《Hati Tak Bisa Dipaksa, Sudah Terbit》Part 13 Pengantin Baru

Advertisement

Adam menolak didandani oleh Mama Ayas. Adam juga menolak bicara pada siapa pun siang itu. Hanya Bara yang duduk di sampingnya di dalam masjid yang masih ramai seusai sholah Asar berjamaah.

Kyai Soleh sengaja menahan jamaah masjid agar bisa menghadiri upacara akad nikah antara putrinya dengan Adam.

Meskipun gemas dengan sikap diam Adam, tapi orang tuanya terpaksa membiarkan. Mereka tidak mau menimbulkan keributan hanya karena memaksa Adam untuk mengangkat wajahnya atau tersenyum.

Kevin bolak balik memandangi menantunya dengan wajah prihatin. Beliau tidak mengetahui pertengkaran Adam dengan ayahnya di kamar hotel tadi, tapi melihat wajah Adam seharian ini membuat perasaannya tidak enak.

Barusan beliau menghampiri Adam dan bertanya kepadanya dengan suara pelan, "Apa kau baik baik saja, Adam?"

Tapi anak itu tetap menundukkan wajahnya dan memastikan wajahnya tampak datar tanpa emosi.

Dia bahkan tidak merasa perlu menjawab pertanyaannya dan membuat Kevin mendesah dengan gelisah.

Dia sudah cukup lama mengenal Adam. Lebih lama lagi mengenal Utara dan hubungan kompleks antara besan dan menantunya itu.

Begitu sayangnya Utara terhadap putra tunggalnya ini sehingga kadang-kadang itu membuat Adam justru merasa tercekik dan kehabisan napas karena harus selalu menuruti ayahnya, harus selalu mengikuti standard yang ditentukan ayahnya.

Bahkan sudah 4 tahun belakangan ini Adam memilih untuk tinggal di rumah Kemang dan secara rutin malah tinggal di rumahnya di Bekasi bersama Atalia.

Tentu saja itu membuat dia dan Ayas gembira sekali tapi somehow, dia curiga itu karena Adam tidak kerasan tinggal di Bogor bersama orang tuanya lagi.

"Adam," Bisiknya dengan suara lirih. Anak itu menghela napas panjang lalu pelan saja mengangkat wajahnya, tengadah padanya.

Kevin sempat merasa sangat prihatin ketika wajah datar itu sedikit berubah saat menatapnya. Entah kenapa Kevin bisa merasakan kepedihan yang pekat di mata coklat gelap menantunya.

Refleks dia merengkuh bahu Adam dan meremasnya perlahan, seakan ingin memberikan kekuatan.

Adam langsung menundukkan wajahnya lagi, sama sekali tidak menanggapi tindakan ayah mertuanya ini.

Dia duduk dengan tubuh tegang di hadapan calon ayah mertua barunya. Bara di sebelah kanan, Kevin di sebelah kirinya. Ayahnya sendiri duduk di ujung sebelah kanan bersebrangan dengan Akbar.

Calon mertuanya duduk di hadapannya lalu mengulurkan tangannya. Oleh Kevin, tangan kanan Adam juga disodorkan untuk bersalaman dengan Kyai Soleh.

"Bismillahirrohmanirrohim. Ananda Adam Mahesa Utara bin Angin Utara, saya nikahkan kau dengan anakku Naila Nur Aini binti Soleh Ariffudin dengan mas kawin perhiasan emas 100gr dibayar tunai."

Ada jeda beberapa detik sebelum suara lirih Adam menjawab calon mertuanya masih dengan kepala tertunduk.

"Saya terima nikahnya, kawinnya Naila Nur Aini binti Soleh Ariffudin dengan mas kawin tersebut di atas, dibayar tunai."

"Sah? Sah?"

Maka ketika para saksi menyatakan bahwa ijabnya sah, seluruh hadirin mengucapkan rasa syukur dan mulai berdoa.

Lalu setelah itu para tamu digiring menuju ke aula masjid untuk menikmati hidangan prasmanan yang disiapkan secara mendadak oleh pihak mempelai wanita.

Akbar dengan ramah menyambut para tetangga dan kerabat dekatnya dan mempersilakan mereka untuk menikmati kue-kue dan minuman yang terhidang.

Adam tidak berhenti menerima ucapan selamat dari orang-orang yang sebagian besar belum dikenalnya dengan wajah datarnya.

Dia menganggukkan kepala dan mengucapkan terima kasih dengan suara lirih. Tapi dia lebih banyak berdiam diri dan duduk diam dengan wajah tak peduli.

Lalu, selesai sholat Asar, serombongan perempuan menghampirinya dan menuntunnya menuju sebuah kamar tempat mempelainya sudah menunggu.

Dia bisa melihat Uminya Nai, Mama Ayas, Ibunya, Ara dan Atalia berjalan beriringan sambil memeluk dan menciuminya bergantian sementara mereka menuju ke lantai dua rumah mertua barunya itu.

Umi mengetuk pintu lalu membukanya tanpa menunda dan mempersilakan Adam untuk masuk agar bisa beristirahat sejenak bersama istri barunya.

Sepanjang prosesi itu tidak sekali pun Adam mengangkat wajahnya apalagi menunjukkan senyumnya. Dia hanya menunduk hormat sambil mengucapkan terima kasih dengan lirih ketika Umi memintanya masuk. Lalu mereka menutup pintu dan meninggalkannya sendirian.

Advertisement

Kamar itu langsung sunyi begitu rombongan perempuan itu menghilang di balik pintu. Adam menghela napas panjang saat menemukan ransel berisi pakaiannya diletakkan di sisi pintu masuk. Pelan dia mengangkat wajahnya untuk memperhatikan kamar yang cukup luas itu.

Kamar itu kira kira berukuran 5 x 6 meter dengan sebuah meja dan kursi kerja di sudut jendela. Ada juga lemari dua pintu di dinding dekat jendela dan sebuah pintu yang Adam yakin menuju kamar mandi pribadi.

Di sudut kiri ada tempat tidur ukuran besar yang masih ditutupi cover bermotif bunga. Kamar itu harum melati dan meskipun tidak sempat dihias layaknya kamar pengantin tapi tampak bersih dan rapih.

Di ujung tempat tidur, pengantinnya duduk menunggu sambil meremas jari-jemarinya. Dia tampak gelisah.

Adam mengangkat ranselnya dan meletakkannya di atas meja kerja, lalu dia menarik kursi kerja dan duduk tepat di hadapan Nai tanpa suara.

"Assalammualaikum, Kak Adam." Lirih saja suara Nai menyapa.

"Waalaikum salam."

Adam masih enggan menatap wajah gadis itu. Ini masih terasa tidak nyata baginya.

"Maafin aku, Kak Adam."

Akhirnya setelah beberapa menit yang canggung, dengan penuh keraguan Nai membisikkan itu. Adam mendesah.

"Lupakan saja, Nai."

Nai mengangkat wajahnya untuk menatap wajah datar suaminya.

"Maksud Kak Adam?"

"Lupakan bahwa kita pernah bicara sebelumnya."

"Soal Kak Adam yang sudah menikah?"

"Aku tak mau lagi membicarakan hal itu, kamu paham Nai?"

Dengan ragu Nai menganggukkan kepalanya. "Tapi aku betul-betul minta maaf Kak Adam, keadaannya tidak memungkinkan aku menolak ..."

"Sudah kubilang kita tak usah membahasnya. Please?" Suara Adam sedikit menajam dan penuh nada peringatan ketika bicara, tapi Nai mengerti.

Adam tak pernah bersedia membahas bagaimana perasaannya atau apa yang terjadi dengan perkawinannya yang tak diketahui keluarganya. Tak pernah menjawab apa yang akan dilakukannya dengan dua istri yang dimilikinya.

Adam mandi lalu minta ijin berbaring sebentar untuk beristirahat, dan selama ia tidur Nai hanya duduk di kursi kerja sambil memperhatikannya.

Dia sama sekali tidak berani bersuara apalagi keluar dari kamarnya karena tahu keluarganya menunggu di luar kamarnya dan akan bertanya kenapa dia keluar dari kamar pengantinnya.

Menjelang Magrib, seolah ada alarm yang membuat Adam tiba-tiba duduk di tempat tidurnya dan lalu berpamitan untuk berangkat ke Masjid.

Nai mengulurkan tangannya dan membuat Adam sedikit terkejut, tapi kemudian dia membiarkan gadis itu mencium tangannya sebelum dia berjalan meninggalkan kamar tanpa menoleh lagi.

Hari sudah sangat larut ketika Adam kembali ke kamarnya, menggelar sehelai sajadah lalu tidur meringkuk di lantai kamar Nai sampai menjelang dini hari, dia bangun secara otomatis dan langsung menuju ke kamar mandi kemudian berangkat menuju masjid untuk sholat sepertiga malam dan sholat Subuh berjamaah. Mereka bahkan tidak sempat berbicara semalaman.

Tepat pukul 6 pagi, setelah mandi dan membereskan kamar tidurnya akhirnya Nai memutuskan untuk keluar.

Di ruang makan dia melihat Abah dan Uminya duduk mengitari meja makan bersama A' Akbar, Teh Farah istrinya dan Adam.

Mereka ramai berbincang-bincang tentang hujan yang mulai sering muncul sementara Adam lebih banyak diam dan mendengarkan.

"Nah! Ini dia, pengantinnya baru muncul! Kecapekan atau gimana?" Goda Teh Farah saat melihatnya datang. Nai hanya tersipu.

"Gimana rasanya jadi pengantin, Nai? Senang kan?" tanya Uminya ikut-ikutan menggodanya. Nai hanya tertawa canggung. "Umi apaan, sih!"

"Itu suaminya ditawari mau sarapan apa."

Nai melirik suaminya sebentar, melihat hanya ada segelas teh manis hangat di hadapannya.

"Biasanya sarapan apa, Kak Adam?" tanyanya dengan suara pelan.

"Apa saja boleh." balas Adam dengan sopan.

"Nasi kuning, mau?" tanyanya setelah melirik piring makan kakaknya.

"Idiiih.... Masih canggung amat, ngomongnya? Kok masih manggil Kak, sih Nai? Kayak manggil kakak kelasnya aja!" Komentar Teh Farah membuat wajahnya merona.

"Habis manggil apa?" tanyanya malu.

Advertisement

Dia berjalan ke dapur untuk meracikkan nasi kuning buatan bik Emah, asisten Uminya.

"Ya panggil Mas, kek, Aa', kek... Sayang, kek..."

Lalu teh Farah terkekeh bersama A' Akbar. Wajah Nai semakin merona.

"Kak Adam memangnya mau dipanggil apa?" tanyanya takut takut kepada suaminya.

Adam mengucapkan terima kasih dengan sopan sambil memperhatikan piring yang diletakkan Nai di hadapannya. Lalu dia mengambil piring kecil yang tadi dijadikan alas untuk gelas tehnya dan menuang sebagian nasi kuningnya ke piring itu.

"Terlalu banyak," ujarnya ketika Nai memandanginya dengan pandangan bertanya.

Nai hanya mengucapkan 'Oooh' sambil berpikir betapa sedikit kak Adam makan.

"Tuh, Dam, ditanyain Nai. Lo maunya dipanggil apa?" tanya Akbar sambil memperhatikan sahabatnya yang fokus menghadapi sarapannya.

Adam mengangkat wajahnya dari piring makannya lambat-lambat.

"Hmh? Oh. Terserah Nai aja. Panggil Mas juga boleh."

ujarnya sambil tersenyum samar.

Umi yang sejak tadi memperhatikan akhirnya tak tahan untuk berkomentar.

"Adam ini pendiam sekali ya ternyata, orangnya? Dulu dulu Umi kira Adam diam karena belum kenal. Sekarang sudah jadi mantu juga masih diam ternyata."

Disambut kekehan Abah dan suara tawa yang lain. Nai duduk di samping Adam sambil menghadapi piring nasinya sendiri.

"Adam itu mirip sama gendang yang biasa dia pukul di Kwadran A, Umi. Gak bunyi kalo gak ditabuh." Jawab Akbar sambil menyeringai.

Adam hanya menatap sahabatnya sambil berusaha menelan nasi kuningnya.

Dia tidak terbiasa makan berat di pagi hari tapi dia tidak ingin merepotkan mereka jika meminta menu yang lain.

Dia lega sekali ketika berhasil menelan suapan terakhirnya.

"Saya ingin pamit dulu, Umi. Abah. Saya terlanjur ada jadwal kerja di Jakarta siang nanti." ujarnya tiba-tiba. Semua orang terkejut.

"Kan mobilnya sudah dibawa pulang keluargamu kemarin malam?"

"Iya, biar saya naik travel saja, Abah."

"Biar gue antar, Dam!"

"Gak usah, Bar. Makasih. Tapi aku sudah minta tolong diantar Bara ke tempat Xtrans, sekalian dia berangkat kuliah."

"Oh, ya sudah kalau begitu. Nai gak ikut ke Jakarta?"

Nai masih bengong karena tak menyangka tiba-tiba suaminya pamit.

"Bulan depan saja, setelah resepsi. Ya, kan Nai?"

Matanya, untuk pertama kalinya pagi itu menatap Nai dengan wajah serius. Seperti terhipnotis Nai menganggukkan kepalanya.

"Iyah, nanti saja sesudah resepsi." katanya seolah-olah ini adalah hal yang sudah mereka diskusikan sebelumnya.

Seminggu setelah kepergian Adam ke Jakarta, Nai mendapat telepon dari ibu mertuanya mengabarkan bahwa suaminya itu sakit.

"Vertigonya kambuh, Nai. Tadinya cuma istirahat di rumah saja, tapi kemarin makin parah, sampai gak bisa bangun dan terus muntah. Jadi sama ayah langsung dibawa ke rumah sakit."

"Vertigo itu apa, Bu?"

"Semacam sakit kepala yang membuat si sakit berputar tidak semestinya, seperti akan jatuh padahal tidak kemana-mana. Itu membuatnya kayak orang mabuk, Nai. Dia tidak berani membuka matanya."

Nai tiba dua hari kemudian ditemani Umi. Mereka langsung ke rumah sakit di daerah Pondok Indah, tempat Adam di rawat di ruangan VIP yang sunyi.

Ada ibu yang duduk menunggui Adam sambil merajut. Ibu langsung berdiri untuk memeluk Nai dan Uminya.

"Dia baru saja tidur setelah diberi obat. Sakit kepalanya masih belum reda juga."

"Sudah lama Adam sakit vertigo, Jeng?"

"Kira kira 3 tahun yang lalu Adam mengalami kecelakaan berat yang mengakibatkan dua orang penumpang di mobilnya meninggal dunia. Yang seorang lagi cacat permanen. Waktu itu Adam yang menyetir hanya terluka ringan, tapi dia mulai mengalami vertigo setelah kecelakaan itu meskipun tidak sering kambuhnya."

"Biasanya kambuh kalau apa, Jeng?"

"Jika dia terlalu lelah, Umi. Kurang tidur, atau stress berat. Seminggu terakhir ini dia memang sibuk sekali karena ada beberapa projek yang sedang dikerjakan kantornya. Jadi mungkin kecapekan."

Tapi Nai lebih percaya jika dia sakit karena stress berat. Stress yang diakibatkan salah satunya mungkin oleh dirinya.

Dengan sedikit perasaan bersalah Nai memperhatikan lelaki muda yang sedang berbaring dengan mata terpejam di satu-satunya tempat tidur yang ada di kamar itu.

Wajahnya yang putih tampak pias. Lingkaran gelap nyata betul di sekitaran matanya yang terpejam. Napasnya terlihat pendek-pendek. Rambutnya yang hitam dan sudah agak panjang terkulai di seputar wajahnya yang tirus dan terlihat sedikit berminyak mungkin karena belum terkena sampo selama beberapa hari.

Mereka baru berpisah satu minggu tapi Nai sudah bisa melihat betapa kurusnya dia.

Diam-diam dia menghela napas panjang dan berjalan mendekati tempat tidur, lalu duduk di sebuah kursi lipat tepat di samping tempat tidur.

Uminya ikutan duduk di sofa panjang bersama-sama dengan ibu mertuanya sambil berbasa-basi menyampaikan salam dari Abah yang tak bisa ikut menjenguk.

Tak lama, Akbar yang mengantar Nai dan Uminya juga muncul mengucapkan salam.

Oleh Umi, Nai diminta untuk tinggal di rumah sakit menemani ibunya selama Adam sakit, sementara Umi dan Akbar akan pulang kembali ke Bandung di hari yang sama.

Sepanjang siang itu dilewati dalam sepi karena Adam terus-menerus tidur.

"Obatnya memang ada penenangnya supaya dia bisa istirahat." ujar ibu ketika memperhatikan Nai yang melirik ke jam dinding pada waktu Asar.

"Tapi memang sudah waktunya dibangunkan. Ini sudah masuk waktu Asar."

Lalu Ibu berjalan mendekati tempat tidur pasien dan membungkuk di dekat telinga Adam.

"Adam, bangun, Nak. Waktunya sholat Asar." bisiknya lembut.

Di belainya pipi Adam dengan gerakan pelan. Adam langsung mengerang pelan, kelopak matanya bergerak-gerak dan dia mulai menggerakkan tubuhnya dengan gerakan pelan.

Lalu Ibu menegakkan tubuhnya memandang Nai.

"Begini cara membangunkan Masmu. Lembut saja. Dia mudah terkejut jika dibangunkan dengan suara keras."

Nai menganggukkan kepalanya.

"Bu." Desah putranya, menoleh mencari arah suara ibunya.

"Ya, Adam. Sholat dulu ya, sudah masuk Asar. Ini ada Nai."

"Hmmmh?"

"Ada Nai. Tadi diantar Umi dan Akbar ke sini. Dia akan menungguimu selama kamu sakit. Iya kan, Nai? Kamu akan tinggal di Jakarta, kan?"

"N-Nai?"

Adam berusaha membuka matanya lalu berseru kecil,

"Aaahh!"

Cepat-cepat dipejamkannya matanya kembali. Sudut matanya sampai berkerut karena dia berusaha menutup kedua matanya erat-erat.

"Kenapa, Dam? Masih pusing?"

"Masih muter, Bu. Semuanya muter aku rasanya seperti akan jatuh!"

Lalu Adam menghela napas panjang sambil beristighfar.

"Aku ini kenapa, Bu?" tanyanya lebih mirip keluhan.

Ibu membelai kepalanya dengan lembut. "Sabar ya Adam. Dokter bilang kamu kecapekan. Apa kamu kurang tidur? Sedang banyakkah kerjaanmu?" Adam hanya mendesah.

"Aku tayamum saja." katanya.

Lalu mengangkat kedua tangannya dan menempelkannya ke dinding di sisi kanannya masih dengan mata terpejam.

Ibu dan Nai pindah ke sofa dan menutup tirai di sekitar tempat tidur Adam, memberinya privacy untuk menjalankan ibadah sholat Asar dari tempatnya berbaring dan baru kembali mendekati Adam setelah mendengarnya mengucapkan salam.

"Jangan tidur dulu, Adam. Makan dulu, ya?"

"Hmm. Masih pusing, Bu."

Lesu dan lirih saja suara Adam. Dia tampak murung.

"Nai suapi, ya Mas Adam?"

Akhirnya Nai memutuskan untuk bersuara. Lelaki itu diam saja. Lengan kanannya menutupi matanya seolah ingin menghalangi sinar lampu terang di dalam kamar.

Dengan lembut Ibu membantu Nai menegakkan sandaran tempat tidur Adam.

"Eh! Eh! Pelan pelan, Bu!" Seru Adam sambil berpegangan erat pada pinggiran tempat tidur, seolah takut jatuh.

Refleks dia meraih tangan Nai yang kebetulan ada di dekatnya untuk berpegangan.

'It's OK, Mas Adam. I got you." (gak papa Mas Adam, aku pegangin). ujar Nai dengan suara membujuk, nyaris memeluk tubuh Adam.

Begitu tahu itu tangan Nai, tentu saja secara otomatis Adam langsung melepaskan pegangan tangannya.

"Maaf." bisiknya lirih.

Sebetulnya Nai sama sekali tidak keberatan, tapi sudahlah. Suaminya ini tampaknya sedang tidak bisa bicara banyak karena sakit kepala yang dideritanya.

Nai harus maklum. Meskipun mereka pengantin baru, tapi mereka betul-betul baru saling mengenal sebentar saja. Wajar jika masih terasa canggung.

Meski menyadari bahwa mereka begini karena dijodohkan, tapi sejujurnya, bukan seperti ini komunikasi yang diharapkan Nai setelah mereka resmi menikah.

Nai menghela napas panjang. Pasrah. Masih ada banyak waktu untuk saling mengenal, bukan?

Setelah 10 hari akhirnya kondisi Adam membaik dan dia diperbolehkan pulang.

Tapi dengan sopan Adam meminta Nai untuk pulang ke Bandung dengan diantar salah satu supir kantornya.

Dia berterima kasih karena Nai sudah menemaninya selama dia dirawat, tapi dia sama sekali tidak mengharapkan mereka untuk tinggal satu rumah selama belum dilangsungkan resepsi.

Apalagi Uminya sudah beberapa kali meneleponnya sehubungan dengan gaun pengantinnya.

Jadi dengan perasaan sedikit 'terbuang' Nai akhirnya setuju untuk pulang.

**********

Don't hate the author. Shits do happen in real life. So my fellow readers, terimalah kenyataan pahit ini. Hiks!

    people are reading<Hati Tak Bisa Dipaksa, Sudah Terbit>
      Close message
      Advertisement
      You may like
      You can access <East Tale> through any of the following apps you have installed
      5800Coins for Signup,580 Coins daily.
      Update the hottest novels in time! Subscribe to push to read! Accurate recommendation from massive library!
      2 Then Click【Add To Home Screen】
      1Click