《UTARI》Bab 10 - Kisah Jamur

Advertisement

SEMENJAK bersama-sama pergi ke Rumah Harapan, Utari dan Aksara semakin sering berkomunikasi. Bahkan, beberapa kali mereka sengaja bertemu untuk sekadar mengobrol. Aksara menceritakan perngalamannya di Jerman. Di sana ia hanya hidup berdua dengan ayahnya yang sudah sangat tua, yang baru meninggal sekitar dua tahun yang lalu. Aksara mengatakan kalau ayahnya sangat ingin ia mengambil kuliah di bidang fisika, namun ia menolaknya karena lebih menyukai Sosiologi.

Utari juga bercerita tentang keluarganya kepada Aksara. Bahkan, ia tidak segan-segan menceritakan masalah yang dialaminya dengan Laras, adiknya. Terakhir mereka bertemu, Laras juga menceritakan sedikit tentang Abimanyu. Tentang sosoknya yang pemberani, namun nggak neko-neko. Tentang bagaimana ia memandang diskriminasi etnis di negaranya sendiri. Semua itu, secara mengejutkan, diceritakan olejh Utari kepada Aksara. Selama ini, hal-hal seperti itu hanya diluapkannya ketika berada dalam pertemuan di Rumah Harapan.

Utari juga menceritakan tentang bapaknya yang meninggal karena kanker paru-paru—tetapi, ia tidak mengatakan kalau dirinya selalu merasa bersalah karena sesekali merokok diam-diam. Utari juga menceritakan tentang arti namanya kepada Aksara, sama seperti yang dilakukannya pada Abimanyu. Bapak pernah bilang kepada Utari kalau namanya diambil dari nama tokoh wayang dalam cerita Mahabharata. Dewi Utari, putri dari Raja Matswapati dari kerajaan Wirata. Seorang perempuan yang akan menikah dengan salah satu anak dari penengah Pandawa—Arjuna. Nama anak itu adalah Abimanyu.

Tapi, ia tidak mengatakan kalau nama asli Abimanyu adalah Lim Siaw Lung dan laki-laki itu sengaja mengubah namanya karena ingin disamakan dengan suami Dewi Utari di kisah pewayangan.

Ketika bercerita tentang Abimanyu, ia jadi ingat kisah yang pernah diceritakan bapak. Kisah dimana Abimanyu mati secara tragis saat perang Barathayuda karena berada pada kepungan pasukan Kurawa. Takdir yang merupakan keniscayaan dari sumpahnya—yang ternyata dusta—pada Utari. Kelak ketika mereka sering menghabiskan waktu berdua mengelilingi ibu kota, Utari tidak lagi sungkan menceritakan kisah itu dan bertanya tentang dusta yang pernah dilakukannya pada seorang perempuan. Abimanyu menjawab kalau ia tidak pernah berdusta. Utari berdoa semoga perkataannya itu bukanlah dusta.

Utari seperti menemukan sahabat baru. Selama ini, ia selalu ragu menceritakan masalah-masalahnya, termasuk keanehan-keanehan yang dialaminya. Hal yang membuatnya takut dianggap gila bila orang-orang mengetahuinya.

Ketika mengingat-ingat percakapannya dengan Aksara tentang masa-lalunya seperti sedang menonton film lama. Kejadian itu terputar kembali di kepalanya. Steroid di dalam tubuhnya sedang tidak stabil, mungkin karena itu ia seolah menikmati adegan demi adegan bersama Abimanyu yang muncul di dalam ingatannya. Ia kembali melirik mawar merah pemberian Pak Jay. Ya, pagi itu Pak Jay memberikannya bunga mawar merah lagi.

Advertisement

"Abimanyu, apa kabarmu?" Pikir Utari. Udara yang ada di sekelilingnya saat ini tiba-tiba berubah menjadi demikian sendu. Ia dapat mencium aroma tanah basah yang selalu membuatnya merasa nyaman sekaligus sedih berada lama-lama dalam dekapan ketidakpastian. Namun, ia tidak bisa berhenti berharap. Hilangnya Abimanyu yang serba tiba-tiba itu membuatnya hidup dalam tanda tanya besar. Orang sepetrti Abimanyu tidak akan meninggalkannya begitu saja. Bila pun harus begitu, pasti ada alasannya. Tapi, apa? Pertanyaan itu tidak pernah terhawab hingga kini.

SETELAH kejadian di lobi itu, Pak Jay semakin gencar memberikan sesuatu kepada Utari. Laki-laki itu juga tidak segan-segan menyapanya dan mengobrol sebentar di meja Utari sambil mengajaknya untuk makan malam bersama. Selalu begitu setiap kali mereka bertemu. Sudah beberapa hari itu Pak Jay tidak menyapanya. Pasti laki-laki itu sudah menyerah, pikir Utari.

Tapi ia salah, siang itu, Pak Jay tiba-tiba menghampirinya lagi. Ia mengajak Utari untuk makan malam bersama selepas jam kantor. Utari langsung menolaknya, sebab ia tidak tahu bagaimana harus bersikap ketika Pak Jay mulai berbicara ke arah yang tidak ia inginkan. Pak Jay terlihat kecewa, tapi ia tidak memaksa. Ia hanya menambahkan kalimat ini, sebelum ia pergi ke ruangannya.

"Tolong lah, Utari. Sekali ini saja. Setidaknya, izinkan saya menjelaskan sesuatu. Izinkan saya berusaha terlebih dahulu." Kata Pak Jay lirih. Sepertinya laki-laki itu masih berpikir kalau Utari tidak mau dengannya hanya karena mengira dirinya duda beranak. Lantas, ia ingin menjelaskan cerita yang sangat mungkin dikarangnya.

"Setelah itu, kalau kamu masih merasa terganggu. Saya janji tidak akan mengganggu kamu lagi."

Hal yang dikatakan Pak Jay barusan terdengar menjanjikan. Setelah terdiam beberapa lama, Utari menyetujui ajakan Pak Jay. "Baiklah, pak. Asalkan bapak mau memenuhi janji bapak."

SETELAH jam kantor, Utari diantar Pak Jay ke sebuah restoran di suatu mall yang tidak terlalu jauh dari kantor mereka. Sepanjang perjalanan, Pak Jay menyetel lagu-lagu romantis era 70-an. Lagu-lagu itu membuat Utari ingin membuka pintu mobil dan terjun keluar, saat itu juga. Ternyata, Pak Jay juga mengajak Utari di sebuah restoran formal dengan lilin-lilin yang terpajang di atasnya. Hal itu, semakin membuat Utari ingin kabur.

Setelah memesan makanan, Utari menegakkan badannya dan bertanya pada Pak Jay, "Jadi, hal apa yang ingin Anda bicarakan, Pak?"

Pak Jay yang duduk di seberang Utari itu langsung mencondongkan badannya ke depan. "Baiklah. Begini, Utari. Sebelumnya, saya ingin mengatakan kepada kamu kalau saya ini sangat amat tertarik dengan kamu." Jeda sebentar.

Advertisement

"Apa kamu mau tahu alasannya?"

"Mmm... Tidak, pak. Terima kasih, sebelumnya. Tapi, saya menunggu cerita bapak soal anak bapak. Sepertinya bapak ingin sekali saya tahu tentang sesuatu."

"Yah, saya tahu dari Shiren. Katanya, kamu tidak ingin menikah dengan duda. Apa betul itu, Utari?" Tanya Pak Jay. Salah satu alisnya terangkat, membuat Utari ingin sekali melempar vas bunga yang ada di hadapannya ke wajah lelaki itu.

"Iya. Betul, pak. Saya lebih ingin menikah dengan yang seumuran saja."

"Yang perlu kamu tahu ya, Utari. Saya belum pernah menikah, sekalipun. Se-ka-li-pun." Pak Jay seolah mengabaikan kata 'seumuran' yang diucapkan oleh Utari.

"Baik. Lalu?" Tanya Utari, sengaja menunjukkan kalau ia tidak terlalu tertarik dengan pernyataan Pak Jay yang dipertegas itu.

"Kamu pasti bingung, kan. Kalau begitu Jay itu siapa."

Penjelasan Pak Jay ini terkesan bertele-tele, pikir Utari.

"Jay itu saya adopsi dari suatu panti asuhan. Kebetulan, saya adalah donatur tetap di panti asuhan itu. Saya terkesan dengan bakat menggambarnya. Sangat amat terkesan, bahkan. Saking terkesannya, saya sampai tidak peduli kalau otaknya agak miring. Ya, Jay memang agak miring otaknya."

Utari tidak berkomentar, ia mendengarkan dengan seksama menunggu kelanjutan cerita Pak jay tentang Jay, anak angkatnya. Seperti biasa, Pak Jay sedang berusaha membuatnya terkesa. Setidaknya, itu yang dirasakan Utari.

"Mungkin, salah satu hal yang membuat saya mau mengadopsinya adalah karena perasaan iba saya. Anak seberbakat itu, diabaikan oleh orang tua kandungnya begitu saja. Penjaga panti asuhan mengatakan kepada saya kalau penyebab abnormalitas yang dialami Jay adalah karena orang tuanya sendiri. Yang menceritakan itu kepada penjaga panti asuhan adalahh pengasuh anak itu yang diminta oleh majikannya menitipkan Jay di panti asuhan. Saat itu sebenarnya namanya bukan Jay, tetapi Caritra."

"Kenapa penjaga panti asuhan itu tidak melapor polisi?"

"Sudah. Tetapi, kasus itu tidak pernah jelas. Polisi seperti tidak bertindak apa-apa. Saya juga tidak tahu pasti alasannya apa. Pokoknya, polisi tidak berhasil menangkap orang tua Jay atau Caritra. Penjaga panti asuhan itu sendiri juga tidak mau pusing-pusing. Mereka dengan senang hati menampung Jay ditempat itu. Makanya, tidak ada yang tahu kasus itu sudah sampai mana."

"Aneh sekali." Kata Utari agak sinis.

"Iya, memang aneh. Tapi, ini nyata." Pak Jay berdeham, lalu melanjutkan bercerita. "Tapi ada yang lebih aneh lagi dari kisah Jay, Utari. Otaknya miring karena orang tuanya sendiri, atau lebih tepatnya—kata penjaga panti asuhan itu—karena ayahnya sendiri."

"Kata penjaga panti asuhan itu, ayah Jay adalah seorang profesor yang juga agak sinting. Dia sangat berambisi menciptakan alat penghilang ingatan."

Utari mengernyit.

"Tidak percaya, kan? Tapi, ini yang saya dengar dari penjaga panti. Memang, yang namanya rumor itu selalu ada." Ia lalu melanjutkan, "Saking terobsesinya profesor itu—yang merupakan ayah kandung Jay, dia sampai rela menjadikan anak-anaknya sendiri sebagai kelinci percobaan. Ketika melakukan uji coba itu kepada Jay, sayangnya, alatnya ternyata belum bekerja secara benar. Akibatnya, Jay menjadi seperti yang kita lihat sekarang ini. Karena terlalu sibuk dengan penelitian-penelitiannya, ia tidak sempat mengurusi Jay. Makanya, dia menyerahkan semuanya kepada pengasuh anak itu dan memutuskan untuk membawa Jay ke panti asuhan."

Utari cukup tercengang dengan cerita yang dikisahkan Pak Jay, meskipun kecengangannya berhenti ketika ia sadar kalau cerita itu terlalu aneh. Tidak mungkin hal seperti itu terjadi di dunia ini.

"Katanya, penelitian-penelitiannya juga didanai oleh pemerintah saat itu—entah untuk apa. Oleh karenanya, kasus Jay tidak pernah selesai karena diduga, profesor itu mendapat perlindungan dari pemerintah saat itu untuk menyukseskan penelitiannya."

"Tapi, kamu tahu tidak Utari? Hal apa yang paling menarik hati saya?"

"Apa?"

"Satu-satunya hal yang diingat Jay adalah wajah ibunya. Ia selalu membuat sketsa dan lukisan yang menggambarkan sosok ibunya, sehingga saya sudah sangat familiar dengan wajah itu. Wajah yang sangat mirip dengan wajah kamu, Utari." Laki-laki itu berhenti berbicara, lalu memandang Utari dengan tatapan kagum.

"Tidakkah kamu merasa itu pertanda, Utari?"

Utari tersenyum, lalu dengan tenang berkata, "tidak, pak. Tak ada tanda apapun. Hal itu hanya kebetulan semata, tidak lebih dan tidak kurang. Kalaupun mau dibilang ini bukan kebetulan, saya pernah mendengar kalau di dunia ini seorang punya tujuh kembaran. Tapi, tetap saja ini adalah kebetulan. Kebetulan diantara saya dan ibunya Jay (yang mungkin adalah salah satu dari kembaran saya), ada Anda, pak."

"Menurut kamu begitu, Utari?"

"Ya. Tidak meleset sedikit pun."

"Jadi?"

"Jadi, sudah jelas. Saya harap bapak mau memenuhi janji bapak—untuk berhenti mengirimi saya bunga atau coklat atau lukisan lagi dan juga tidak lagi menggangu saya."

    people are reading<UTARI>
      Close message
      Advertisement
      You may like
      You can access <East Tale> through any of the following apps you have installed
      5800Coins for Signup,580 Coins daily.
      Update the hottest novels in time! Subscribe to push to read! Accurate recommendation from massive library!
      2 Then Click【Add To Home Screen】
      1Click