《TGS 1st - Silly Marriage》Chapter 9 - Is it love?
Advertisement
Tidak akan susah untukku mengetahui keberadaan Naya. Sejak awal dia pergi dari rumah, aku sudah meminta tolong seseorang untuk mengikutinya diam-diam. Hari ini tepat lima hari Naya pergi dari rumah. Aku ingin sekali muncul di hadapannya dan meminta maaf padanya. Bahkan memohon jika itu memang harus. Aku tau yang kulakukan padanya tak semudah itu dilupakan. Aku menepikan mobilku di jalan dekat dengan rumah tempat Naya tinggal selama lima hari ini. Rumah kerabat Kikan. Aku hanya perlu membelokkan mobilku ke kiri dalam radius dua ratus meter sebelum akhirnya tiba tepat di depan rumah itu. Tapi aku justru menepikan mobilku di sini.
Dasar pengecut!
Rasa-rasanya aku tadi telah bertekad untuk muncul di hadapan Naya dan meminta maaf kepadanya meskipun aku akan menerima berjuta caci maki darinya. Atau mungkin malah dia akan langsung menyuruhku pergi karena dia muak melihatku. Aku memukul setir mobilku. Jengkel.
Aku menyesali perbuatan gegabahku malam itu. Aku begitu digelapkan oleh amarah. Seharusnya aku bisa menahan amarahku. Sial!
Aku menggeram pelan ketika satu denting notifikasi ponsel berbunyi. Dengan tak sabar, aku mengambil ponselku dari saku jasku. Satu pesan dari Naya. Dengan tergesa dan tak karuan, aku segera menyentuh layar ponselku.
I know where you are right now.
Aku mendesis pelan. Darimana dia tahu aku sudah berada di dekatnya? Tak bisakah dia sekedar muncul di hadapanku barang dua detik saja agar aku bisa melepaskan rasa rinduku? Bisakah? Tak taukah dia selama lima hari ini aku menderita?
Tapi aku tak bisa berbuat banyak. Mau tak mau aku harus menyetujui kemauan Naya. Aku harus mengalah kali ini. Sedikit lagi, Alex! I hope I can hold myself a little bit more.
Aku mendesah panjang. Mataku menatap lurus ke depan. Aku mencoba menenangkan diriku sendiri agar tak melajukan mobilku ke tenpat Naya. It's not the right time,Alex!
Aku masih bertahan terdiam di tempat yang sama selama setengah jam, sebelum akhirnya aku memutar balik mobilku dan kembali ke Jakarta.
Hari ini tepat dua hari sejak aku mendapati Alex memarkirkan mobilnya tak jauh dari rumah saudara Kikan. Hari ini tepat satu hari sebelum waktuku habis untuk menenangkan diri sebelum bertemu dengan Alex. Dan entah kenapa waktu itu aku hanya meminta waktu tiga hari? Nyatanya sekarang aku mulai merasa kehabisan waktu untuk berpikir. Dan aku bahkan tak mengerti apa yang aku harus pikirkan. Mungkin sebenarnya bukan waktu untuk berpikir yang aku butuhkan. Tapi waktu untuk menghilangkan rasa takutku kepada Alex. Entah kemana perginya semua nyaliku dulu ketika menghadapi Alex.
Advertisement
"Dan ini kesekian kalinya gue menemukan lo duduk diam dengan tatapan mengerikan, Nay," satu suara familiar itu mengusikku. Aku mengerjapkan mataku dan menoleh. Mendapati sahabatku yang menatapku khawatir.
"You know that you can just ask him to wait a little longer, right?" saran Kikan.
"I can't. Gue bahkan nggak ngerti kenapa gue minta waktu tiga hari. I'm scared, Kan," ucapku lirih.
"Gue tau lo takut. Dan kalau gue ada diposisi lo mungkin gue akan langsung kabur tanpa jejak. Tapi lo milih tetap bertahan dan menghadapi semuanya."
Aku terdiam dan menatap lurus ke pekarangan rumah. Kikan pun ikut terdiam. Kadang diamnya kami pun seperti sebuah bentuk komunikasi. We don't need to talk. Just feeling each other presence was enough.
Kesunyian itu terhenti ketika ponselku bergetar. Aku meraih benda mungil itu dari atas meja nakas.
Aku mengerutkan keningku ketika membaca pesan singkat dari Raka. Darimana dia tau keberadaanku? Alex tak mungkin memberitahunya mengenai keberadaanku.
"Siapa?" tanya Kikan.
"Raka," jawabku pelan.
"Darimana dia tau lo ada disini?"tanya Kikan sama herannya denganku.
Aku menggelengkan kepalaku. Pertanyaan itu pun muncul di kepalaku dan aku tak mengetahui jawabannya.
"Gue rasa lo harus hati-hati sama Raka, Nay. Lo belum tau dia sepenuhnya," lanjut Kikan.
Aku membenarkan kata-kata Kikan. Tapi seharusnya Raka tak akan mengejarku sampai sejauh ini. Apalagi dia hanya memiliki masalah dengan Alex. Bukan denganku. Aku masih belum bisa membaca agenda tersembunyi Raka. Tapi sepertinya aku tak mungkin menghindarinya kali ini.
"Kayaknya gue harus ketemu dia, Kan," kataku pada Kikan. Dan sebelum sahabatku menjawab lebih panjang, aku bergegas masuk ke dalam rumah dan mengambil dompet.
"Gue pinjem mobil ya, Kan. Cuma sebentar kok. Gue akan langsung kembali kesini begitu urusan gue dengan Raka selesai," kataku pada Kikan.
Kikan menghembuskan nafasnya panjang. Aku tau dia berat melepaskan kepergianku walaupun hanya sebentar. "Just be careful. Hubungi gue kalau ada apa-apa," ucap Kikan sebelum memberikan kunci mobilnya.
Aku memberikan senyuman tipis untuk menenangkannya. "I will. Thanks a lot untuk semuanya, Kan," ucapku tulus.
Aku bergegas masuk ke dalam mobil Kikan dan melajukannya ke tempat yang ditentukan Raka.
Begitu selesai memarkirkan mobil di area parkir, aku mematikan mesin mobil dan terdiam sejenak. Tanpa turun dari mobil pun aku bisa melihat Raka yang tengah duduk di dalam café yang dindingnya didesain menggunakan kaca. Setidaknya aku bisa sedikit lega ketika lelaki itu memilih tempat yang terlihat dan tidak tertutup. Berulang kali aku menguatkan hatiku. Jujur saja aku tidak mengerti bagaimana cara Raka mengetahui keberadaanku. Mustahil jika Alex bersedia dengan ikhlas memberitahu Raka mengenai keberadaanku.
Advertisement
Belum-belum aku sudah dibuat sakit kepala dengan semua ini. Entah apa yang akan dibicarakan Raka. Yang jelas aku tahu pasti bahwa usahaku untuk bersembunyi dan menjauh dari orang-orang yang kukenal sepertinya gagal.
Setelah berhasil menenangkan hatiku dan menjernihkan pikiranku, aku melangkah masuk ke dalam kafe. Raka langsung menyadari ketika aku memasuki area kafe dan melambaikan tangannya kepadaku. Aku tersenyum sekilas, hanya untuk bersikap sopan dan membalas senyumannya padaku.
"Hai, Nay,"sapanya sambal mempersilahkanku duduk di hadapannya.
"Hai, Ka. Gimana kabar lo?" tanyaku.
"I'm fine. What about you?" tanyanya balik. Dia melambaikan tangan sekilas kepada pramusaji. "Lo pesen dulu ya? Makan? You look so thin, to be honest," kata Raka menawarkan senyumnya.
"No, no. Gue nggak apa-apa kok, Ka. Gue masih kenyang. I think I'll go with the drink," ucapku mencoba menolak halus.
"Are you sure?"
Aku mengangguk mencoba meyakinkannya. Let's get this over fast. "Saya order lemon tea-nya satu ya, mbak," ucapku kepada pramusaji.
Setelah pramusaji mencatat pesananku dengan Raka, aku menatap Raka lekat-lekat. "So?" tanyaku pelan.
Raka terkekeh ringan. "Gue hanya ingin tahu kabar lo aja, Nay," jawab Raka.
Aku tak serta merta menerima jawaban sederhana itu. Dan aku masih perlu menanyakan darimana lelaki di hadapanku ini tau keberadaanku.
"Gue tau lo lagi ada masalah dengan Alex," lanjut Raka lagi.
Aku tertegun. Sejauh mana dia tau mengenai masalahku dengan Alex?
"Maksud lo?" tanyaku seolah tak mengerti apa yang dikatakan lelaki itu.
"Gue tau hubungan kalian sedang bermasalah, eventhough I don't know why. Tapi, muka kusut Alex ketika gue ketemu dia semalam udah cukup untuk gue mengambil kesimpulan. Dia kacau lo tinggalin," ucap Raka.
"Apa Alex yang kasih tau lo dimana gue?" tanyaku akhirnya.
Raka tertawa ringan. "Bahkan kalau kiamat datang tiba-tiba pun gue yakin Alex nggak akan kasih tau gue dimana lo, Nay. Enggak susah kok mencari keberadaan lo."
Aku lagi-lagi terdiam. Jujur aku tak lagi bisa membaca situasi. Haruskah Raka menemuiku sekarang? Perlukah? Aku bukan siapa-siapa baginya. Apa pedulinya tentang masalahku dan Alex?
Ah.
Mungkin lelaki di hadapanku ini merasa senang ketika rivalnya bermasalah. Dan apa aku tak salah dengar ketika Raka menyebutkan bahwa Alex pun merasa kacau? Seriously?
Aku seharusnya bahagia mendengar hal itu. Mendengar bahwa tidak hanya aku saja yang bergulat dengan emosiku, tapi juga suami sialanku itu. Serve him right!
Ketika pramusaji datang kembali membawakan pesananku dan Raka, aku mengambil keputusan bahwa aku harus pergi secepatnya dari tempat itu.
"Slow down, Nay,"ucap Raka ketika melihatku meminum minumanku dengan sedikit tergesa.
Aku menawarkan senyum tipis untuk menyenangkannya. "Lo enggak buru-buru balik ke Jakarta?" tanyaku mengalihkan perhatiannya.
"Why? Lo buru-buru balik?" tanya Raka yang sepertinya mencium gelagatku.
Aku tersenyum lagi kali ini berusaha lebih menghayati senyumanku. "Gue nggak mau membuat Kikan khawatir aja. And honestly, gue sedang nggak ingin bertemu orang-orang. This problem with Alex...," keluhku tak sanggup menyelesaikan kalimatku sendiri.
"Thank you for meeting me here," ucap Raka.
Aku menghembuskan nafas panjang ketika Raka sepertinya tidak masalah dengan perlakuanku padanya. Untuk terakhir kalinya sebelum pamit, aku tersenyum padanya. Aku sungguh berterima kasih kepadanya yang mau mengerti keadaanku.
"Take care, Ka," kataku tulus. Lelaki itu hanya tersenyum.
Aku beranjak dari kursiku dan keluar dari kafe tersebut. Setelah memasuki mobil Kikan, aku menghembuskan nafasku panjang. Aku bergegas melajukan mobil menuju rumah saudara Kikan.
Sepanjang perjalanan aku masih memikirkan pertemuanku baru saja dengan Raka. Aku lega karena aku tak perlu menghabiskan waktu terlalu lama bersamanya. Dan perkataan lelaki itu berhasil membuatku kembali memikirkan Alex.
Tanpa aku sadari, satu mobil SUV memotong laju mobilku dan berhenti di depan mobil yang kukemudikan. Aku sontak menekan pedal rem dan mengumpat pelan. Damn! Disaat aku sudah mulai lega karena terbebas dari suatu situasi, sekarang apalagi yang mesti aku hadapi. Aku bergegas membuka seatbelt dan keluar dari mobil. Apa sih maunya orang-orang ini?
Tapi seseorang dengan sigap membekap mulutku ketika aku keluar dari mobil. Membuatku meronta meminta untuk dilepaskan. Namun kemudian aku menyadari sesuatu ketika aku mulai merasa pusing. Kepalaku perlahan terasa berat. Please,please don't close my eyes! Pintaku pada diriku sendiri dan masih mencoba meronta dengan sisa kesadaranku. Namun sepertinya percuma. Tanganku melemah dengan sendirinya seiring dengan kesadaranku yang mulai menipis.
###
Advertisement
The Genius Mage
"The head of the London Association of Mages, the most powerful Saint Archmage in the world, Audrey Davis, accidentally transmigrated to another world due to a magic accident. She was an 18-year-old human girl.
8 254The Riveting Lives of Russell and Sal
Russell is a virtuous goth with a Christian upbringing. Sal is a carefree slack-off who would rather work retail than go to college. It was hate at first sight. Until they were forced to partner up in class. After their true feelings surface, Sal learns just how different he is from Russell, and all seems hopeless. How can their relationship last, if Sal is asexual? And that's not their only problem. Surprisingly unpredictable, The Riveting Lives of Russell and Sal is about two social outcasts that become the most unlikely couple imaginable.
8 194Bully -Tythan
Ethan is the cliche new kid to school, not only that he's a nervous wreck and scared to death of confrontation.Tyler and his friends are considered evil douche bags around school, who like to make people's lives miserable; especially the ones who fuck with them.See what happens when Ethan makes the mistake of speaking up to Tyler's friend Mark. Will romance happen? Or will his last years of high school end in pure torment.Ps. This bad boy is almost 5 years in the making 😂Highest ranking - Crankgameplay #1Septiplier #1Bullyxnerd #1Tythan : #1Bob: #3Jacksepticeye: #61Jelix: #1Markiplier: #33
8 69Sky and Tuck
Tuck-Too much, came too fast, and far too easily, drugs, drinks, sex and fame. It takes a tragedy to pull him out of his self destructive world.Sky-She lost her best friend, but kept living and thriving. Then a nightmare took most of her family. Left to raise her orphaned niece and nephew, a face from her past wants to become part of her future.
8 102Sonnets For You
"Do read those lines of mine written for you;Those lines in which I shared my feelings true.And may in heart of yours form something newFrom rhymes of mine that bear a story blue"
8 327His Sin
*Mature Content*"You're mine," he growls, his grip on me tightening. "And I always get what I want."+++One day, the Immortal Sin named Cian admitted himself into a mental care facility. Six years before Amolet started working there. With hope to finally have independence, Amolet took the job without thinking much of it. That is until she meets the self-admitted patient, with unspeakable powers, shrouded in darkness and mystery. When he refuses to speak to her, her curiosity only peaks, her desire to get to know this sinfully perfect man too hard to walk away from. But the deeper she digs, the more of his past she discovers, piecing together a sinister reality. But it's a reality she can't escape from, as she's tied to him in ways she couldn't have ever predicted.
8 183