《UTARI》Bab 5 - Kopi, Bunga Mawar & Tahi Kucing

Advertisement

SEMENJAK makan malam di malam tahun baru itu, setiap bangun tidur, kepala Utari terasa berat. Gravitasi di kasurnya juga terasa semakin besar. Setiap hari, rasanya ia tidak ingin pagi datang karena pada saat itu, ia merasakan ketidaknyamanan di tubuhnya yang membuatnya tidak ingin bertemu dengan siapapun. Saat itu, hanya ada satu orang yang teringat di ingatannya. Orang yang menghilang bertahun-tahun yang lalu. Ia tidak pernah mengatakan kepada siapapun di keluarganya soal perasaan itu. Perasaan yang mengganggunya selama lebih dari enam tahun karena tak kunjung memudar. Ia pernah mendengar seseorang berkata kalau kehilangan yang tiba-tiba itu selalu menyisakan tanda tanya besar. Apalagi ketika kau tidak tahu apakah orang yang hilang itu masih hidup atau sudah mati. Ya, mereka tidak tahu kalau masalah yang sebenarnya itu ada di dalam diri Utari.

Setiap kali teringat tentang hal itu, Utari selalu berusaha untuk tidak mengacuhkannya. Biasanya, bila perasaan dan bayangan itu tak kunjung hilang, ia pergi ke Rumah Harapan untuk menumpahkan segalanya. Pagi itu, ia teringat kalau ia sudah jarang berkunjung kesana. Mungkin, sudah lebih dari setengah tahun. Dulu, hampir setiap minggu pagi ia pergi ke Rumah Harapan, satu-satunya tempat yang mampu membuatnya merasa diterima. Mungkin, minggu ini ia akan kembali lagi kesana.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Satu pesan dari nomor tak dikenal.

Sebuah pesan yang tidak pernah ia sangka akan sampai di layar ponselnya. Sebuah pesan singkat, padat, tanpa basa-basi.

"Hai Utari! Ini Aksara. Minggu ini ada acara, tidak? Saya mau mengajak bertemu kalau tidak keberatan."

Utari langsung teringat pada senyuman Aksara yang menenangkan hati itu. Utari suka dengan senyuman simetris yang menyisakan celah di setiap ujung bibirnya seperti yang ditunjukkan oleh Aksara, senyum yang lebar.

Utari segera bangun dari tidurnya, lalu bersila di atas kasur. Ia melihat ke arah jendela, belum ada cahaya matahari masuk ke dalam kamarnya. Di luar masih gelap, tapi ia sudah dapat mendengar suara desisan minyak panas yang beradu dengan bahan masakan di dapur. Ia bertanya-tanya darimana Aksara tahu nomor ponselnya. Sudah pasti dari Maya atau Mas Seno. Tapi, kenapa tiba-tiba, ya?

"Hai, Aksara! Sebenarnya sudah ada rencana ingin pergi ke Bojong Gede minggu pagi besok. Kalau mau agak sore, mungkin bisa bertemu." Utari sengaja tidak bertanya mengapa Aksara tiba-tiba ingin mengajaknya bertemu. Entahlah, ia merasa kesannya seperti defensif, padahal Utari sebenarnya juga ingin bertemu Aksara.

"Ke Bojong Gede? Maaf kalau kesannya ingin tahu. Ada urusan apa memang di Bojong Gede?" Tulis Aksara dalam pesannya.

"Tidak penting, kok. Hanya ada acara kumpul-kumpul dengan suatu komunitas. Memang kenapa?" Utari sedikit menyesal karena memberitahukan Aksara kemana ia akan pergi. Ia mengernyit. Tidak lama kemudian, Aksara membalas pesannya lagi.

"Kamu tahu 'Rumah Harapan' di daerah Bojong Gede?"

Utari terdiam sejenak dan berpikir darimana Aksara tahu tentang Rumah Harapan. Padahal, setahu Utari tempat itu tidak banyak diketahui orang banyak, bahkan bisa dibilang tersembunyi. Hanya orang-orang tertentu saja yang tahu tentang keberadaan Rumah Harapan, lagipula semua orang yang ada disana adalah perempuan. Ia belum pernah melihat seorang laki-laki pun berkeliaran di tempat itu. Entah karena memang laki-laki tidak diperkenankan berada disana, atau tempat itu memang khusus diperuntukkan bagi perempuan. Lagipula, lingkungan di Rumah Harapan memang sengaja dibuat tertutup, mereka yang pergi kesana biasanya tidak akan membiarkan orang-orang disekitar mereka tahu karena bagi mereka Rumah Harapan itu seperti tempat pelarian diri dari dunia nyata.

"Ada apa memang dengan 'Rumah Harapan'?" Utari kembali bertanya.

"Tidak apa. Saya ingin mengajak kamu kesana. Saya rasa kamu harus mengenal tempat itu. Beri tahu saya ya bisa bertemu dimana dan jam berapa. Terima kasih sebelumnya, Utari." Balas Aksara tanpa harus menunggu lama. Utari tidak lantas membalasnya karena ia merasa Aksara tidak ingin pesannya barusan dibalas lagi, setidaknya dengan pertanyaan. Keheningan tiba-tiba merayap di sekujur tubuhnya. Pesan dari Aksara terngiang di kepalanya, meskipun hanya berupa sms, Utari dapat membayangkan kalimat itu diucapkan dengan suara berat Aksara. Entah mengapa ia merasa sedih ketika mengingat hal itu, seolah ada yang baru saja menilai dirinya dengan predikat negatif. Di luar kenyataan bahwa ia memang telah bergabung dengan Rumah Harapan, mengapa Aksara berpikir ia harus mengenal tempat itu? Tempat dimana orang-orang yang memiliki masalah berkumpul. Apakah Aksara menilai kalau ia adalah orang yang bermasalah sehingga harus bergabung dengan Rumah Harapan? Tapi, Aksara tidak tahu sedikitpun tentang dirinya. Utari merasa tidak pernah bercerita apapun dalam pertemuan-pertemuan singkat mereka. Mengapa ia bisa berpikir begitu?

Advertisement

PAGI harinya di kantor.

Utari menemukan segelas kopi panas di atas mejanya. Sebuah note tertempel di sisi gelas styrofoam yang dibungkus oleh kardus bergelombang itu.

"Good morning! Have a nice day, beautiful princess – Jay." dengan emoticon *cium*

Alih-alih merasa senang, Utari justru mendengus kesal karena membayangkan orang yang memberikannya kopi tersebut memaju-majukan bibirnya yang hitam.

"Ciee... yang dapat morning coffee dari secret admirer-nya." Shiren yang biasa dipanggil "Sirene" oleh teman-teman kantor tiba-tiba mengintip dari depan kubikal Utari. Hanya sebatas matanya saja yang terlihat. "Secret admirer kok nulis nama." Utari memindahkan gelas kopi itu ke dekat desktop komputer-nya.

"Kamu lagi sakit ya, Utari?" Tanya Sirene sambil mencoba memandang wajah Utari yang menunduk lesu.

"Nggak, kok. Hanya kurang tidur." Jawab Utari singkat.

"Kurang tidur? Kenapa? Ada yang sedang mengganggu pikiran kamu?" Sirene meracau ingin tahu. Seperti biasa, membuat Utari merasa tidak nyaman.

"Iya, tapi bukan tentang bos kamu." Celetuk Utari dengan maksud mencegah Sirene berpikir macam-macam. Namun saat Sirene mulai membuka mulutnya, Utari menyesal telah berkata seperti itu. Kenapa aku harus mengatakan soal itu.

Sirena tersenyum penuh prasangka. Ia langsung mendekatkan tubuhnya ke arah Utari. "Jadi, bukan tentang Pak Jay? Kamu yakin?" Katanya seraya tertawa menggoda Utari.

"Jangan berpikir macam-macam, Shiren. Aku berkata hal yang sesungguhnya." Kata Utari sambil menatap Shiren kesal.

"Baiklah. Santai saja." Sirene melipat kedua tangannya di perutnya. "Tapi, Utari, jadinya bagaimana?" Tanya Sirene lagi.

"Bagaimana apanya?" Utari pura-pura bodoh.

"Ya, bagaimana kesan kamu terhadap Pak Jay, bosku. Kamu kan sudah lama bekerja di sini. Pasti tahu dong Pak Jay itu orangnnya seperti apa. Aku mau dengar sendiri dari kamu." Sejujurnya Utari tidak mengerti apa yang ada dipikiran Sirene sampai harus menanyakannya hal semacam itu sesaat setelah ia sampai di meja kantornya. Perempuan itu seperti sedang menyeberangi sungai namun tidak mengacuhkan jembatan yang melintang di depannya sama sekali. Utari mengernyit.

"Shiren, itu bukan urusan kamu. Sudah ah... kerja sana kerja." Utari menggerak-gerakkan tangannya, mengusir perempuan itu seperti kucing. Ia memang ragu mengatakan yang sebenarnya langsung, bahwa ia tidak pernah menaruh hati pada Pak Jay. Sirene terlihat kecewa, tapi ia justru semakin mendekat ke arah Utari dan membisikkannya sesuatu.

"Utari, beliau mau jadi calon suami kamu kalau kamu mau." Bisikan Sirene barusan terasa seperti bisikan iblis. Menusuk hingga ke relung hatinya. Lalu, perempuan itu tertawa seperti penyihir jahat yang baru saja mengembuskan mantra ke dalam otaknya. Ia lagi-lagi tidak mengerti mengapa perkataan yang diucapkan Sirene kepadanya terasa seperti lompatan yang mengagetkan sekaligus tidak menyenangkan. Utari tahu Sirene adalah tipe orang yang suka ikut campur urusan orang. Sepertinya ia akan lebih memilih mati daripada tidak tahu sama sekali tentang apa yang terjadi dengan orang-orang di sekitarnya—tentu saja dalam arti yang negatif. Utari membayangkan perempuan itu sedang berusaha "menjilat" Pak Jay dan menawarkan diri menjadi mak comblang antara Pak Jay dan dirinya. Namun, entahlah Utari hanya menerka saja. Lagipula, tidak penting untuk tahu apa peran Sirene dalam usaha Pak Jay mendekati dirinya—kalau bisa dibilang usaha.

"Sebaiknya sekarang kamu kembali ke mejamu, Shiren. Aku mau menyelesaikan laporan." Sekali lagi Utari mengusirnya. Lalu, ia pergi sambil tersenyum. Senyuman yang sangat menyebalkan. Pantas saja ia dia panggil "Sirene" karena kehadirannya adalah tanda kalau sesuatu yang tidak beres sedang atau akan terjadi. Bisa juga sebagai tanda kematian, seperti sirene yang ada di mobil jenazah.

Tak lama kemudian, terlihat Pak Jay berjalan menuju mejanya. Utari berusaha menghindari tatapannya, tapi ia mengintip dan dua pasang mata mereka bertemu. Alis dan kumisnya yang tebal dan tidak penuh itu bergerak-gerak. Utari mengalihkan lagi pandangannya dan berharap semoga laki-laki paruh baya itu tidak memanggil namanya. Saat Utari mengalihkan pandangannya lagi, Pak Jay sudah melintasi mejanya dan tiba-tiba bisikan Sirene juga melintasi pikirannya. . Apa maksudnya dengan kalau kamu mau? Ia bergidik.

Advertisement

Utari memejamkan matanya. Sambil tetap duduk di kursi kerjanya, ia menegakkan punggungnya dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas meja. Wajahnya dengan mata yang terpejam itu terlihat seperti orang yang sedang berpikir keras dalam kegelapan. Perlahan-lahan suara orang-orang yang sedang mengobrol, printer yang sedang menyala, dan hentakan suara keyboard itu meredup. Seperti volume suara televisi yang dikecilkan hingga tidak terdengar suara apapun lagi. Ia sedang melakukan sesuatu yang mirip seperti ritual memanggil suara yang sudah lama tidak dilakukannya. Utari memejamkan matanya lebih keras, seolah memaksa sesuatu datang ke dalam pikirannya. Namun, hal yang dipanggilnya itu tidak kunjung datang. Suara itu tidak terdengar di telinga Utari untuk memberikan petunjuk. Orang-orang tidak akan percaya dengan apa yang Utari alami ini. Ya, bila suara-suara itu datang, ia akan memberikannya petunjuk tentang hal yang tidak diketahuinya tentang laki-laki yang ada di dalam list-nya. Lantas ia dapat menuliskan berbagai catatan mengenai laki-laki itu dan bila lelaki itu ketahuan brengsek, ia dapat menambahkan cap berbentu tengkorak dengan tinta hitam. Mungkin sudah satu menit lebih, namun suara itu masih juga belum terdengar di suaranya. Seketika Utari kehilangan fokus. Ia berpikir, mungkin karena hal ini dilakukannya di kantor.

"Utari!" Seseorang memanggil namanya. Azalea.

Utari membuka matanya perlahan dan tidak langsung mengalihkan pandangannya ke arah Azalea yang sedang keheranan melihat tingkahnya. "office yoga lagi?"

Utari melepaskan ketegangan dari punggungnya, dan berlagak meregangkan otot-otot leher dan tangannya. "Seperti yang kamu lihat," katanya. Azalea pernah memergokinya melakukan hal-yang-seperti-ritual itu sekali.

Azalea tertawa sebentar, lalu melanjutkan bicara, "maaf kalau begitu. Pasti aku mengganggumu. Sesekali bolehlah ajari aku office yoga juga supaya nggak stress di kantor."

"Boleh. Tapi, aku tidak tahu banyak teknik." Kata Utari santai.

"Lebih baik tahu sedikit kan daripada tidak tahu sama sekali." Azalea menarik kursi dari depan meja kerjanya ke samping kursi Utari. "Eh, tadi Sirene bilang apa sama kamu?" Azalea melirik ke meja Utari. "Itu dari Pak Jay?"

"Yaa... tentang beliau. Aku juga tidak mengerti, Za. Sirene tiba-tiba mendekatiku. Sepertinya ia sedang berusaha menjodohkanku dengan Pak Jay. Pagi-pagi sudah dapat kejutan begini."

Azalea tersenyum, "kejutan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan?"

"Tentu saja kejutan yang tidak menyenangkan. Kamu pikir aku mau dengan bapak-bapak beristri—Eh, seharusnya dia sudah punya istri, kan?"

"Sepertinya begitu. Tapi, siapa tahu dia sudah cerai dengan istrinya dan merindukan belaian seorang wanita." Azalea mengusap tangan Utari sambil tertawa.

Utari kembali merasa bergidik. Perkataan Sirene kembali terngiang di kepalanya. . Ia tidak berniat mengatakannya pada Azalea. "Hih!" kata Utari seraya mengangkat kedua pundaknya.

"Heh, jangan begitu kamu, Utari. Kualat jadi jatuh cinta setengah mati sama Pak Jay baru tahu rasa kamu." Kata Azalea seraya tertawa. "Tapi, lumayan juga kalau kamu mau dengan Pak Jay, Tari. Dia kan terkenal ramah dan jabatannya juga lumayan. Jadi, kamu nggak perlu pusing-pusing lagi memikirkan ekonomi keluargamu."

"Aku nggak pernah merasa terpaksa kok jadi tulang punggung keluarga, Za. Sudah kewajibanku. Lagipula, memang selalu begitu ya kalau menjadi istri orang? Harus selalu bergantung pada suami, terutama dalam hal ekonomi."

"Kamu ngomong apa sih, Tar? Kelamaan melajang sih kamu." Azalea tertawa kecil. "Ya iyalah! Sudah jadi kewajiban suami menafkahi istri dan anak-anaknya. Semakin kaya suami kamu, kamu juga harusnya semakin banyak kecipratan. Kalau suami kamu tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga kamu, dalam arti menelantarkan kamu. Ya, kamu bisa menuntut."

"Bagaimana kalau seorang istri tidak bisa memenuhi kebutuhan suaminya?"

"Kebutuhan biologis maksud kamu?"

Utari mengangguk. "Salah satunya."

"Buat apa mereka menuntut? Menyusahkan diri sendiri dan orang lain saja. Laki-laki kan bisa kawin lagi—secara sepihak ataupun minta izin dulu. Lelaki itu tidak rumit, Utari. Kalau mereka bisa mendapatkan cara yang lebih mudah, mereka akan melakukannya asalkan kebutuhan mereka terpenuhi."

Utari tidak berkomentar. Ia hanya melihat Azalea dengan tatapan lebih tajam yang sedikit menunjukkan tanda tanya. Laki-laki kan bisa kawin lagi, begitu kata Azalea. Dengan kata lain ia mengartikan kalau perempuan tidak bisa atau tidak boleh menikah lebih dari satu kali. Secara budaya yang dikatakan Azalea memang ada benarnya juga. Di negara ini hal seperti itu sangat tabu—perempuan yang memiliki suami lebih dari satu orang. Tapi, secara praktis, sebenarnya perempuan bisa-bisa saja kawin lagi. Utari jadi berpikir, bagaimana kalau ternyata pada praktiknya, lebih banyak perempuan yang "kawin" lagi dibandingkan laki-laki. Tapi, karena hal itu terlalu dianggap tidak pantas dilakukan, maka sebisa mungkin mereka yang melakukannya akan menyembunyikan hal itu. Sebab kalau ketahuan, hukumannya sangat berat.

"Makanya, cepat-cepat menikah deh kamu, Utari. Nanti kamu juga akan merasakan sendiri seperti apa. Tidak semua laki-laki seperti yang aku katakan barusan. Ada juga yang setia dan benar-benar tulus menjalankan perannya sebagai seorang suami." Azalea mendorong kursinya sehingga ia menjauh dari kursi Utari dan berhenti tepat di depan mejanya—di sebelah meja Utari.

"Aneh ya, kita pagi-pagi ngomongin hal seperti ini. Gara-gara pertanyaan kamu tadi itu, Utari!" Kata Azalea sambil tertawa, ia mengalihkan perhatian ke meja kerjanya yang rapi dan homey itu. Azalea suka sekali tertawa, batin Utari saat melihat rekan kerjanya itu dari meja kerjanya.

Hampir setiap hari hujan mengguyur ibu kota di awal tahun itu. Dari tempat duduknya, Utari melihat ke arah jendela yang letaknya tidak terlalu jauh dari meja kerjanya. Awan kelabu besar berarakan di luar jendela. Sebagian wilayah di pusat Jakarta sudah tertutup hitam. Utari jarang memperhatikan keadaan langit yang menaungi kota ini. Sekali-sekalinya ia tak sengaja memperhatikannya, keadaannya pasti selalu seperti ini. Lagi-lagi ia membayangan awan mendung itu adalah tanda terbukanya lubang di langit yang dapat menghisap orang yang mampu membuatnya merasa nyaman. Tiba-tiba ia teringat Abimanyu. Dalam bayangannya, laki-laki itu disinari cahaya yang keluar dari lubang di langit yang diselubungi oleh awan hitam itu. Sudah lama sekali laki-laki itu terhisap ke dalam lubang langit yang membawanya entah kemana. Utari melihat cahaya menyala-nyala diantara awan kelabu itu. Kilat menyambar-nyambar yang disaksikan Utari membuatnya kembali bergidik—entah sudah berapa kali ia bergidik hari itu. Sedetik kemudian, suara petir menggelegar dan membuat kaca jendela gedung perkantoran itu bergetar.

Ponselnya berbunyi. Satu pesan masuk, dari Aksara. Sebelum ia mengambil ponselnya, Utari teringat kalau ia juga pernah membayangkan Aksara terhisap ke dalam lubang di langit itu. Tapi ia kembali, batin Utari.

"Utari, Minggu besok saya tunggu kamu di Stasiun Bojong Gede jam 8 pagi, ya." Bisik pesan itu dengan suara Aksara yang berat. Laki-laki itu menyungging senyum ke arah Utari.

"Ok!" Balas Utari singkat, hampir tanpa jeda usai membaca pesan dari Aksara.

TIBA-TIBA Januari sudah berlalu. Dalam benak Utari, waktu berlalu seperti kereta-kereta kuda yang beranjak dari kubu Pandawa dan Kurawa di Padang Kurusethra yang hendak memulai peperangan Bharatayudha. Bergemuruh dan begitu berhawa nafsu untuk membunuh. Tiba-tiba Resi Seta, pemimpin kubu Pandawa itu telah mati. Seperti halnya Utari dalam kisah Mahabharata, hatinya gundah menunggu babak-babak berikutnya. Kisah itu selalu mengingatkannya pada Abimanyu, baik yang ada di dalam cerita ataupun yang ada dunia nyata, dunianya. Ya, setiap mengingat kisah perang Bharatayudha, ia teringat akan laki-laki itu.

Nama laki-laki itu Lim Siaw Lung atau biasa dipanggil Alung. Selain itu, sebenarnya ia punya panggilan lain, yaitu "cina" dan hampir semua orang mengatakan kata itu diiringi dengan tawa yang tidak terlalu menyenangkan untuk didengar. Namun, sepengetahuan Utari, Alung tidak pernah bermasalah dengan julukan itu. Utari benar-benar mengenalnya tepat sepuluh tahun yang lalu. Di awal bulan Februari, tahun 1990. Alung adalah kakak kelas Utari dan ketua osis saat ia masih duduk di bangku SMA. Utari memutuskan untuk menjadi anggota osis saat ia melihat Alung memberikan sambutan pada masa orientasi siswa baru di sekolahnya. Kali pertama melihat Alung, Utari tahu bukan hanya dia yang terkagum oleh pembawaan Alung yang tenang dan berwibawa. Satu tahun kemudian, jarak Utari dan Alung bukan lagi sekadar senior-junior. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Utari merasakan apa yang Galih dan Ratna rasakan dalam Film "Gita Cinta Dari SMA" yang berkejaran sambil tertawa malu di taman. Utari teringat soundtrack film itu yang sering didendangkannya kala Alung mulai dekat dengan dirinya. Terkadang, ia mengganti nama "Galih dan Ratna" dengan "Alung dan Utari" dalam lagu itu dan selalu terdengar aneh.

Dua sejoli menjalin cinta. Cinta bersemi dari SMA

Galih dan Ratna mengikat janji. Janji setia, setia abadi

Oh Galih, oh Ratna... Cintamu abadi

Wahai Galih, duhai Ratna, tiada petaka merenggut kasihmu.

    people are reading<UTARI>
      Close message
      Advertisement
      You may like
      You can access <East Tale> through any of the following apps you have installed
      5800Coins for Signup,580 Coins daily.
      Update the hottest novels in time! Subscribe to push to read! Accurate recommendation from massive library!
      2 Then Click【Add To Home Screen】
      1Click