《UTARI》Bab 13 - Pulau Cakrabyuha

Advertisement

PAPAN hijau bertuliskan "Pulau Cakrabyuha" berwarna putih itu sudah terlihat dari kejauhan, menyambut perempuan yang tengah menatapnya lekat meski jaraknya masih beberapa menit lagi. Tampak pepohonan yang masih rindang dan bangunan yang berjejer di belakang pantai kecil dekat dermaga.

Aksara menghampiri Utari, membawakan tas dan barang bawaannya dari dalam kapal. "Akhirnya sampai juga, ya." Kata Aksara seraya menggendong tas ransel milik Utari.

"Eh, Aksara... Biar aku saja yang bawa tasnya. Repot sekali kelihatannya bawa-bawa dua tas ransel begitu." Bukannya menanggapi Aksara, Utari justru meminta tasnya yang sudah menempel di punggung Aksara. Laki-laki itu meliriknya penuh makna.

"Terima kasih banyak atas tawaran bantuannya. Tapi, aku bisa bawa sendiri kok. Benar."

Mereka turun dari kapal itu setelah membayar sebesar lima puluh ribu rupiah kepada awak kapal feri. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Besok di waktu yang kira-kira sama, kapal feri baru akan datang lagi untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Bahkan, terkadang dalam satu atau dua hari tidak ada kapal yang menepi ke pulau itu. Cakrabyuha bukan lah pulau wisata seperti gugusan Kepulauan Seribu di utara ibu kota. Rumah penduduk terbilang belum terlalu banyak di sana, meskipun tidak bisa juga dibilang sedikit. Luasnya mencapai 121 km2 dan hanya didiami sekitar lima ribu jiwa penduduk.

Tak jauh dari dermaga, keduanya melihat beberapa orang pemuda sedang berkumpul di depan sebuah warung sambil menyeruput kopi hitam di gelas-gelas kecil. Sayup-sayup terdengar mereka berbicara menggunakan bahasa Jawa. Aksara dan Utari menghampiri mereka.

"Permisi, mas. Maaf mengganggu. Apa di sekitar sini kami bisa menemukan penginapan?" Tanya Aksara. "Kami datang dari Jakarta."

Seorang pemuda yang berambut merah karena terlalu sering terpapar sinar matahari menjawab, "Oh, dari Jakarta. Ada, mas. Biasanya kalau ada orang yang mau menginap di sini, tinggal di rumah penduduk sini atau nenda."

"Oh, kalau camping, kami bisa menyewa tenda dimana ya?" Tanya Aksara lagi. Para pemuda itu tidak menjawab, justru saling tatap.

"Mmm... biasanya sih kalau mau nenda ya mereka bawa sendiri, mas. Kalau mau menginap, nanti saya di rumah dia bisa nih mas." Seorang pemuda menunjuk pemuda lainnya.

"sek.. sek... tak takon bapakku disik."

"Terima kasih, mas. Tapi, sebelumnya saya mau bertanya. Apa mas-mas kenal dengan laki-laki, usianya sekitar 30 tahun, matanya sipit, kulitnya putih. Namanya Abima..." Utari berhenti berkata-kata. Ia sendiri tak yakin apakah nama Abimanyu masih sama dan belum diganti apabila mengingat cerita yang disampaikan oleh Mas Robi.

"Abimanyu." Utari memutuskan untuk meneruskannya nama itu belakangan. Pemuda itu menggeleng-geleng, sepertinya mereka tidak yakin pernah mendengar nama itu.

"Wah, kalau ini saya kenal, mbak! Si Sapto ini! Iya, betul ini Sapto sepertinya." Akhirnya, seorang laki-laki bertubuh kurus berkulit cokelat, yang dikepalanya terikat syal batik, memberikan pencerahan.

"Sapto?" Tanya Utari seraya melihat ke arah Aksara. "Mas, tahu rumahnya?"

"Ya, tahu! Orang rumahnya itu di samping rumah saya. Dia biasanya sedang main sama anaknya yang kecil kalau jam segini. Mbak ini mau bertemu dengannya?"

Utari mengangguk.

"Ayo mari, mbak... mas... saya antar."

Advertisement

Ada yang mendesir di dalam dada Utari ketika laki-laki yang berjalan di depannya menyebutkan kalimat Kalimat itu menggema di kepalanya berulang kali, hingga ia merasa pusing dan hampir pingsan. Namun, kakinya tetap berusaha untuk melangkah. Satu demi satu langkahnya bergerak mengikuti laki-laki tadi, sampai syaraf-syaraf di kakinya tiba-tiba melemah, pandangannya tiba-tiba mengabur, dan kata yang tak sanggup ia lawan saat itu adalah tumbang.

"Utari! Kamu nggak pa-pa?" Tanya Aksara seraya memegang pundak Utari yang hampir saja terjatuh.

"Iya. Saya nggak pa-pa kok, Aksara." Katanya lemah. Bibirnya pucat.

"Saya gendong saja, ya?"

"Nggak usah. Saya nggak pa-pa." Utari menepis tangan Aksara.

"Baiklah kalau kamu tidak mau. Aku pegangi tapi, ya. Biar tidak ambruk."

Sepanjang perjalanan yang tidak jauh itu, Utari dipegangi oleh Aksara yang siap menjaga keseimbangan tubuh Utari yang sudah terlihat lemah.

Akhirnya sampailah mereka di sebuah rumah yang sepi. Pintu rumah yang sederhana itu tertutup rapat. Utari mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk. Bagaimanapun, dirinya telah kalah dengan pikiran dan asumsinya. Perasaan takut mendominasinya.

"Sepertinya tidak ada orang, ya."

"Mas Sapto! Mbak Ndari! Ini ada tamu..." Teriak laki-laki itu. Utari kembali oleng ketika laki-laki itu menyebut nama Ndari. Maksudnya Sundari? Tanyanya dalam hati.

Aksara mendudukkan Utari di atas dipan yang terletak di samping pintu rumah itu. Tak lama kemudian, seperti ada orang yang hendak membuka pintu rumah itu dari dalam. Utari memalingkan wajahnya ke arah pintu. Dadanya berdebar, ia merasa sangat dekat dengan Abimanyu sekarang.

Pintu itu bergerak masuk. Seorang laki-laki betubuh jangkung, bermata agak sipit, berambut hampir sebahu dan berkulit kuning langsat keluar dari rumah itu. Begitu melihatnya, Utari langsung berdiri dari duduknya, matanya tak bisa berhenti menatap sosok yang ada di hadapannya saat itu.

Waktu seolah berhenti. Lantunan puisi menggema di dalam benak Utari, diiringi oleh lantunan suara gitar seperti yang pernah didengarnya dari tangan seorang adam yang telah mencuri hati seorang hawa. Ingatannya melayang ke kejadian bertahun-tahun silam.

Aku berkaca

Ini muka penuh luka

Siapa punya ?

Kudengar seru menderu

dalam hatiku

Apa hanya angin lalu?

Lagu lain pula

Menggelepar tengah malam buta

Ah.......!!

Segala menebal, segala mengental

Segala tak kukenal .............!!

Selamat tinggal ................!!

-Chairil Anwar-

"Mengapa lagunya sedih sekali?" Tanya Utari pada Alung usai melihat penampilan laki-laki itu di pensi sekolah.

Laki-laki itu tersenyum. "Itu musikalisasi puisi karya Chairil Anwar. Judulnya 'Selamat Tinggal'"

"Iya, aku tahu... Tapi, kenapa memilih menyanyikan lagu itu?

Alung meletakkan gitarnya. Tidak menjawab pertanyaan Utari. Hatinya mungkin sedang gundah saat itu, hingga ia memilih untuk menyimpan kesedihannya pada beberapa bait lagu dan suara dawai gitarnya.

"A-ABIMANYU."

Air mata Utari keluar berurai. Ia tersenyum melihat laki-laki itu. Benar, orang yang ada di hadapannya saat ini adalah laki-laki yang selama bertahun-tahun mengisi relung jiwanya secara penuh, tanpa berkurang sedikitpun. Utari berjalan ke arah laki-laki itu sambil berusaha mengatakan sesuatu, namun suaranya tidak juga keluar.

"Ini aku, Abimanyu. Utari..." Kata Utari bersusah payah. Ia berusaha menyentuh dada laki-laki itu. Sebelum telapak tangannya sampai ke dadanya, laki-laki itu cepat-cepat memegang pergelangan tangan Utari.

Advertisement

"Maaf, mbak. Kamu mencari siapa? Saya tidak kenal dengan kamu."

Senyum Utari semakin lebar ketika ia mendengar suara lelaki itu. Tidak salah lagi, laki-laki yang didepannya ini benar-benar Abimanyu. Ia kenal suara itu.

Aksara memegang lengan lelaki itu, lalu membisikkan sesuatu kepadanya. Utari tidak tahu apa yang dibisikkan Aksara pada laki-laki itu. Setelahnya, Utari diajak masuk ke dalam rumah laki-laki itu dan dibuatkan teh manis hangat. Setelah Utari lebih tenang, mereka memulai pembicaraan lagi. Kali ini, Aksara yang ambil alih.

"Emm... Mas Sap-Sapto, ya?" Tanya Aksara.

Laki-laki itu mengangguk, "Iya, benar."

"Begini, mas. Saya Aksara dan teman saya ini, Utari, sedang mencari seseorang yang bernama Abimanyu. Kami mendapat informasi kalau dia tinggal di pulau ini." Kata Aksara perlahan.

"Kami mencari Abimanyu dengan menujukkan foto ini kepada orang-orang yang tinggal di sini dan mas tadi mengatakan kalau dia kenal dengan mas—orang yang sama persis dengan orang di foto ini." Aksara menunjukkan foto itu kepada Sapto.

"Ini foto saya?" Tanya Sapto kepada Aksara.

"Iya, kira-kira begitu, Mas Sapto."

"Tapi, tadi Anda bilang, Anda mau bertemu dengan Abimanyu?"

Aksara melihat ke arah Utari yang terduduk diam dengan wajah lesu. Mungkin, karena melihat beberapa foto Sapto dan seorang perempuan—yang sepertinya istrinya—dan seorang anak berusia 10 tahun dan seorang bayi—yang sepertinya anaknya—terpajang di dinding bata rumah itu.

"Boleh saya ceritakan ya, mas?" Kata Aksara.

Sapto mengangguk dan mendengarkan cerita Aksara mengenai masa lalunya. Selama Aksara bercerita, Sapto tidak pernah henti-hentinya mengernyitkan dahi. Lalu, menggeleng dan tersenyum meremehkan.

"Mas, saya ini Sapto Prabowo. Bukan Abimanyu yang mbak dan mas maksud." Kata laki-laki itu usai mendengar cerita singkat dari Aksara. Utari hanya melirik lemah kearahnya.

"Kamu mungkin saja sudah melupakan semuanya, Abimanyu. Tapi, saya yakin ada setitik rasa yang tertinggal di dalam benak kamu. Sisa-sisa kenangan kita dulu. Mungkin ini bisa membantu kamu untuk mengingatnya." Kata Utari.

Utari mengeluarkan amplop surat yang cukup tebal dari dalam tasnya dan memberikannya pada Abimanyu, "coba baca ini."

Setelah membaca berlembar-lembar surat yang cukup panjang itu, Abimanyu hanya tertawa. Ia tetap tidak percaya dengan hal yang diceritakan oleh Utari dan Aksara. Utari melihat Aksara, tatapannya antara bingung dan sedih. Bagi Utari, suara tawa Abimanyu barusan terdengar sedikit menyayat. Entahlah, untuk pertama kalinya Utari tidak menyukai cara laki-laki itu tertawa. Benarkah Abimanyu bukan hanya sudah melupakannya, tapi ia juga telah berubah.

"Maaf... maaf... mbak, mas. Saya benar-benar tidak mengerti. Saya tidak kenal dengan nama-nama yang disebutkan dalam surat ini, bahkan dengan orang-orang yang ada di foto itu. Saya tidak yakin apakah ini nyata atau hanya gurauan saja. Tapi, apa mbak dan mas yakin tidak salah orang?"

"Setelah membaca surat itu, apa kamu masih mengira saya sedang bergurau? Tanda lahir di punggungmu yang diceritakan oleh Mas Robi, pamanmu. Kronologis hidupmu dari kecil, dan ciri-ciri fisik serta informasi yang kami dapatkan. Apa kamu masih menganggap semua ini hanya karangan kami saja?" Utari berusaha meyakinkannya. Laki-laki itu hanya diam sambil sekali lagi melihat kearah surat yang ada di tangannya. Ia duduk terdiam sejenak, raut wajahnya seolah berpikir tidak percaya kalau hal semacam ini memang benar-benar terjadi dalam hidupnya.

"Demi Tuhan, Abimanyu. Kamu pernah berjanji akan menikahiku!" Kata Utari tak sabar. Ia pindah duduk di samping laki-laki itu dan mulai menarik-narik lengannya. Sapto atau anggap saja Abimanyu beberapa kali terlihat menghindar.

Perempuan itu mulai merajuk, air matanya keluar deras. Ia memohon pada Abimanyu agar mau kembali ke Jakarta. Apabila ia tidak bisa ingat juga, Utari rela memulainya lagi dari awal. "Tak apa, Abimanyu. Asal bersama kamu." Kata Utari.

"Mbak ini sudah gila, ya!" Bentak Sapto. Utari terperanjat. Tagisannya reda, namun sesenggukannya masih bersisa.

"Saya ini Sapto bukan Abimanyu. Kalaupun saya ini Abimanyu dan lupa ingatan karena alat penghilang ingatan yang mbak dan mas sebut-sebut itu, saya tidak akan meninggalkan tempat ini. Saat ini, ya saya adalah Sapto." Laki-laki itu sudah bangkit dari duduknya saat ini. Kata-katanya seolah mematikan langkah sang raja di atas papan catur.

"Tapi, kita pernah saling mencintai, Abimanyu." Kata Utari tak menyerah. Aksara diam saja. Ia sepertinya tidak ingin membuat keributan yang lebih parah.

"Iya, tapi saya sudah punya anak dan istri. Kehidupan saya di sini, bukan di Jakarta!" Bentak Sapto lagi, sepertinya laki-laki itu sudah mulai muak.

Tak lama kemudian, seorang perempuan masuk ke dalam rumah itu bersama dengan seorang bayi yang ada di gendongannya dan seorang anak berusia sekitar sepuluh tahun yang wajahnya tidak ramah. "Ada apa toh ini, mas?" Tanya perempuan itu pada Sapto.

"Kamu siapa?" Tanya Utari tanpa mengeluarkan suara, hanya gerak bibir saja.

"Saya Sundari." Kata perempuan itu seraya mengulurkan tangannya.

"Sundari?" Ulang Utari. Nama itu seolah membawanya ke momen ketika Abimanyu bersumpah pada Utari bahwa ia belum pernah menikah dengan seorang pun sebelumnya.

Bila aku memiliki perempuan lain selain dirimu, Utari. Aku rela mati dikeroyok. Biarkan aku mati di bawah pedang dengan anak-anak panah menghujam di seluruh tubuhku.

"Sundari." Kata Utari tanpa suara lagi melihat perempuan itu memberikan bayi yang ada di tangannya ke tangan Abimanyu. Pancaran mata Abimanyu kepada anak itu pernah dilihatnya dulu, begitu lembut dan penuh kasih sayang. Tidak salah lagi. Perempuan bernama Sundari itu adalah istrinya dan anak itu... anak itu adalah buah hati mereka berdua. Rasa ngilu menjalar di dada Utari.

Setelah itu, ia tidak ingat apapun. Sekelilingnya menjadi gelap. Suara-suara itu muncul namun tidak jelas bicara apa. Utari hanya ingin terlelap, berpura-pura kejadian yang sebelumnya dialaminya tidak pernah terjadi. Tak ada laki-laki bernama Sapto ataupun perempuan bernama Sundari. Begitu juga dengan anak yang merupakan anak Sapto. Tapi, Sapto itu adalah Abimanyu.

Hati Utari hancur, namun ia tidak dapat mengucap sumpah seperti yang dilakukan Dewi Utari versi Mahabharata kepada Abimanyu. Laki-laki itu dengan lantang mengatakan telah menikah dengan seorang perempuan bernama Siti Sundari. Abimanyu tak akan mati dikeroyok di Cakrabyuha, ia akan hidup tenang di sana dengan keluarganya.

McD

    people are reading<UTARI>
      Close message
      Advertisement
      You may like
      You can access <East Tale> through any of the following apps you have installed
      5800Coins for Signup,580 Coins daily.
      Update the hottest novels in time! Subscribe to push to read! Accurate recommendation from massive library!
      2 Then Click【Add To Home Screen】
      1Click