《UTARI》Bab 2 - Senyuman yang Menenangkan Hati
Advertisement
UTARI berdiri di depan kaca yang menggantung di dalam kamar mandinya yang tidak terlalu luas. Ia memandangi pantulan bayangannya sendiri. Dandanan yang tidak biasa, namun begitu serasi dengan profil wajahnya yang kata orang "kalem" itu. Ia kini berubah menjadi putri jawa yang sesungguhnya. Kebaya merah muda yang membentuk tubuhnya dengan sempurna, kain batik yang membalut kakinya, konde, dan make up yang lebih tebal dari biasanya membuat Utari tampak dua kali lebih anggun. Namun, ia melihat bayangan tersebut dengan tatapan kosong, seperti seorang perempuang yang terdengar muak mendengar penjelasan pacarnya yang datang terlambat.
Ia mengeluarkan sebungkus rokok dan sebuah korek api dari balik stagennya yang tidak begitu ketat. Setelah ibu selesai mendandaninya, Utari diam-diam memasukkan benda tersebut disana dan membawanya kedalam kamar mandi. Dari dalam kamar mandi tidak terdengar suara apapun, hanya ada suara tetesan air dari keran yang membentur air di dalam bak mandi. Utari mengambil sebatang rokok dan menyelipkannya di bibirnya. Suara geretan korek api terdengar lebih keras dari biasanya, Utari merasa indera pendengarannya lebih tajam dua kali lipat di dalam ruangan itu. Belum sempat Utari menyulut rokoknya, ia melirik ke sekeliling. Kepalanya mendongak kesana kemari, lalu melepaskan ibu jarinya dari pemantik gas korek api. Bukan tempat yang kondusif, pikirnya. Ia mengambil rokok yang ada dimulutnya dan membuangnya kedalam kloset, lalu menyiramnya dengan bergayung-gayung air.
"Arrghh..." erangnya lirih. Utari selalu membenci saat dimana ia menemukan dirinya hendak merokok lagi, lalu bertanya-tanya sejak kapan ia menjadi perokok seperti itu dan tidak berhasil menemukan jawabannya. Keesokan harinya, ia akan merokok lagi, sendirian. Menyesal lagi.
"Utari!" suara ibu terdengar mendekat. Pintu kamar mandi diketuknya. "Ngapain kamu di dalam? Ayo kita berangkat!"
Utari tidak menjawab dan segera keluar dari kamar mandi. Saat itu ia menemukan ibu dengan wajah herannya tepat di depan pintu kamar mandi. Samar-sama terdengar suara pagar rumah mereka digeser dan dilanjutkan dengan suara laki-laki memberi salam.
Utari yang pandangannya sempat teralihkan oleh suara laki-laki itu, langsung menatap ibunya.
"Ayo cepat! Om Rusli sudah menjemput." Kata ibu sambil berlalu. Utari membalikkan badannya dan melihat ke arah kaca. Di sana terlihat seorang gadis berkebaya merah muda yang sedang tidak bahagia, batinnya.
"Wah, cantik sekali kamu, Utari. Sini-sini salim dulu sama om." Wajah Om Rusli sumringah saat Utari menampakkan dirinya di ruang tamu. Utari dengan langkah kecil (karena terhalang oleh kain jarik yang dikenakannya) pergi menghampiri Om Rusli. "Aduh, ayune..." Kata Om Rusli sambil memegang punggung Utari yang menunduk saat bersalaman dengannya. Utari hanya tersenyum.
Tak lama kemudian, Laras dan Utami turun dari lantai atas rumahnya. Mereka mengenakan pakaian dan dandanan serupa dengan Utari, namun Laras memilih untuk tidak mengenakan konde dan membiarkan rambutnya yang berwarna kecoklatan—habis dicat—itu terurai. Wajah Om Rusli dua kali lipat lebih sumringah begitu melihat Laras. Ya, lelaki manapun pasti akan terpana melihat adik kedua Utari itu. Diantara ketiga saudaranya, Laras-lah yang kecantikannya seringkali dielu-elukan. Sementara itu, Utami yang masih berusia 16 tahun sepertinya juga akan mewarisi pesona Laras bila tubuhnya sudah lebih berkembang kelak. Adik Utari yang paling kecil itu terlihat sekali mengagumi Laras yang selalu dapat memesona para lelaki. Bila sedang liburan, biasanya Laras dan Utami akan menghabiskan waktu di kamar untuk berlatih make-up atau melakukan perawatan diri bersama.
"Ayu-ayune keponakanku... Sudah pada punya pacar belum? Pacar-pacarnya diajak toh?" Tanya Om Rusli saat Laras dan Utami bergantian bersalaman dengannya.
Advertisement
"Ayo, sudah... Nanti kita terlambat. Kok malah salam-salaman kayak lebaran saja. Wong nanti disana juga pada salaman." Kata ibu dari teras rumah sambil menenteng handbag-nya yang berwarna merah hati.
"Tahu begitu tadi aku ajak Fadhli juga, mbak." Bisik Utami pada Laras. "Mas Ridwan mana?"
"Suruh menyusul saja. Ah, Ridwan sedang di luar kota katanya jadi nggak bisa datang." Bisik Laras pada Utami.
Utari pura-pura tidak mendengar percakapan itu. Sambil berjalan menggiring keluarganya dari belakang, ia melihat ke langit pagi itu. Awan mendung menaungi daerah rumah mereka. Mendung yang pekat. Setetes air dari langit jatuh ke kelopak mata sebelah kanan Utari. Ia merasa kedutan dibagian itu. Tak lama kemudian, tetesan-tetesan air dari langit itu semakin banyak mengenai tubuhnya. "Hujan!" Setu Utari. Dengan cepat tetesan air itu turun keroyokan, membuat keempat perempuan yang sedang mengenakan kebaya merah muda dan jarik itu kelimpungan lantaran harus berlari dengan hak tinggi.
Akhirnya mereka hampir sampai di gedung serbaguna yang biasa digunakan untuk berbagai acara. Hujan belum juga reda saat mereka melewati janur kuning yang melengkung di depan gerbang gedung serbaguna. Ada tulisan "Maya & Seno" di janur kuning itu. Seno adalah sepupu Utari, anak dari pakde Utari dari almarhum bapak. Mereka cukup dekat sejak kecil, sehingga Utari tidak dapat menolak untuk hadir ke pernikahannya. Seno sengaja menghubungi Utari dua bulan yang lalu dan memohon kepadanya untuk memastikan ia datang ke pernikahannya yang hampir batal itu. Setengah tahun yang lalu, menjelang hari lamaran Seno dan Maya, beberapa tetua keluarga menentang rencana tesebut. Alasannya karena masalah weton. Seno lahir Senin Pahing, sementara calonnya lahir Jumat Wage. Ibu bilang itu geyengan—pahing ketemu wage.
"Kalau menurut kepercayaan orangtua, pasangan yang punya weton seperti itu pernikahannya nggak akan langgeng. Selalu geyeng—goyang." Begitu penjelasan ibu.
Syukurlah, pendapat itu bisa dilunakkan dengan kegigihan Seno dan Maya dalam menjelaskan keinginan mereka yang kuat untuk menikah. Sebelum acara ramalan dilaksanakan, orangtua Seno membuat sesajen yang diletakkan di kamar tidur anaknya. Terakhir diketahui kalau sesajen serupa juga ada di kamar Maya—entah siapa yang meletakkannya. Seno tidak tahu-menahu soal ritual itu. Lagipula, ia tak peduli asalkan tetap dapat menikah dengan perempuan yang sudah menjadi kekasihnya sejak dua tahun yang lalu. Bagi Seno, belajar mencintai Maya sangatlah sulit. Oleh karena itu, ia tidak ingin melepaskannya begitu saja dengan alasan yang tidak bisa diterima oleh logikanya.
Utari adalah orang yang mendorong Seno untuk menerima Maya dua tahun yang lalu. Meskipun tidak begitu mengenal Maya, Utari tahu perempuan itu begitu mencintai Seno lebih dari apapun. Cinta Maya pada Seno tidak pernah padam sejak mereka sama-sama duduk di bangku SMA. Pengetahuan itu didapatkan Utari saat mereka bertiga—ia, Seno dan Maya—berada di situasi yang bisa dikatakan cukup rumit. Pendek cerita, Utari adalah cinta pertama Seno sejak ia kecil. Satu-satunya cara Utari untuk menggugah Seno untuk melupakannya adalah dengan mendekatkan sepupunya itu dengan gadis lain. Oleh karenanya, Utari juga merasakan ketidakrelaan ketika keluarga mereka sendiri berusaha untuk menggagalkan rencana pernikahan Seno dan Maya. Saat itu, Utari meminta Seno untuk berpuasa dan bersedekah.
"Semoga Tuhan memudahkan urusan kalian berdua ya, Mas." Kata Utari di ujung percakapan mereka via telepon kala itu. Dua minggu kemudian, lamaran mereka pun dilaksanakan.
UTARI memasang senyum, lalu keluar dari mobil Om Rusli. Beberapa keluarga dan kerabat menyambut mereka di depan pintu gedung yang dihiasi dengan gapura dari bambu yang dihiasi bunga-bunga berwarna merah muda. Tamu-tamu belum banyak yang hadir. Sejauh mata memandang, Utari lebih banyak melihat para perempuan berkebaya dengan warna dan corak serupa dengan yang dikenakannya. Diantara mereka ada yang dikenalnya, tapi lebih banyak yang tidak dikenalinya—mungkin karena bercampur dengan pihak dari Keluarga Maya. Meskipun ia berada di antara orang-orang yang masih satu darah dengannya, ia merasa asing. Senyuman yang merekah di wajahnya saat itu lebih karena alasan formalitas. Orang-orang yang menyapanya dan membalas senyumnya itu juga mungkin hanya karena alasan serupa, pikir Utari.
Advertisement
"Utari!" Seorang laki-laki berpakaian adat jawa lengkap—beskap berwarna merah hati, kain jarik solo, blangkon, selop, dan keris—melambaikan tangan ke arahnya. Ia sedang berdiri di depan pelamin setelah mengatur letak meja yang akan digunakan untuk akad nikah Seno dan Maya. Utari mengernyitkan dahinya, berusaha mengingat-ingat siapa lelaki itu.
Utari tidak beranjak dari duduknya dan menunggu lelaki itu yang sedang berjalan mendekat ke arahnya. Lelaki tak berhenti tersenyum, Utari berusaha mengingat-ingat senyuman itu. Biasanya, ia bisa dengan mudah mengingat seseorang dari caranya tersenyum. Baginya, setiap orang punya cara senyum yang unik. Ia ingat senyuman itu!
"Aksara, ya?" Tanya Utari seraya berdiri dari duduknya.
"Iya, kamu pasti lupa ya."
"Sudah lama sekali! Lagipula biasanya pakai kacamata, kan? Eh, tapi kamu ngapain disini?"
Aksara mengembangkan senyumnya. Utari tidak mengerti mengapa ia bisa lupa dengan senyuman Aksara yang begitu khas dan melegakan hati siapapun yang melihatnya. Mungkin ia sudah harus memakai kacamata.
"Saya disuruh pakai softlens sama Maya. Katanya biar nggak kelihatan cupu."
Utari melongok, "jadi, kamu siapanya Maya?"
Aksara tertawa lagi. "Ini memang kebetulan yang lucu, sih. Aku juga kaget waktu pertama kali tahu kamu adalah sepupunya Seno." Tawanya berhenti. "Aku sepupunya Maya, Tari."
Utari tersenyum kecil. Tak lama kemudian, MC acara adat pernikahan Maya dan Seno memanggil panitia acara—termasuk keluarga—untuk berkumpul karena prosesi akad nikah akan segera dimulai. Prosesi akad nikah berlangsung dengan lancar. Sepanjang acara, Aksara duduk di samping Utari. Seno melirik ke arah Utari sambil mengacungkan ibu jari kanannya saat berjalan menuju meja akad nikah. Prosesi akad nikah berjalan dengan lancar. Seno dan Maya sudah resmi menjadi pasangan suami-istri. Bulu kuduk Utari berdiri ketika mendengar Seno mengucapkan ijab kabul dengan lancar dan lantang. Acara dilanjutkan upacara panggih dan injak telur. Maya membersihkan kaki Seno dengan air kembang tujuh rupa yang ditaruh di wadah logam berwarna emas. Utari memang hampir tidak pernah suka menghadiri suatu acara pernikahan. Namun, rangkaian prosesi yang baru dilihatnya itu selalu bisa membuat bulu kuduknya merinding.
Tidak seperti biasanya, Utari merasa ada yang berbeda di pesta pernikahan kali ini. Ya, selain karena ini adalah pesta pernikahan sepupunya sendiri, atau lebih tepatnya sepupu yang pernah terlibat affair dengannya selama bertahun-tahun. Orang-orang di keluarganya, baik yang dekat maupun jauh, masih secara jelas menunjukkan kekagumannya pada Laras. Pertanyaan yang biasa menghujaninya saat sedang berada di acara kumpul keluarga saat itu hanya sesekali didengarnya. Kebanyakan dari mereka ada yang sengaja membuat gara-gara dengan Utari hanya menunjukkan senyum menggoda ke arahnya. Utari mengernyit, lalu menyadari bahwa semua itu karena ada Aksara disampingnya.
"Mbak Utari, itu pacarnya, ya? Wah, masih saudara sama Mbak Maya. Kebetulan sekali ya. Bagus lah kalau begitu. Jangan lama-lama pacarannya." Kata seorang perempuan paruh baya bertubuh sintal yang sibuk memain-mainkan selendang yang menempel di pundak kirinya. Dia adalah saudara jauh ibu. Istri dari sepupu ibu Utari.
Aksara dan Utari saling menatap. Utari menahan tawa, sekaligus merasa malu, sekaligus merasa bersyukur. Rasanya baru kali ini Utari tidak keberatan disebut sebagai kekasih seseorang yang bukan kekasihnya yang sesungguhnya. Ibu Utari sering sengaja mengenalkan Utari dengan laki-laki, anak dari temannya atau saudara jauhnya. Tapi, semua laki-laki itu ditolak oleh Utari, secara halus. Contohnya adalah Damar, anak laki-laki dari sahabat ibunya yang sejak dua tahun yang lalu coba dijodohkan dengannya. Namun, Utari selalu menghindar. Lagipula, Damar tak pernah konsisten muncul dalam kehidupannya. Terkadang, ia bisa datang hampir setiap minggu hanya untuk membawakan makanan dan mengobrol sebentar dengan Utari yang selalu punya alasan untuk menghindarinya.
Dalam buku catatan Utari yang berwarna merah marun, Damar adalah laki-laki nomor 16. Angkuh, tidak konsisten, dan tukang cari muka. Begitu yang dituliskannya sebagai catatan karakteristik Damar Soewandi. Ia tidak suka dengan cara tersenyum Damar. Entahlah, terlalu palsu menurutnya. Utari telah menyiapkan cap berbentuk kepala tengkorak untuk menandai laki-laki yang masuk kedalam black list. Diantara jajaran nama-nama lelaki itu, setidaknya sudah ada dua orang yang diberinya cap tengkorak itu. Utari ingin sekali memberi cap tengkorak di samping nama Damar. Sayang, ia tidak punya cukup bukti. Sepertinya, ia harus meminta pengawasan lebih ketat untuk mengawasi laki-laki itu.
AKSARA telah menyelamatkan Utari malam ini. Pertanyaan yang biasa menghujaninya di acara semacam ini berhenti. Seperti langit di luar sana yang tiba-tiba cerah saat Aksara muncul melambaikan tangannya dengan senyuman yang menenangkan hati yang hampir dilupakan oleh Utari. Seperti menyibak awan mendung yang pekat. Namun, hanya untuk saat ini. Utari tahu, suatu saat atau bisa saja esok hari awan hitam itu akan kembali bergumul di langit dan menaungi setiap langkahnya. Lantas, nama itu akan kembali begaung di alam bawah sadarnya.
"Aksara, maaf ya tadi kamu disangka pacar saya." Utari dan Aksara duduk di bangku yang terletak di samping gedung. Mereka sengaja memisahkan diri dari ruangan serbaguna itu. Lagipula, Seno dan Maya masih sibuk bersalaman dengan para tamu.
"Santai saja. Terkadang saya juga bingung kenapa orang secepat itu menilai orang, ya. Mereka berpikir seperti itu 'kan karena saya ada di samping kamu terus seharian ini. Jadi, wajarlah mereka berpikir kita ini ada apa-apanya." Aksara sedikit tercekat, "eh, jadi saya yang nggak enak sama kamu karena mengekor terus." Katanya sambil tersenyum.
"Hmm... santai aja kali, Aksara." Utari tertawa kecil. "Saya minta maaf karena tadi nggak menyangkal sama sekali. Huh, Bikin rumor untuk diri sendiri. Eh, tapi tenang nama kamu bersih, kok." Utari menunjukkan kedua telapak tangannya.
"Kamu tahu nggak. Saya nggak pernah suka datang ke acara pernikahan kayak gini." Kata Utari begitu saja, sesaat kemudian ia menyesali perkataannya itu.
"Kenapa?" Tanya Aksara dengan wajah keheranan.
"Nggak kenapa-kenapa, sih. Saya hanya nggak terlalu suka berada di tempat yang ramai. Malas beramah-tamah dengan orang lain. Kebanyakan senyuman mereka terasa palsu."
Aksara tak menanggapi. Ia hanya tersenyum sambil memandang jauh ke depan, entah di titik mana pandangan itu jatuh. Utari menghela napas, lalu menyesali perkataannya barusan.
Advertisement
- In Serial265 Chapters
Viscount's Rise
With his father dead and his brother inheriting the earldom, Braydon sets out to inherit the family’s neglected title, Viscount of Cliforge, the only land of the Kingdom on the other side of the Brimstone Mountains. His new lands are on the border that is held peaceful by an uneasy truce and the same lands that claimed his father’s life on the battlefield. With no reputation in noble society and no military might to speak of he will be a long way from challenging his brother whose land is some of the most prosperous in the empire, and has the backing of their younger brother, who has the smarts to raise their position even further. Will he become another casualty to the lands that have already claimed his father, or become something more as he climbs his way to prominence? At least he can be sure that his brother would never see him rise peacefully, and the neighbouring Grand Duke desires the last territory of the kingdom on the eastern side of the mountains. His position is anything but stable, he will do anything to change that and build his realm. Chapters are posted every other day at 11am and pm (gmt).Basically just selecting Gore and Traumatising Content to cover myself, profanity is guaranteed though.
8 200 - In Serial441 Chapters
Dungeon Runner
Tibs survived by picking pockets; until he’s caught. Instead of losing a hand, he’s sent away and told he must now survive a dungeon. How is a kid who knew nothing more than his street supposed to survive a dungeon that changes each time he goes in it? Being sent into an ever-growing dungeon becomes his life, facing ever-changing threats to him and the people he tries so hard not to become attached to. He’d like to run away, but where the dungeon means he might die, the guards have made it clear trying to run will ensure he does. But his street taught Tibs to get back up after he’s beaten down. So he isn’t going to just give up. And maybe, just maybe, if he’s tough enough to take a chance on people, and on a deal for power he’s advised against taking, Tibs can not only survive, but beat those who seem to stack the odds against him.
8 4548 - In Serial18 Chapters
Sanguis
In a world inhabited by vampires, various factions are vying for dominance, whether through wars or grueling tournaments. In the midst of the conflict, two unsuspecting humans become caught in the battle. Note: My first story on here, I wanted to try writing a story with battles and leveling up, the kind of story where a character starts at the bottom and world their way up. I hope this story is a good chance to see what works and try out a few different ideas I’ve had.
8 197 - In Serial8 Chapters
Ol' Big Ears
Being a freelance technician had its perks. You could reject any job you felt didn't pay enough or had poor conditions. It was a simple job. "Come in and look at the animatronic. Even if you can't fix him we'll pay you a full nights pay. Just please, take a look." Full night's pay for a few hours of work? Sure! At the time you had no idea it would evolve into a whole murder mystery, you bracing death too many times to count and uncovering the dark history of a regular kids restaurant chain. It all seemed to be linking back to a massive security breach that happened a year prior. Stumble upon the mystery of a missing purple bunny. (ongoing) 1. Set one year after FNAF:SB and in an alternate timeline in which Vanessa adopts Gregory, basically combo of Redemption+Burntrap. She's the closest thing to 'human' family he's got.2. This story was written exclusively using FOSS tools.3. If you aren't a fan of (Y/N) then feel free to refer to the character as Red or Red Guy (cause Read = Red, get it?).
8 183 - In Serial24 Chapters
HOMOLOGEO ✓
Dear psyche, I find pleasure in pain, the pain that i choose to suffer.Date Posted : Sat., 27 Aug. (2022)Date Ended : Wed., 31 Aug. (2022)
8 213 - In Serial151 Chapters
Bakusquad Oneshots
A bunch of oneshots of your favorite squad, sometimes others, dadzawa, and sprinkled in some todobaku here and now.⚠️⚠️⚠️⚠️WARNING⚠️⚠️⚠️⚠️This may contain swearing...Sad topics Suicide and abuseDrugs and alcohol Other things that I probably forgot to mention.Spelling errors and incorrect grammar Wrong thingsMental disorders I never edit cause I don't care lmaooThis will be a bunch of oneshots of the Bakusquad... just cause they are amazing and not many people mention them too much.⚠️⚠️None of the photos are mine, same with the characters! Credit to the original owners!⚠️⚠️I don't know what else to sayDo I do request...?Idk maybe?So if you have a request, my message board and comment section works!!!!!If I miss an request don't be scared to request again. If you have an request.. just ask.. I'll most likely do it lol, as long as it isn't hateful or just plain rude and has no smut. Not edited!!!No smut!!!!!!
8 102

