《UTARI》Bab 4 - Menjadi Opsi

Advertisement

KEESOKAN harinya, saat hendak pergi ke kantor, Utari tidak melihat Laras berkeliaran di rumah. Kata ibu ia berangkat ke tempat kerja pagi-pagi sekali, sebelum subuh. Utari duduk di bangku ruang tamunya sambil menyeruput teh manis hangat. Ibu membantu Utami mencari buku lembar kerja siswa (LKS) miliknya. Tak lama kemudian, Utami pamit pergi ke sekolah setelah seorang laki-laki datang menjemput dengan motor.

Kepala Utari masih terasa sedikit berat. Tidurnya tidak nyenyak semalam. Ia bangun lebih dari tiga kali dan setiap kembali tidur, Utari pasti memimpikan hal yang tidak jelas dan melelahkan hingga membuatnya bersimbah keringat.

Ibu menuangkan teh melati hangat ke dalam gelas yang disiapkannya di dalam poci dari tanah liat setiap pagi. Ia lalu menghampiri Utari yang duduk sendirian di ruang tamu. Otot leher Utari menegang. Tulang punggungnya meregang. Ia terlihat seperti orang yang hendak disidang karena ketahuan memberikan contekan kepada temannya saat ujian. Seperti yang pernah dialaminya bertahun-tahun yang lalu, saat masih duduk di bangku sekolah dasar.

Ibu menyeruput teh melatinya dengan gerakan anggun, seperti biasanya. Utari hanya diam, menunggu ibunya berbicara.

"Bagaimana? Masih pusing?"

Utari mengangguk. "Masih sedikit. Tapi, sudah jauh lebih mendingan dari semalam. Terlalu sering migraine akhir-akhir ini." Kata-katanya tidak sebebas biasanya, seperti ada yang mencekat tenggorokkannya.

Ibu mendengus, lalu meletakkan cangkir yang ada di tangannya ke atas meja. "Kamu itu terlalu banyak pikiran, Utari. Jadinya pusing terus."

"Hmm... Mungkin." Utari tidak minat mendebat.

"Obatnya sudah diminum, kan?"

"Iya. Sudah kok, bu."

"Utari, ibu terpaksa harus membahas ini denganmu pagi-pagi begini." Utari mendengarkan. "Bagaimana itu? Adikmu sudah minta menikah dengan Ridwan. Apapun alasannya, ibu nggak ingin kamu 'dilangkahi' lagi."

"Bu, aku tidak pernah ingin menjadi beban untuk adik-adik. Utari tidak pernah minta apa-apa dari ibu, tidak juga minta tidak 'dilangkahi'—walaupun pasti akan aneh kalau aku meminta hal semacam itu. Apa sulitnya sih bu merestui rencana pernikahan Laras?"

"Utari, ibu ini memikirkan nasib kamu. Memangnya kamu mau jodohmu semakin jauh setelah'dilangkahi' oleh adikmu untuk kedua kalinya?"

Apa hubungannya? Walau Utari menikah beberapa tahun lagi pun, aku belum tentu akan menikah lebih cepat darinya. Begitu batin Utari.

"Bu... sudah lah, bu. Utari belum mau menikah sekarang. Lagi pula belum ada calonnya. Kasihan Laras kalau harus menunggu Utari. Urusan jodoh, Utari percayakan saja sama Tuhan."

"Utari... Utari... usia kamu itu berapa? Mbok yo eling-o... Kowe iku pantes-e wes nduwe anak siji. Mau nunggu sampai kapan? Sampai adikmu lulus kuliah?"

"Ya nggak tahu sampai kapan. Tapi, nggak akan selama itu juga, bu. Tenang saja." Jawab Utari santai, tak melihat mata ibu.

"Piye carane? Bagaimana caranya ibu bisa tenang sementara kamu saja tidak bisa memenuhi janji kamu setahun yang lalu. Ingat tidak kamu, Utari?"

Advertisement

LEBIH dari setahun yang lalu, di waktu yang sama, saat mereka sekeluarga sedang makan malam bersama. Ratri duduk di sampingnya. Wajahnya merona sejak pertama kali ia muncul dari anak-anak tangga menuju kamarnya. Senyumnya mengembang disetiap gerak-geriknya yang lembut dan selalu nampak elegan. Ia tertunduk menikmati makan malamnya sambil sesekali menyelipkan rambutnya hitam lurusnya ke belakang telinga. Setiap orang di meja makan itu sengaja tidak bertanya, mereka sibuk memperhatikan Ratri yang tak henti-hentinya melengkungkan senyuman, bahkan saat ia mengunyah makanannya sekalipun. Laras menyilangkan telunjuknya di dahi dan berkata "gila" tanpa suara kepada Utami yang langsung cekikikan. Tak lama kemudian, Ratri berdeham. Semua orang siap mendengarkan pengumuman yang akan disampaikannya.

"Mas Haris mau melamarku. Lusa dia akan menemui ibu dan bapak. Paling lama, dua bulan lagi kami menikah." Katanya riang. Utami berdiri girang dan segera memeluk kakak keduanya itu. "Waah! Selamat ya, mbak... Selamaat!"

Sementara yang lainnya terpaku. Gurat ragu muncul, meskipun dibalut oleh senyum dan tawa yang nampak terpaksa.

Malamnya perdebatan panjang terjadi. Ibu tidak mau merestui rencana yang tiba-tiba itu. Bapak ikut membela keyakinan dan keinginan ibu yang mendambakan anak-anaknya menikah secara urut, runut. Utari yang tidak menentang sedikitpun keinginan adiknya itu justru duduk di puncak perasaan bersalah. Ia bahkan tak sanggup memandang mata Ratri. Ia takut dicap terkutuk dan dikutuk sehingga kutukan di dalam dirinya akan terasa berkali-kali lipat. Lalu, Utari dan Ratri bersinergi untuk memberikan penjelasan kepada ibu dan meyakinkannya kalau ia akan mengenalkan seorang laki-laki sebagai calon suami dalam waktu dekat, tidak akan lama setelah pernikahan Utari dilaksanakan. Nihil. Janji yang hanya diucapkan adalah ketidakpastian yang paling nyata. Ibu bersikukuh pada pendiriannya—tidak akan mengizinkan Ratri 'melangkahi' kakaknya. Lalu, Ratri membisikkan sesuatu pada Utari yang putus asa. Rasanya tak mungkin meminta orang lain mencintainya dan menjadi calon suaminya. Meskipun sangat ingin, ia harus mengamini kalau dirinya adalah perempuan. Berperan pasif dalam percintaan. Utari terkejut mendengar usulan dari adiknya, tapi ia tak dapat menyangkal kalau itu mungkin bisa jadi satu-satunya cara yang paling mungkin untuk dilakukan. Sesaat itu juga, ia sadar dibalik keluguan yang ditunjukkannya, Ratri adalah seorang pengarang yang piawai. Sandiwara. Utari paham ini adalah cara Ratri untuk memenangkan hati orang tuanya. Tapi, ia sekarang lebih paham lagi kalau untuk memperoleh kemenangan, seseorang rela berkhianat, bahkan dengan orangtuanya sendiri. Utari menitihkan air mata setelah sholat dua rakaat saat semua orang telah terlelap di malam harinya. Minta ampun.

Seorang laki-laki tampan berpakaian rapi. Kemeja, celana bahan yang licin, pantofel, jam tangan mahal, dan rambut yang disisir rapi. Perempuan manapun akan takluk begitu melihatnya. Laki-laki itu bernama Edwin, teman lama Ratri saat ia masih duduk dibangku SMA. Mereka sebenarnya sudah dekat semenjak beberapa bulan terakhir setelah pertemuan yang terduga di sebuah pusat perbelanjaan di daerah Thamrin. Utari tidak pernah menceritakan kedekatannya dengan Edwin karena ia merasa belum yakin dengan laki-laki itu.

Advertisement

"Makanya, Utari bilang ibu tenang saja. Sebab Utari sebenarnya sudah punya calon. Menunggu waktu yang tepat saja." Begitu kata Utari kepada ibunya sehari sebelum kedatangan Edwin untuk pertama kali ke rumahnya. Saat melihat kelegaan tergambar di wajah ibu, Utari merasa semakin bersalah.

"Memangnya Edwin itu orangnya seperti apa?"

"Dia orangnya baik, taat beribadah, pekerja keras, dan yang terpenting, bu—ini yang paling aku suka darinya—dia sangat patuh kepada kedua orang tuanya." Utari menjelaskannya sepenuh hati. Ibu tersenyum-senyum bahagia.

Tidak pernah Utari merasa secemas itu. Jantungnya berdegup kencang saat ia melihat laki-laki yang baru dua kali bertatapan muka dengannya. Mungkin ini adalah efek akumulasi dari sebuah kekaguman dan kebohongan yang dirancang sedemikian rupa. Ketika kau telah memperhitungkan segala sesuatunya dengan begitu cermat, di satu titik kau akan merasakan kekhawatiran yang lebih besar dibandingkan ketika kau membiarkan sesuatu terjadi begitu saja. Saat ia melangkah beriringan dengan lelaki itu, ia takut menghancurkan semua rencana—atau kebohongan—yang telah dirancang dan dijalaninya dengan adiknya. Ratri mengintip dari dalam rumah, lalu mengangguk memberikan kode pada Utari dan Edwin. Hanya dia, Ratri dan Tuhan yang tahu kalau kejadian yang akan terjadi sebentar lagi di ruang tamu rumahnya hanya rekaan. Untung saja ini bukan pertemuan formal, meskipun dandanan Edwin tidak menunjukkan demikian. Tapi, tak ada salahnya, ibu dan bapak selalu memberikan nilai lebih untuk kesan pertama. Kelak mereka akan tahu kalau hal itu terkadang berbuah kekecewaan.

Saat Edwin pulang, ibu mendekati Utari. Ia mengatakan kesan-kesannya tentang Edwin. Hampir semuanya positif, kecuali bagian cara lelaki itu bicara. Ibu tidak terlalu suka dengan nada dan volume suara Edwin yang tinggi, seperti orang sedang berteriak. Mengesankan kalau laki-laki itu begitu angkuh. Utari menjelaskan kalau caranya bicara memang seperti itu—percaya diri. Tapi, ibu lebih tahu apa yang membuat cara bicara Edwin terdengar tidak biasa di telinganya. Ratri tidak pernah memberitahu Utari kalau nama belakang Edwin adalah Rajaguguk dan ia besar di daerah Tapanuli Selatan. Hanya karena alasan itu, ibu ragu. Anehnya, keraguan ibu itu justru membuat Utari merasa sangat lega dan merasa untung. Kalau tidak, ia akan benci. Malam harinya, Utari pergi ke kamar Ratri dan bilang kalau itu adalah untuk terakhir kalinya ia melakukan hal gila seperti ini. Ratri tertawa terpingkal, keanggunan yang biasa dibawanya kemana-mana memudar. Ia bahkan tidak menyadari hal itu karena terlalu bahagia karena rencananya berjalan melebihi ekspektasinya. Kelak, Utari akan berada di jalan buntu yang membuatnya terpaksa harus ingkar pada dirinya sendiri dan mengulangi lagi apa yang pernah ia anggap sebagai suatu kesalahan.

Ibu memang tak pernah lagi bertanya soal urusan jodoh kepada Utari semenjak saat itu. Mungkin karena menurut ibu, Utari sudah pernah berusaha dan yang menggagalkan usaha anaknya itu justru dirinya sendiri. Maka, keinginan ibu melihat anak sulungnya digandeng atau menggandeng seorang calon suami, ibarat Kumbakarna yang tertidur di Bukit Panglebur Gangsa. Raksasa itu bertapa hingga pancainderanya padam, begitu juga dengan ibu yang seolah melupakan keinginannya itu. Ia seakan telah menemukan kedamaian yang tertanam di dalam batinnya yang pada suatu hari diguncang oleh seseorang yang begitu dikenalnya, Togog Tejamantri. Dalam kehidupan utari, Togog itu adalah kenginan Laras untuk menikah. Dasar togog... togog! Kau tahu kan bagaimana rasanya kalau tidurmu yang tenang itu tibatiba ada yang mengganggu. Sama seperti Kumbakarna yang mengamuk, keinginan ibu saat ini menjadi seratus kali lebih kuat sehingga apapun yang dititahkannya semakin bersifat mutlak, tidak dapat diganggu gugat. Bila Kumbakarna melakukannya untuk tanah airnya, Alengka. Keinginan ibu hanyalah bentuk dari kepeduliannya pada Utari, darah dagingnya.

DUA hari kemudian, Ridwan datang ke rumah Utari dengan menyampaikan maksudnya untuk menikahi Laras. Ibu menyetujui rencana itu, namun meminta Ridwan untuk menunda pernikahannya. Namun, Ridwan menolaknya secara halus. Alasannya, ia akan bekerja di Rusia untuk waktu yang lama awal tahun depan.

"Saya khawatir tidak dapat memenuhi janji saya kalau terlalu lama jauh dari Laras." Kata Ridwan saat itu sambil menggosok-gosokkan telapak tangannya. "Saya belum tentu bisa kembali ke tanah air dalam waktu dua sampai tiga tahun. Saya hanya punya jatah kembali kesini setelah lima tahun bekerja disana. Saya sih berharapnya Laras bisa menemani saya disana."

Mendengar penjelasan Ridwan, ibu bergeming. Lama terdiam, ibu beringsut dan 'mengusir' Ridwan secara halus dengan masuk ke dalam kamar—meninggalkan Laras dan Ridwan di ruang tamu rumahnya.

Laras semakin mendesak ibu ketika Ridwan sudah kembali dari rumah. Sepertinya ada hal yang tidak disampaikan Ridwan saat bertemu dengan ibu. Laras bilang dia harus memutuskan segera. Bila tidak bisa, mungkin kesempatan Laras untuk menikah dengan Ridwan tidak akan akan kesampaian. Itu yang dikhawatirkan oleh Laras. Tapi, apakah Ridwan juga berpikiran hal yang sama? Tanya Utari dalam hati. Kalau iya, laki-laki itu tidak akan menjadikan adiknya sebagai opsi, bukan?

Entahlah.

Utari sudah terlalu lelah ketika ibu mengajaknya bicara (lagi) tentang Laras dan Ridwan saat ia baru saja sampai di rumah dari kantor. Ia hanya bersikap seolah-olah menyimak dan mengisyaratkan telah muak.

"Wes... Terserah kamu. Mau dengar perkataan ibu atau tidak. Yang pasti, ibu ndak akan berubah pikiran. Kecuali kamu mau diruwat."

Utari tak menanggapi. Tiba-tiba ia merasakan ketidakadilan. Sebagaimana ia pernah begitu iri dengan adiknya yang tiba-tiba mencuri perhatian orang-orang darinya. Mengapa banyak hal yang harus dikorbankannya. Ia ingin tantrum agar ibu mau mengerti kalau ia sebenarnya telah lelah, terlalu lelah akan hal yang tidak pernah diungkapkannya selama ini. Lalu, ia teringat dengan perkataan orang tua yang ditemuinya di dalam bus beberapa waktu yang lalu.

"Jangan lari dari masalah."

    people are reading<UTARI>
      Close message
      Advertisement
      You may like
      You can access <East Tale> through any of the following apps you have installed
      5800Coins for Signup,580 Coins daily.
      Update the hottest novels in time! Subscribe to push to read! Accurate recommendation from massive library!
      2 Then Click【Add To Home Screen】
      1Click