《Hati Tak Bisa Dipaksa, Sudah Terbit》Part 9 The Secret Admirer
Advertisement
Naila Nur Aini
Abah sengaja mengirim A' Akbar dan kemudian aku untuk mondok di pesantren Bina Taqwa dengan alasan yang jelas.
Disamping ingin menyambung tali silaturrahmi dengan mengirimkan ahli warisnya untuk dididik di sana, beliau juga mengirim A' Akbar untuk belajar tentang seluk-beluk manajemen yayasan Bina Taqwa yang sejak pengelolaannya ditangani oleh salah satu menantu mereka lalu berkembang menjadi pondok pesantren modern yang mandiri secara ekonomi dan terdepan ilmu hapalan Al qurannya.
Abah Syarif dan Abah Umar dari Bina Taqwa pun dengan tangan terbuka menyambut kehadiran A' Akbar dan aku untuk bersekolah di sana.
Aku menyusul melanjutkan ke kelas X Aliyah (setaraf SMU) Fatima Azzahra saat A' Akbar duduk di kelas XII, dan dibandingkan dengan pesantren yang dikelola abahku di Bandung, tempat aku dan A' Akbar menuntut ilmu ini sungguh modern dan menyenangkan.
Fasilitasnya bersih dan modern. Guru-gurunya sangat gaul dan kekinian meski masih dalam garis ajaran Islam yang tegas. Kegiatan ekstra kurikulernya jauh lebih beragam.
Kami bukan saja mempelajari berbagai hal yang berkaitan dengan seni tapi juga dengan banyak pilihan profesi dan bisnis.
Semua guru yang mengajar di sana kebanyakan adalah pengusaha dan pengrajin dengan penghasilan yang sangat baik dan membuat desa ini menjadi makmur.
Dan meskipun konsep pesantrennya mirip dengan pesantren Abahku, yang memakai kurikulum nasional + tambahan agama, tapi mereka punya kelas-kelas khusus bagi para pelajar yang sedang menghapal Al Quran.
Ketika aku bertanya kepada ustadzah Annisa mengapa tidak semua santrinya belajar menghapal Al Quran, guruku itu bilang mereka tidak pernah memaksakan suatu kurikulum kepada santri-santrinya.
Menghapal Al Quran itu tidak mudah. Dibutuhkan kesungguhan dan disiplin yang kuat agar bisa menghapal sesuai target.
Disamping itu selain menghapalkan Al Quran mereka juga harus memperdalam Bahasa Arab agar bisa memahami apa yang mereka hapalkan.
Jadi hanya santri yang punya daya ingat yang sangat baik dan keinginan yang kuat saja yang disarankan untuk masuk ke kelas ini.
Kakakku Akbar termasuk dalam golongan santri yang pintar dan masuk ke kelas khusus ini.
Aku dan teman-teman sekelasku biasa menyebut mereka, para santri kelas penghapal Al Quran itu sebagai kaum elit.
Mereka, tidak seperti santri yang biasa mondok di sini, tidak diwajibkan untuk menjalankan tugas-tugas yang harus dikerjakan santri biasa seperti kami. Misalnya piket membersihkan masjid, termasuk toilet dan ruang wudhu. Piket siskamling, piket memasak dan menjaga perpustakaan sekolah, dan lain-lain.
Kaum elit tidak perlu direpotkan jadwal membantu juru masak di kantin asrama atau mengurusi anak anak yatim di Rumah yatim. Mereka juga tidak ada kewajiban bergantian menjaga koperasi desa atau beberapa unit usaha yang dimiliki pesantren.
Tugas kaum elit ini hanya bersekolah, belajar menghapal Al Quran atau berlama-lama di masjid. Selebihnya mereka diijinkan beristirahat atau mengikuti kegiatan ekstra kurikuler yang ada di asrama.
Mereka juga akan duduk di barisan paling depan di Masjid Desa, mungkin karena mereka memang yang paling awal tiba di masjid setiap paginya dan akan meninggalkan masjid paling akhir.
Meskipun seragam yang mereka kenakan sama dengan seragam yang dikenakan santri lainnya, tapi setiap kali mereka lewat, suasana sekitar langsung hening.
Santri yang lain langsung memberi jalan dan memandang mereka dengan penuh hormat, apalagi karena mereka sering sekali berjalan beriringan. Ke Masjid bareng, ke kelas bareng, ke kantin bareng dan bahkan ke sanggar pun berbarengan.
Di dalam angkatan kakakku, dari 68 siswa, hanya ada 20 orang yang belajar menghapal Al Quran termasuk kakakku.
Lalu bagaimana dengan sahabatnya yang merupakan putra tunggal ustadz Utara? Dari omongan yang kudengar dia sudah hapal Al Quran sejak usia 15 tahun dan bahkan sekarang dia masuk dalam jajaran staf pengajar hapalan Al Quran meskipun baru staf junior saja.
Kakakku banyak terlibat dalam kegiatan yang juga dilakukan oleh kak Adam. Mereka kebetulan juga teman sebaya, satu kelas di SMU dan bersahabat. Mereka sama-sama aktif di kelompok Marching Band, Taekwondo dan kegiatan seni Rampak Beduk.
Advertisement
Belakangan mereka juga membentuk Kwadran A, kelompok perkusi yang sangat populer dan keren.
Dari begitu banyaknya kegiatan ekskul di Pesantren kami, yang diikuti oleh A' Akbar dan kak Adam adalah yang paling populer.
Saking banyaknya peminat, mereka harus mengadakan semacam audisi atau tes terlebih dahulu untuk calon anggota barunya karena di kegiatan ekskul inilah kaum 'jelata' seperti kami bisa bergabung dan berkegiatan bareng kaum elit dan itu jelas akan mengangkat tingkat keelitan kaum jelata.
Semua orang tahu di kebanyakan kegiatan itu, kakakkulah pemimpinnya.
Dalam latihan Taekwondo misalnya, kakakku lebih banyak memimpin kegiatan latihan, begitu pula dalam kegiatan Marching Band.
Di setiap wawancara sebelum Kwadran A tampil, A' Akbar lah yang akan menjadi juru bicaranya.
Kakakku ini memang lumayan populer karena selain dia sudah masuk menjadi kaum elit, beliau juga dikenal pintar, berkepribadian ramah dan hangat, bertubuh tinggi dengan wajah tampan. Teman teman sekelasku banyak yang diam-diam mengaguminya dan menjadi penggemarnya.
Tapi aku ini adik kandungnya. Sedikit banyak aku mengikuti semua kegiatannya di pesantren.
Meskipun semua orang selalu mengira dia pemimpinnya, tapi sebetulnya A' Akbar hanyalah wing man, alias orang kedua.
Jika kau mengamati kegiatan mereka dengan lebih teliti sebetulnya akan terlihat kok, siapa sang Alpha di antara kelompok mereka.
Orang yang menentukan jenis musik yang akan mereka latih dan bawakan. Orang yang menentukan kapan membeli instrument musik yang baru. Orang yang bilang ya atau tidak atas membanjirnya undangan untuk pentas.
Dalam setiap gerakannya Aa' Akbar pasti akan melirik kepada orang ini dulu sebelum memutuskan. Lalu secara samar orang inilah sebetulnya yang akan mengangguk atau menggeleng.
Dia memang yang paling pendiam di antara anggota Kwadran A yang lain. Dia bahkan selalu mengenakan topeng atau masker saat sedang pentas bersama Kwadran A karena lebih suka orang mengagumi keahliannya memukul perkusi dibanding mengagumi wajahnya yang menawan. Tapi keempat sahabatnya termasuk kakakku sangat menghormatinya.
Jika Kwadran A sedang berlatih di sanggar yang ada di dalam lokasi pesantren maka akan banyak sekali orang yang menonton pertunjukan mereka.
Para penonton ini juga tak jarang membawakan makanan dan minuman lezat untuk diberikan pada para pemain perkusi.
Biasanya, usai latihan, yang selalu menakjubkan dan memberikan hiburan tersendiri bagi para penontonnya, mereka akan keluar dari sanggar untuk menyapa penontonnya dan menikmati makanan dan hadiah-hadiah yang disiapkan para penggemar dan aku tidak perlu menghitung jumlah anggota Kwadran A yang keluar untuk beramah tamah. Selalu minus satu.
Di manakah dia? Dia biasanya akan tetap di dalam sanggar untuk merapikan semua alat perkusi yang barusan digunakan. Menggulung kabel-kabel, menyingkirkan mic ke sudut sanggar dan merapikan tumpukan kertas berisi partitur lagu.
Lalu jika sudah puas merapikan sanggar dia dengan diam-diam keluar dari pintu sanggar dan langsung menuju masjid desa untuk berdiam di sana bersama ayahnya dan para santri yang lain. Kadang aku bahkan bisa mendengar suaranya melantunkan adzan.
Dia yang selalu sepi itu adalah Adam Mahesa Utara. Laki laki pertama dan mungkin juga yang terakhir, yang membuat paru-paruku kehabisan udara setiap kali kami secara tidak sengaja berpapasan di jalan-jalan desa.
Aku bahkan sempat follow instagramnya sebelum dia ubah ke mode privat. Meskipun dia jarang mengapdetnya dan lebih sering menampilkan foto foto kegiatan pesantren, tapi entah kenapa aku selalu menunggu-nunggu apdet terbaru darinya.
Yang jelas, sepanjang kelas X dia terus-menerus membuatku tertarik untuk memperhatikan, justru karena dia yang paling tidak menonjol di antara teman temannya yang lain.
Dan tentu saja aku pernah berinteraksi dengannya, hanya sekali tapi meninggalkan kesan yang mendalam bagiku.
Kejadiannya bahkan sebelum aku menyadari betapa istimewanya dia. Aku masih sama dengan teman-temanku yang lain, lebih mengelu-elukan A' Akbar, Kak Yusuf, Kak Bara dan Kak Rafi karena mereka memang bukan hanya tampan dan pintar tapi juga ramah dan hangat.
Teman-teman mengajakku ke sanggar karena mereka mendengar bahwa hari ini Kwadran A akan berlatih.
Advertisement
Ini bukan hari latihan mereka yang biasa sehingga sedikit sekali yang tahu mengenai hal ini, dan tentu saja hal ini tidak ingin disia-siakan oleh mereka yang ingin lebih banyak berinteraksi dengan para personel Kwadran A.
Saat itu mereka baru saja meluncurkan mini CD berisi 6 lagu yang mereka rekam secara indi dan dijual dari panggung ke panggung.
Kebetulan aku juga punya 1 CDnya dan aku setuju untuk ikut menonton karena aku ingin para anggota Kwadran A menandatangani sampul CDnya.
Teman-teman mengajakku karena mereka tahu aku adik kandung A' Akbar, kapten dari Kwadran A. Jadi mereka berharap bisa mendapatkan tanda-tangan mereka dengan lebih mudah jika aku yang maju untuk meminta.
Jadi aku dan keenam teman sekelasku menunggu dengan setia di teras sanggar sampai mereka selesai latihan. Lalu begitu satu-persatu mereka keluar dari sanggar setelah latihannya selesai, sahabatku Zulfa mendorongku untuk mencegat mereka di ambang pintu.
Seperti yang sudah mereka perkirakan, keempat lelaki menawan itu dengan senang hati membubuhi tanda tangan mereka di sampul CD rekaman yang kami miliki, dan ketika beberapa temanku cukup puas mendapatkan tanda tangan 4 personel Kwadran A, aku malah celingukan mencari yang seorang. Bukankah Kwadran A beranggotakan 5 orang personel?
Kakakku menunjuk ke dalam sanggar saat aku bertanya di mana kak Adam. Dan aku memutuskan untuk menghampiri lelaki itu sendirian, karena teman-temanku masih asyik bercengkrama dengan 4 personel super ramah dari Kwadran A.
Dia sedang asyik menumpuk drum set di sudut sanggar ketika aku masuk menghampirinya.
Wajahnya yang datar tampak tekun merapikan benda-benda di sekitarnya. Peluh menetes di dahi dan kemeja yang dipakainya.
"Permisi, Kak. Assalammu alaikum. Saya Naila adiknya Kak Akbar."
Dia berhenti sebentar dari kegiatannya untuk memandangku sekilas. Hanya sekilas karena kemudian dia menurunkan pandangan matanya.
"Wa alaikum salam. Akbar ada di depan," katanya sambil menunjuk pintu depan dengan dagunya lalu dia mulai mengumpulkan stik-stik pemukul perkusi. Dia mungkin mengira aku sedang mencari kakakku.
"Aku ke sini untuk minta tanda tangan kakak." ujarku sambil mengulurkan CD Kwadran A.
Dia berhenti sambil bilang 'Oh' lalu menerima CD dan spidol yang kuulurkan. Lalu dia menarik sebuah bangku kayu dan duduk di atasnya sambil mengeluarkan sampul CD dari kemasannya.
"Tumben ada yang minta tanda tanganku." katanya sambil tersenyum samar. Aku tertawa lebar sambil menariki kerudungku.
"Biar lengkap, Kak." balasku ketika melihatnya memperhatikan sampul CDku yang sudah dipenuhi tanda tangan 4 personel Kwadran A lainnya.
Dia mengangguk sekilas lalu membubuhkan tanda tangannya di sebuah sudut.
Personel yang lain akan bertanya siapa namaku dan menuliskan pesan-pesan khusus sebelum menandatangi CDnya. Ada juga yang bertanya aku kelas berapa dan apa hobiku.
Tapi kak Adam membubuhkan tanda tangannya dalam diam dan membuatku sangat penasaran.
Sambil menunggu dia menyelesaikan tanda tangannya dengan nekad aku mengajaknya bicara.
"Kak."
"Hmmmh?"
"Aku boleh tanya?"
Aku mendengar helaan napas. "Tentu."
"Kenapa setiap kali pentas kakak selalu memakai topeng?"
Tidak seperti personel Kwadran A yang lain yang kadang memakai topeng kadang tidak, kuperhatikan kak Adam secara konsisten selalu memakai penutup mata jika sedang tampil live di panggung.
Topengnya berganti ganti, kadang terbuat dari plastik, kadang karton, ada juga yang berbulu dengan warna yang berbeda-beda. Kadang hanya menutupi kedua matanya, sering juga menutupi separuh wajahnya.
Tapi topengnya saja yang selalu berganti. Dianya tidak pernah tidak memakainya. Menyulitkan orang untuk mengenali wajah aslinya apalagi di antara gemerlap lampu panggung dan gerakan tubuhnya yang dinamis saat menabuh perkusi.
Aku sempat tengadah untuk memandangnya ketika dia tidak langsung menjawab. Dia butuh beberapa menit untuk memikirkan jawabannya.
"Itu... Gak ada alasan khusus, sih. Aku hanya lebih suka orang mengagumi permainan musikku ketimbang penampilan fisikku." suaranya makin lama makin pelan.
Lalu dia menyibukkan diri mengembalikan sampul CDku ke dalam kemasannya.
"Done." Katanya sambil meletakkan CDku di atas tumpukan drum set.
Lalu tanpa menunggu tanggapanku dia bangkit dari kursi kayunya dan mulai menariki tiang-tiang mic dan mencabuti kabel-kabel.
Tubuhnya yang tinggi menjulang menguarkan bau harum yang maskulin karena bercampur keringat.
Entah kenapa, pertemuan super singkat itu sangat berkesan bagiku. Dia bahkan tidak menjawab ucapan terima kasihku yang riang.
Aku jamin dia juga tidak akan mengingat siapa aku, tapi aku tak terlalu peduli. Aku bahkan merasa aku sudah jatuh cinta padanya secara diam-diam meskipun hanya Umiku yang tahu tentang hal ini.
Umi juga sudah kupaksa bersumpah untuk menjaga rahasiaku ini selama-lamanya. Bisa gawat kalau sampai A' Akbar tahu.
Hanya satu tahun aku menjadi pengagum rahasianya. Karena di tahun terakhirnya di SMU, secara tidak sengaja aku mendengar dia sudah dijodohkan.
Bahkan sebelum berangkat ke Mesir, aku melihat apdet statusnya di IG. Hanya sebuah foto rangkaian bunga Lily putih yang cantik, dengan status bertuliskan Bismillah.
Tidak ada keterangan yang lain. Tapi komen-komen yang ditinggalkan sahabatnya pada statusnya itu membuatku patah hati.
'Selamat ya Bule, semoga samara!'
'Wess! Akhirnya, saudaraku melangkah ke jenjang berikutnya! Selamat masbro!'
'Jangan lama-lama di Mesir masbro, nanti Barbienya diambil gue eh orang'
Dari A' Akbar aku tahu dia ternyata sudah lama dijodohkan dengan putri dari sahabat orang tuanya, dan sebelum dia berangkat ke Mesir untuk kuliah, mereka dinikahkan secara siri terlebih dahulu.
Aku bahkan beberapa kali bertemu dengan gadis cantik itu. Karena beda usia mereka yang cukup jauh maka kak Adam berangkat ke Mesir sendirian. Konon istrinya baru akan menyusul ke Mesir setelah dia lulus SMU.
Aku membutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa berhenti menangis dan berharap dan belajar menerima kenyataan bahwa jodoh itu di tangan Alloh dan dia jelas bukan takdirku.
Jadi begitu aku lulus SMU, aku memutuskan untuk meninggalkan kota Bogor untuk kuliah di Bandung saja sambil berharap bisa menyembuhkan hatiku yang sempat retak.
Dan meskipun aku bahkan hadir pada resepsi besar-besaran pernikahan mereka bersama keluargaku beberapa tahun kemudian, lalu mendengar berita kepergian istrinya yang tragis tak lama setelah kelahiran putri pertama mereka, aku sudah nyaris melupakan cinta pertamaku ini.
Umi pernah bertanya apa kabar kakak kelasku yang pernah menawan hatiku dulu tapi aku memintanya untuk melupakan saja cerita itu.
Dengan penuh pengertian Umiku tidak pernah mengungkit kisah lama itu lagi, sampai seminggu yang lalu tiba-tiba saja A' Akbar mampir ke rumah untuk bicara dengan Abah dan Umi, tentang niat keluarga Ustadz Utara bersilaturahmi.
Sampai saat ini pun Umiku tak pernah tahu siapa nama laki-laki muda yang pernah membuatku jatuh cinta itu dan jujur saja, sampai ketika kak Adam dan keluarga besarnya muncul di rumah kami atas undangan makan malam dari Abah, aku masih tidak percaya bahwa dialah, Adam Mahesa Utara, yang akan diperkenalkan dan dijodohkan kepadaku.
"It's a good catch!" Menurut A' Akbar.
"Adam memang lelaki yang agak tertutup dan sedikit pendiam, tapi hatinya sangat baik. Dia juga seorang pengusaha yang brillian dan bertangan dingin serta lelaki yang alim."
Begitu kata A' Akbar saat mengajakku bicara di hadapan orang tuaku minggu lalu.
Bahkan kakakku saja sudah memperingatkan jangan sampai aku menolak lamaran keluarga kak Adam. Abah dan Umi jauh lebih bersemangat dari A' Akbar.
"Sudah waktunya kamu menikah. Dan Adam adalah calon yang sempurna dilihat dari kepribadian dan latar belakang keluarganya." Begitu kata Abah.
Aku tahu usiaku sudah 26 tahun. Diam-diam, aku juga merasakan debar yang dulu pernah kurasakan kembali.
Ya Alloh, betulkah dia yang akan datang minggu depan? Dia yang selama ini tanpa kusadari sering hadir dalam doa-doaku?
Lalu Umi menanyakan tentang laki-laki yang pernah kuceritakan dulu.
"Kamu sudah tidak berhubungan dengan kakak kelasmu itukan? Sudah tidak ada urusan apa-apa, kan?"
A' Akbar dan Abah sampai memandangiku dengan ingin tahu gara-gara pertanyaan Umi. Aku langsung menggelengkan kepalaku keras-keras.
"Itu hanya cinta monyet, Umi. Sudah lama kulupakan." Desahku tanpa mau mengakui bahwa cinta monyetku itu, cinta pertamaku itu justru yang akan datang melamarku minggu depan.
Makanya aku agak heran ketika dia datang dan terlihat terkejut dengan rencana perjodohan ini.
Masakah dia tidak tahu? Apakah keluarganya tidak mengatakan tujuan utama mereka berkunjung ke Bandung?
Sedangkan orang tua dan kakakku sudah mengancamku untuk menerima saja perjodohan ini meskipun tanpa ancaman mereka pun aku tetap akan menerimanya.
Aku ini pemuja rahasianya. Bagaimana mungkin aku akan menolaknya?!?
Advertisement
- In Serial16 Chapters
Lord of the Night Realm: Book II - Reunion
[Spoilers for Book I] With Isadore Renard's scheme put into motion, Ellie finds herself back in the Prime Realm with no recollection of her time away from home. But just as she begins assimilating back into normal life, Solarists execute a plan that involves her in an insidious way. What fate lies in store for Ellie and those she loves at the hand of her forgotten lover's nemesis?
8 221 - In Serial46 Chapters
Vampire's Prey
Julia is on the run, fleeing for her life. An army of vampires ravage her country, plundering villages and enslaving their occupants. With the vampire horde closing in, Julia is forced to abandon her home and head south with the hope of reuniting with her brother. There they will build a new farm and live in safety.But one vampire lord has a different plan for her future. He tracks her down and takes her captive. No matter how hopeless her situation, she never gives up, risking her life to regain her freedom. He forces her down, punishing her when her defiant spirit hinders his mission. It soon becomes clear that she's nothing like the human soldiers he's used to dealing with. A sense a guilt begins to grow whenever he upsets the girl who both fears and leans into him for protection.Julia and the vampire lord are connected in ways they had never known. Their lives become entangled, bringing them to make decisions they would've never thought possible.*** Content Warning: The protagonist of this story is a victim of abuse. I do not condone the actions of the antagonist ***Extract from Chapter 1:He unsheathes his blade, and I suddenly wish that he'd go back to just poking me. He's going to cut me while I can't move? To torture me? I start to panic again. "No, no, no." I yank on the restraints, and the rope bites into my skin. I pull and pull and try to shuffle away from him.He presses the blade against my neck, and I freeze."So fearful," he says.I catch a glimpse of his freakishly long canines. The edge of the blade digs into my skin, just enough not to draw blood.
8 119 - In Serial47 Chapters
The Surrogate Is My Mistress|✔︎
After Catherine found out she couldn't have children she went through a major depression. Not only because she'd never get to experience carrying a little human being inside her for nine months, but because she'd never be able to give her husband (James Jacobs) the son he's always wanted. She didn't like the idea at first but soon she considered it.The contract clearly stated that the surrogate (Mercedes Lopez) would simply carry the baby for nine months, give birth and then become a breast milk bank. No contact with the baby and no strings attached. With Catherine being over protective and paranoid she insisted that Mercedes lives with them.But with the surrogate mother being a hot Latin woman she becomes a temptation to James.*Note this book contains strong language, explicit and mature content. Read at own risk *wink wink smirk*.
8 66 - In Serial27 Chapters
Wolfs Bride(bwwm)
An Alpha like no other... Born into the Bellamy family, Laticia "Argo" Bellamy had no illusions that her family wasn't like others. As a changeling born into the wolf tribe she was unfortunately the lowest of the low. An omega, but born into the leading family she was luckily treated more like a house keeper, and ignored. The only thing keeping her going was the hope of graduation. The one thing that would lead her to freedom. As long as she wasn't more useful than for cleaning the house, she could live her last year in high-school in peace. ...Till she became useful. With a sudden alliance with a purist family of wolves. Laticia's simple life is cast aside for a ceremony that would serve her father more than she. And in the icy eyes of Ewan McKillan she finds her life now derailed. Will she fight against the destiny, or will she become...The Wolfs Bride. An new exciting romance, written by LB Keen. *Do not copy, or print for purchase*
8 239 - In Serial33 Chapters
Saved
Isabella Rose RomanoA 13 year old to which love is something very unfamiliar to her. Having grown up in the foster system, it didn't come very often or in her case at all. She has a heart of pure gold, despite everything. So what happens when her current abusive foster family die. And she discovers she has a family. In that family she not only has a father but seven brothers! How is she supposed to adjust to this new environment while trying to overcome her past?________________________________________________Antonio Francesco RomanoHis only principessa was taken from him when she was a year old. 12 years later he gets a call that she is alive and he can take custody. His seven sons, of course, are over the moon about this along with himself. What happens when he discover that she didn't have the life she deserved? Can he and his sons teach her the meaning of love?Started: October 16, 2021Finished: September 24, 2022
8 206 - In Serial28 Chapters
Tell me more about Your Pain
He forgot to wear his Favourite Haton his Path to Subway StationAs always Clenching the TeethWithout Curiosity to Taste anything Peculiar in Particular
8 162

