan seksama.

"Memang, saat baru datang kami merasa ada yang tidak beres dengan pemuda itu. Dia tampak seperti orang idiot atau anak sekarang bilangnya apa itu...lemot. Suka nggak nyambung begitu kalau diajak bicara. Ya sudah... pelan-pelan kami mengajak dia cari ikan, olah rumput laut, apa saja lah. Lama-lama dia nyambung sendiri dan bisa hidup seperti sekarang ini."

"Apa Sapto tidak pernah cerita asal-usulnya?" Tanya Utari.

"Kami pernah tanya. Dia hanya bilang kalau orang tuanya sudah lama meninggal dalam suatu kecelakaan yang membuat dia amnesia. Dia tahu kejadian itu dari Geri, orang yang katanya menolongnya. Karena tidak bisa menampungnya lagi, Geri mengajak Sapto ke pulau ini dan ia mengatakan pada Sapto kalau ia bisa tinggal di sini."

Utari mengela napas panjang, tanpa sadar ia memegang kepalanya. Mengapa nasib Abimanyu bisa begitu menyedihkan. Siapa yang tega menghapuskan jati diri dan menggantinya dengan yang baru dan tanpa persetujuannya.

"Ya sudah, mbak. Sudah malam. Ndak balik ke penginapan?"

"Silakan, pak. Saya mau di sini dulu sebentar lagi saja."

Raut wajak Pak Rustam berubah. "Ya sudah. Bapak duluan ya kalau begitu. Kalau bisa jangan lama-lama di laut malam-malam begini. Sendirian lagi."

Sosok Pak Rustam menghilang setelah beberapa lama. Kini Utari sendiri lagi meratapi nasib Abimanyu yang begitu bersinggungan dengannya.

Tanpa Utari ketahui, Aksara memperhatikannya dari kejauhan. Ia mendengar percakapannya dengan Pak Rustam, namun tidak segera mendekati Utari. Ia tahu kalau perempuan itu sedang butuh sendiri.

Utari tak jua mendapatkan jawaban mengapa hal seperti ini terjadi padanya. Setelah bertahun-tahun, laki-laki itu menghilang, kini ia muncul dengan ingatan nihil mengenai dirinya. Oh, malang benar nasibmu Utari. Bertahun-tahun kau habiskan energimu untuk menjaga hati dan memikirkan Abimanyu, dia justru menyia-nyiakanmu dan memilih perempuan lain. Duh... duh... Utari mendengar suara di kepalanya, mengejeknya.

Utari memeluk kedua kakinya, lalu membenamkan wajah di antara kedua tangannya. Apakah ini saatnya ia harus menyerah? Toh, pada akhirnya ia akan sendirian. Abimanyu akan mati dikeroyok, membayar sumpah yang pernah diucapkannya—meninggalkan dunia ini dengan damai atau dengan perasaan berdosa. Meninggalkan yang mencintai dan dicintainya selamanya.

Advertisement

Perempuan yang kemarin ditemuinya sedang menidurkan bayi yang ditimang di dalam ayunan kain yang digantungkan di ranting pohon di depan rumahnya. Perempuan itu bersenandung lagu jawa sambil menggoyang-goyangkan ayunan—pemandangan yang sudah jarang sekali dilihat Utari.

Seharusnya ia kesal. Seharusnya ia benci dengan perempuan itu, Sundari yang ternyata telah merampas hati Abimanyu. Namun, pemandangan kali itu, entah mengapa Utari justru terharu. Ia meminta Aksara untuk membiarkannya menemui Sundari sendirian. "Aku ingin mengobrol berdua saja dengan Sundari." Aksara mengangguk seraya tersenyum kecil. Ia mengantar pujaan hatinya menuju Sundari dengan tatapan sayang.

"Sundari." Sapa Utari. Perempuan itu menghentikan nyanyiannya.

Ia tidak menjawab, hanya tersenyum.

"Boleh saya duduk di sini?" Utari menunjuk bangku kayu panjang yang terletak tepat di samping pohon.

Sundari hanya mengangguk.

Utari melongok ke dalam kain ayunan dan melihat bayi laki-laki yang baru berusia beberapa bulan itu sambil tersenyum melihat wajah sedamai itu. "Wajahnya mirip Abimanyu." Utari mengalihkan pandangannya ke Sundari. Perempuan itu tetap tidak bersuara.

"Mbak Sundari, saya minta maaf kalau kedatangan saya kesini mengusik kehidupan mbak." Utari menghela napas. "Entah mengapa saya merasa harus minta maaf. Saya tahu bagaimana rasanya ketika kebahagiaan kita diusik—dan saya sadar kehadiran saya yang tiba-tiba ini cukup menjadi pengusik kehidupan kalian."

Sundari menunduk, ia lalu duduk di samping Utari.

"Tapi, saya punya alasan mbak. Saya punya alasan mengapa saya bela-belain datang kesini jauh-jauh dari Jakarta. Perjalanan saya bukan sehari dua hari tapi, hampir tujuh tahun untuk bisa sampai ke sini dan akhirnya bertemu dengan Abimanyu."

"Sebenarnya, bagaimana ceritanya? Saya tanya Mas Sapto, dia juga kebingungan dan bahkan menolak untuk membahas." Sundari akhirnya bersuara. "Eh, maaf mbak..."

"Abimanyu itu dulu kekasih saya. Kami sudah bersama-sama semenjak masih mengenakan seragam putih abu-abu. Kami sama-sama punya mimpi untuk hidup bersama sebagai satu keluarga. Tapi, impian itu seolah menjadi sia-sia ketika Abimanyu tiba-tiba menghilang. Tak satu pun orang yang dapat membantu saya menemukannya." Utari bercerita dengan tenang, hingga ada air yang menggenang di kedua pelupuk matanya.

"Lalu, mengapa mbak bisa sampai ke sini dan mengapa mbak bisa mengira Mas Sapto adalah Abimanyu yang sedari tadi mbak sebut-sebut."

"Ada orang jahat yang mau menghilangkan ingatannya. Entah siapa orang itu. Ia disekap dan ingatannya dihapus oleh alat penghilang ingatan—yang saya sendiri sampai saat ini masih tidak percaya ada alat semacam itu. Tapi, semua itu ternyata nyata ketika saya bertemu langsung dengannya." Utari menyeka air matanya. "Setelah bertahun-tahun, akhirnya saya dapat informasi kalau ia dibuang ke pulau ini dan langsung memutuskan untuk menyusulnya ke sini."

"Jadi, mbak ke sini mau mengajaknya untuk kembali ke Jakarta?" Tanya Sudari cemas.

"Iya." Jawab Utari tegas. "Tadinya begitu. Tapi, Abimanyu yang sekarang tidak lagi sama dengan Abimanyu yang saya kenal dulu. Dia bahkan tidak sedikitpun mengenali saya. Sedikitpun. Lalu, bagaimana bisa saya mengajaknya pulang."

"Ya. Saya jujur saja takut kalau ia benar-benar akan pergi. Saya memikirkan anak-anak kami."

"Ah, Sundari. Nasib kita telah ditulis, tanpa kita sadari, berabad-abad yang lalu dalam sebuah cerita. Kalau saja Abimanyu masih ingat dengan cerita itu. Ia pasti akan tertawa."

"Ya, saya tahu cerita itu. Tentu saja, terkadang saya diajak untuk menonton pementasan wayang saat sedang menyeberang ke kota. Tapi, saya tidak tahu kalau Mas Sapto adalah Abimanyu."

"Sundari, bagaimana ceritanya kamu bisa dengan Abimanyu—eh, maksduku Sapto." Utari meralat seolah tidak rela Abimanyunya disebut bersama dengan Sundari.

Sundari menunduk malu. Utari bisa melihat ada senyuman kecil di sana. "Semuanya terasa begitu cepat, mbak. Dia tiba-tiba datang mengambil hati penduduk di pulau ini, termasuk hati bapak saya. Beberapa hari saya mengenalnya, ia langsung melamar saya. Ah, saat itu saya menebak kalau ada yang mendorongnya untuk melakukan itu."

Utari menatap Sundari dan tersenyum. Entahlah, ia ingin saja tersenyum melihat perempuan yang ada di depannya itu terlihat bahagia. Meskipun, seperti ada torehan di dadanya saat mendengar hal itu. Ia tengah meratapi, mengapa waktu yang begitu lama dilaluinya dengan Abimanyu justru tidak mempersilakannya untuk merasakan manisnya momen itu.

"Saya rasanya tidak ingin mendengar kisah lanjutannya, Sundari." Kali ini air mata Utari tidak dapat dibendungnya. Pundaknya bergerak naik-turun. Perempuan itu menangis sesenggukan. Sundari mendekatinya dengan ragu, merangkul pundak Utari mencoba membuatnya tenang.

"Maafkan saya, mbak. Maaf kalau saya seolah-olah mengambil kebahagiaan mbak." Entah mengapa Sundari malah meminta maaf. Utari bergerak menatap Sundari lalu menghambur dalam pelukannya—sebagaimana Abimanyu pernah berteduh di sana. Kedua perempuan itu hanyut dengan lemah di dalam perasaan yang begitu kuat.

Utari membayangkan, Abimanyu mengadukan kegundahan hati, meluruhkan rasa lelahnya, mencurahkan kasih sayangnya, dan mencari kedamaian ke dalam pelukan itu. Pelukan perempuan yang saat ini ia rasakan. Abimanyu, harus kah aku menyerah sekarang? Haruskah, Abimanyu?

    people are reading<UTARI>
      Close message
      Advertisement
      You may like
      You can access <East Tale> through any of the following apps you have installed
      5800Coins for Signup,580 Coins daily.
      Update the hottest novels in time! Subscribe to push to read! Accurate recommendation from massive library!
      2 Then Click【Add To Home Screen】
      1Click