《TGS 1st - Silly Marriage》Chapter 7a - Trouble You (1)

Advertisement

selamat membaca...

xoxo - shamlia

------------------------------------------------------------------------------------

Chapter 7 - Trouble You

Naya's POV

Lagi-lagi malam ini aku makan sendirian di rumah besar ini. Sepi. Karena aku tak bisa memasak, akhirnya aku memutuskan untuk delivery order Pizza dan memakannya di depan televisi sendirian. Jujur saja aku sedikit tak nyaman dengan suasana senyap. Tadinya aku ingin mengundang Kikan untuk datang. Tapi aku baru saja ingat kalau sahabatku itu memiliki janji date dengan Enzo. Sedangkan Eve malam ini dia masih sibuk pemotretan untuk sebuah majalah.

Duh Alex, lo betah aja sih homoan sama Victor?

Eh? Aku baru saja mengharapkan Alex? Yeah, paling tidak kalau ada dia aku jadi nggak sendirian di rumah ini. Walaupun hubungan kami belum membaik, tapi paling tidak tidak hanya ada aku seorang diri saja.

Aku sebenarnya benci sekali keadaan seperti ini. Dimana aku tidak dipedulikan. Dan sampai detik inipun aku masih berpikir bahwa tidak seharusnya Alex semarah ini.

Apa di masa lalu Raka membuat Alex sakit hati hingga masih menimbulkan kebencian seperti ini?

Aku menghentikan gigitanku pada sepotong pizza di tangan. Biasanya aku mampu melahap cukup banyak makanan favoritku ini. Tapi malam ini kelihatannya nafsu makanku sedikit terganggu. Suara yang keluar dari televisi pun tak mampu menghapuskan kesunyian ini.

Aku meletakkan sisa potongan pizza ku ke piring kecil di depanku. Ku ambil selembar tisu dan mengelap bibirku. Rasanya ingin sekali berteriak untuk menghapus kesunyian ini. Tapi aku masih bisa menahan niat alay ku itu. Pada akhirnya aku memilih memainkan ponselku untuk membunuh waktu.

Dengan tidak jelas, tanganku menyentuh layar ponsel dan membuka menu phonebook. Menatap satu persatu nama yang terdaftar dalam ponselku. Kemudian tanganku terhenti ketika aku membaca satu nama yang terdaftar dalam kontak ponsel.

Alex.

Haruskah aku menelepon dia untuk memastikan dia baik-baik saja? Oh, poor girl! Tentu saja dia baik-baik saja. Sudah dapat dipastikan kan? Mungkin sebenarnya aku ingin mengecek apa yang sedang dilakukannya dengan sahabat sesama playboy nya itu.

Tapi kuurungkan niatku itu. Lagipula tak begitu penting mengetahui Alex sedang melakukan apa. Bisa-bisa dia menganggapku akan minta maaf duluan karena meneleponnya. Permintaan maaf ku yang dulu kusampaikan lewat selembar kertas saja sampai saat ini belum berhasil. Masa aku harus berulang kali melakukannya?

Hell no!

Pada akhirnya aku memilih untuk membuka satu permainan di ponselku dan mulai larut dalam game tersebut. Entah pada jam berapa akhirnya aku tertidur pulas di sofa ruang keluarga dengan televisi yang masih menyala dan ponsel yang berada di dekat tanganku.

###

Keesokan paginya aku berangkat ke kantor lebih pagi. Aku memilih untuk tidak sarapan, walaupun asisten rumah tangga telah menyiapkan untukku. Nafsu makanku hilang melihat rumah yang begitu senyap. Harusnya Mama dan Papa tidak secepat ini kembali ke Kanada. Akan lebih baik kalau beliau ada di rumah. Paling tidak aku enggak sendirian.

Sesampainya di kantor aku kembali menenggelamkan diriku pada setumpuk berkas yang harus kuperiksa di atas meja kerjaku. Paling tidak aku mempunyai kegiatan hingga siang nanti untuk mengalihkan pikiranku dari permasalahan rumah tangga.

Tapi sepertinya otakku sedang enggan diajak berkonsentrasi. Beberapa kali aku menghentikan kegiatanku dan melayangkan pikiranku pada Alex. Ugh! Aku benci mengakuinya, tapi aku merindukan seringai jahilnya atau segala kata-kata godaan yang keluar dari bibirnya. Aku lebih suka mendapati dia mengejekku atau menjahiliku daripada harus merasakan kemarahannya yang sumpah ternyata lebih annoying daripada kemarahan wanita yang sedang menstruasi.

Aku memijat keningku ketika akhirnya aku menyerah meneruskan pekerjaanku. Walaupun aku telah berhasil menyelesaikan separuhnya, tapi kini kepalaku berdenyut sakit. Aku segera menyambar tasku. Aku butuh ganti suasana kalau tidak mau kepalaku semakin berdenyut.

Aku memutuskan untuk mengendarai mobiku melalui jalanan ramai ibukota. Untung saja jalan raya tidak macet siang ini, sehingga tidak menambah pusing di kepalaku. Akhirnya aku membelokkan mobilku di sebuah restauran kecil di daerah Depok. Entahlah mengapa aku bisa mengendarai mobilku sampai kesini. Yang pasti ketika melihat restauran yang terlihat sepi dari luaran ini membuatku segera menepikan mobil.

Advertisement

Aku duduk di salah satu bangku di sudut ruangan. Ketika seorang pelayan menanyakan pesananku dan memberikan buku menu, barulah aku tau bahwa restauran tersebut menyajikan masakan Indonesia. Aku menjatuhkan pilihan pada nasi rawon dan jus apel untuk makan siangku ini.

Sambil menunggu pesananku datang, aku menatap interior restauran yang sangat domestik. Percampuran gaya interior Jogja dan Sunda. Wangi aromaterapi yang tak biasa membuat kepalaku sedikit rileks. Biasanya aromaterapi akan berbau bunga-bungaan atau buah. Tapi kali ini wanginya lebih mirip rempah-rempah. Entahlah rempah-rempah jenis yang mana, tapi wanginya jelas memberikan dampak baik bagi moodku yang belakangan ini tidak stabil.

"Hello mrs. Davrio,"sapa seseorang membuatku menoleh. Seketika aku membeku di tempat ketika menemukan seorang pria yang menjadi sumber masalahku dan Alex.

Raka!

Padahal aku sudah memilih restauran yang cukup jauh dari area kantor, kenapa masih saja bertemu dengan lelaki ini? Kalau Alex sampai tau...

"Hei?"tanya Raka yang menyapaku lagi ketika aku tak juga mengeluarkan kata-kata.

"Lo kok..bisa sampai sini?"tanyaku tergagap.

"Kebetulan perusahaan gue deket sini. Ini restauran langganan gue,"jawab Raka.

Oh crap! Dari sekian banyak restauran di Jakarta kenapa aku harus berakhir di restauran langganan Raka? Dan sekarang apa yang harus kulakukan? Aku tak mungkin langsung berlari menjauhinya dan meninggalkan kesan buruk setelah tadi malam suami sialku itu membentaknya.

"Boleh gue gabung sama lo?"tanya Raka.

Nggak! Kalau saja aku bisa mengatakan tidak. Tapi sayangnya aku disini juga tak tau alasan mengapa aku harus menolaknya kecuali karena Alex yang menyuruhku.

Aku terlihat mempertimbangkan permintaan Raka. Jujur saja kemungkinan Alex akan tahu, sangat kecil karena aku yakin Alex lebih memilih delivery order untuk lunch-nya daripada harus ke restauran. Lagipula lokasi restauran ini cukup jauh dari kantor Alex. Jadi risikonya minimal kan?

"Silahkan,"kataku akhirnya setelah memikirkan segala pertimbangan.

"Lo takut banget kayaknya sama gue? Pasti karena Alex?"tanya Raka.

Aku menunda menjawab pertanyaan Raka, ketika seorang pelayan menghampiri kami dan menanyakan pesanan Raka. Setelah pelayan itu mencatat pesanan Raka, barulah aku menjawab pertanyaannya.

"Lo tau sendiri kan Alex gimana? Memangnya kalian ada masalah apaan?"tanyaku.

Raka tersenyum. "You'll know, Naraya. Tapi nggak sekarang,"jawab Raka.

Aku mengernyit ketika mendengar jawabannya. Itu sama sekali bukan jawaban sebenarnya. Aku justru semakin ingin tau apa yang sebenarnya terjadi. Tapi sepertinya Alex dan Raka masih saja keukeuh menyimpan rahasia mereka. Kalau begini jalan satu-satunya adalah memaksa tiga sahabat Alex untuk mengatakan yang sebenarnya. Tapi, aku juga sangsi cara itu akan berhasil.

"It's not the right time, Nay. Don't push me or him. Just wait,"lanjut Raka.

Aku menatapnya tak mengerti. Kata-katanya seperti menyiratkan bahwa sesuatu akan terjadi. Sepertinya rahasia yang disimpan Alex dengan Raka bukanlah sesuatu hal yang kecil. Jika melihat dari reaksi Alex setiap kali bertemu Raka, sepertinya mereka mempunyai sesuatu yang tak terselesaikan.

"Kenapa harus nunggu? It's about you and Alex, right? Just tell me everything,"paksaku tak sabar.

Raka terkekeh. Jujur saja aku sedikit ngeri ketika mendengar suara tawanya. Entah mengapa telingaku seakan menangkap sinyal bahaya dari suara tawa itu.

"One day you'll know, girl. Just wait. He's moving right now!"kata Raka.

"He? Maksud lo Alex?"tanyaku semakin bingung dengan kalimat labirin yang diucapkan Raka.

Tapi Raka tak mengatakan apapun lagi. Aku menatap lelaki di depanku ini dengan penuh ingin tahu. Semua kalimat diucapkannya seakan seperti sebuah petunjuk bagiku. Tetapi aku sendiri tak tau apa maksud dari kalimat-kalimat itu.

Benarkah aku harus menunggu waktu yang tepat untuk mengetahui semuanya? Tapi kenapa?

"Trust me, it's freakin' worth it, Nay. Worth to wait,"lanjut Raka dan justru menambah puluhan pertanyaan di kepalaku.

Advertisement

And it leaves me wondering alone...

###

Aku pulang ke rumah agak terlambat hari ini. Beberapa bawahanku memberikan laporan berkala yang cukup menyita waktu. Kali ini aku benar-benar serius mereview laporan mereka. Aku takut jika terjadi sesuatu yang dapat membahayakan posisi perusahaanku lagi. Yah... menjadi direktur yang baik itu memang berat. Dan aku mengakui bahwa aku bukanlah direktur yang sempurna. Bahkan dulu aku tidak begitu serius ketika mereview pekerjaan bawahanku dan sempat membahayakan keadaan perusahaan.

I'm telling you the truth, i'm not smart enough for this position. Kurasa aku juga belum begitu siap menjadi seorang direktur disaat papa meninggal. Kepergian papa membuatku terpaksa mempelajari semua masalah manajemen dengan lebih serius. Aku tak menyangka papa akan secepat ini meninggalkanku dan memberiku sebuah tanggung jawab besar mengurus perusahaannya.

It was hard for me. Even now, I still wonder how can I get ride the burden of a director?

Aku menghembuskan nafasku pa jang tanpa sadar. Bahkan ini semua rasanya menjadi lebih berat ketika aku semakin memikirkannya. Sepertinya aku butuh berendam di air hangat agar pikiranku tidak melayang kemana-mana.

Tapi, harapan tinggallah harapan. Niatku untuk segera merasakan hangatnya air panas didalam bathtub sepertinya akan tertunda ketika aku melihat Alex duduk di sofa ruang keluarga. Seketika bulu kudukku merinding karena merasakan atmosfer situasi mulai berubah.

This can't be good.

Mata Alex menatap tajam ke arahku begitu dia mendengar suara langkah kakiku mendekat. Aku langsung mematung terdiam.

"Apa peringatan gue kemarin masih kurang jelas, Nay?"tanya Alex.

Aku menatapnya tak mengerti. Apalagi salahku kali ini? Aku sepertinya tidak bertemu dengannya hari ini dan otomatis aku tidak bertingkah yang aneh aneh yang membuatnya bisa marah seperti ini. Kecuali...

Oh crap!!!

Don't tell me...

"Lo ngikutin gue?"tanyaku langsung. Pasti lagi-lagi kali ini penyebabnya adalah Raka. Sia-sia aku berasa lega tadi siang ketika Alex tak muncul secara tiba-tiba ketika aku berbicara dengan Raka. Shit!!! Harusnya aku bisa memperhitungkan kemungkinan Alex akan mengikutiku.

Alex menyeringai. Entah kenapa seringainya membuatku bergidik ngeri. Seringainya mirip tokoh antagonis di film-film gangster yang sering kulihat.

"Jadi tanpa gue jelasin pun lo tau kan apa maksud gue?"tanya Alex.

"Shit!!! Jangan ikutin gue, brengsek!"umpatku marah.

Apa-apaan dia? Kenapa tingkahnya makin mirip psikopat gila ?

"GUE UDAH BILANG KAN KALAU LO HARUS JAGA JARAK DARI RAKA? WHERE'S THE PART IF MY WORDS THAT YOU CAN'T UNDERSTAND?"suara Alex mulai meninggi.

Aku balas menatap Alex dengan tajam. Kali ini aku benar-benar marah. Seenaknya saja dia mengikutiku dan melanggar privasiku. This damn jackass!!

"LO NGGAK PUNYA HAK UNTUK NGIKUTIN GUE!!"balasku tak kalah nyaring.

Alex tersenyum mengejek. Kemudian dia melemparkan sebuah amplop coklat besar di atas meja. Dia tidak mengatakan apapun. Tapi aku sendiri penasaran dengan isi amplop itu.

Akhirnya aku membuka isi amplop coklat tadi dan menemukan beberapa lembar foto. Lebih tepatnya fotoku dan Raka saat makan siang tadi.

Aku mendongak menatap Alex marah. "Lo sampai bayar orang untuk ngawasin gue?"tanyaku jengkel.

"Diam Nay! Gue nggak butuh pembelaan lo. Gue bilang untuk jaga jarak kan sama Raka?"tanya Alex dengan nada suara yang mulai meninggi.

For God's sake! Memangnya apa yang selama ini kulakukan? Aku juga berusaha menuruti perintahnya. Tapi entah mengapa Raka selalu saja muncul tiba-tiba di waktu yang tidak tepat? Dan sekarang Alex malah membayar orang untuk mengawasiku saking tidak percaya padaku?

"JANGAN IKUTIN GUE LAGI, FREAK!"bentakku semakin lepas kendali. Gila saja! Semua ini sudah membuat kepalaku sakit gara-gara stress.

"APA LO BILANG? GUE LAKUIN INI UNTUK ELO, NAY!"sekarang alex balas berteriak padaku.

"BUKAN GUE YANG MAU KETEMU RAKA! TAPI EMANG MUSUH BEBUYUTAN LO AJA ITU YANG TIBA-TIBA SELALU MUNCUL DI DEPAN GUE!"

"MAKANYA LO NGGAK USAH KELAYAPAN KEMANA-MANA!"

Aku tertawa sinis. Enak saja dia bilang aku kelayapan. Memangnya dia pikir aku tidak punya pekerjaan yang menumpuk di kantor?

"Kelayapan lo bilang?"tanyaku dengan nada sarkatis. Ingin sekali rasanya aku melempar stilletoku ke wajahnya yang menyebalkan itu. This douchebag!!!

"Buktinya lo berduaan sama Raka waktu gue nggak ada!"sentak Alex.

"GUE CUMA KEBETULAN KETEMU!"belaku keras.

"Kebetulan lo bilang? BERKALI-KALI DAN MASIH LO BILANG KEBETULAN?? DAN LO DENGAN SANTAINYA NGOBROL SAMA SI BRENGSEK ITU??"

"LO NGGAK BERHAK NGELARANG GUE UNTUK NGOBROL SAMA SIAPAPUN!"balasku sengit. Seenaknya saja dia mengatur seluruh hidupku. Apakah dia sekarang akan mulai membuat undang-undang yang bisa mengatur seluruh aspek kehidupan pribadiku? Aku bahkan tidak mengganggu kehidupan pribadinya. Mungkin lebih tepatnya tak peduli.

"GUE SUAMI LO NARAYA!!"teriakan Alex menggelegar. Aku yakin suara Alex akan terdengar sampai seluruh sudut rumah ini.

"LO BUKAN SUAMI GUE! LO CUMA PARTNER BISNIS GUE!!!"balasku lagi. Kali ini ucapanku sukses membuat Alex terdiam dan menatapku beberapa detik dalam keheningan diantara kami. Tapi walaupun hening, rasanya teriakan kemarahan kami tadi tetap menggema di dalam rumah ini.

Kulihat Alex menggeram pelan. Tangannya terkepal. Dan dalam satu gerakan cepat, Alex mencengkeram lenganku dan menyeretku. Memaksaku mengikuti langkahnya.

"LEPASIN GUE! LEPASIN GUE!"teriakku. Aku menahan kuat-kuat kakiku agar tak terseret Alex. Tapi sepertinya usahaku itu sia-sia. Alex masih bisa menyeretku.

"LEPASIN GUE, LEPASIN GUE! DASAR BANGKE LO, LEX!"aku sudah tak peduli dengan kata-kata yang aku ucapkan. Sepertinya kosakata umpatanku yang kuperoleh semenjak SMA sekarang sudah diujung lidah dan bersiap untuk kukatakan.

"LEPASIN GUE, LEX!"pintaku lagi ketika Alex mulai menyeretku untuk menaiki tangga.

"NGGAK AKAN!"balas Alex. Sekarang dia beralih memelukku dengan erat sambil membuatku terpaksa melangkahkan kaki alaupun mati-matian kutahan. Kakinya terkadang menendang kakiku agar kakiku melangkah maju.

"GUE BAKAL BUNUH LO, LEX!"ancamku lagi.

"GUE NGGAK TAKUT!"

"LEPASIN GUE, LEPASIN!!!"

"NGGAK AKAN, NAY! LO NGGAK AKAN GUE LEPAS!"

"DASAR PSIKOPAT GILA!"makiku.

"MEMANG GUE PSYCO!"Alex seakan sudah tak peduli dengan segala makian yang keluar dari mulutku.

Dan sekarang dia berhasil menyeretku hingga kamar kami. Dan dengan cepat dia menghempaskanku ke atas ranjang. Kemudian Alex berbalik dan mengunci pintu kamar dari luar.

Sial! Aku dikurung!

"KELUARIN GUE BRENGSEK!!!"teriakku sambil menarik handle pintu.

Sial! Sial! Si brengsek itu mengunci pintu dan membiarkanku terkurung di kamar. Apa-apaan dia???

Aku mendesis kesal. Biar saja aku dikurung. Aku yakin aku bisa mencari jalan keluar dari kamar ini. Yang pasti, nanti ketika aku sudah keluar dari kurungan ini, hal pertama yang akan kulakukan adalah membalas semua perlakuan Alex!

Wait me, douchebag!

###

Alex's pov

Raka sialan!

Mau apa si bangsat itu menemui istriku lagi? Bukankah ancamanku sudah jelas? Aku tak akan tanggung-tanggung menghajarnya atau bahkan membunuhnya kalau dia tak mendengarkan kata-kataku?

Aku menjambak rambutku frustasi. Masih kubayangkan di kepalaku teriakan-teriakan Naya dari dalam kamar kami. Dan serangkaian sumpah serapah yang keluar dari mulutnya itu tidak lantas meluluhkan hatiku untuk membuka pintu yang sengaja kukunci. Paling sebentar lagi dia akan kelelahan dan berhenti dengan sendirinya. untung saja kamar kami dilengkapi dengan dinding kedap suara. Sehingga aku tak harus mendengarkan teriakan Naya itu ketika aku keluar kamar.

Dengan tergesa, aku melangkahkan kakiku ke ruangan kerjaku. Aku perlu menelepon Kevin untuk meminta bantuan orang-orang kepercayaannya untuk mengawasi rumahku. Kurasa langkah awal untuk mengantisipasi segala hal yang mungkin akan dilakukan Raka adalah dengan meningkatkan penjagaan.

"Kev, suruh suruh orang-orang lo ngawasin rumah gue. Gue nggak nyangka ternyata Naya bisa seliar ini. The first plan didn't work! Cuma ngawasi dia aja ternyata nggak cukup! Akhirnya sejarang dia gue kurung di kamar!"

"Dammit! Lo nggak perlu sekejam itu Lex! Lo malah bikin dia tambah benci sama lo!"

"Kev, don't tell me what I need to do! Sekarang juga kirim orang-orang lo ke rumah gue!"

Kudengar Kevin menghembuskan nafasnya panjang. "Lex, kalau emang Naya nggak bisa lo pegang, lepasin. Lepasin dia, Lex. Gue rasa suatu saat lo berdua akan lelah dengan semua ini. Ini belum ada sebulan kalian menikah dan situasi udah separah ini,"ucap Kevin.

"Kev, gue nggak minta lo ngasih gue saran untuk yang satu ini! And sent your damn bodyguard!!"ucapku ketus. Aku kali ini memang tak membutuhkan sarannya. Kalau sarannya itu adalah untuk melepaskan Naya, tentu saja aku akan menolaknya.

Definetely No!

Susah payah aku membuat Naya berada dalam radius pengawasanku dan sekarang aku harus melepaskannya? Setelah banyak pengorbanan yang aku lakukan?? Selama ini aku sudah terlalu bersabar untuk terus mengawasi Naya dari kejauhan tanpa ketara. Begitu aku tau bahwa perusahaannya hampir kolaps, aku melihatnya sebagai suatu peluang yang bisa kumanfaatkan untuk menjadikan Naya milikku. Dan sekarang Kevin bilang aku harus melepaskannya?

"Gue bilang ini karena lo sahabat gue, Lex. Sudahi semua sandiwara lo ini, Lex. Ada baiknya kalau lo bilang ke Naya semuanya. Semua fakta yang lo tau tentang dia dan ayahnya. Lo nggak bisa selalu bertingkah kalau lo orang yang baru saja memasuki kehidupan Naya, padahal faktanya lo udah terlalu jauh masuk kehidupan dia. Bahkan lo nggak bisa memberikan alasan yang tepat ke Naya untuk menjauhi Raka,"lanjut Kevin.

Aku menggeram. Apa yang dikatakan Kevin memang benar. Tapi ini bukan saat yang tepat membuka kartu truf kepada Naya. Dia masih belum siap untuk menerima semuanya.

Yang bisa kulakukan saat ini adalah mencoba segala cara untuk membuat Naya stay still. Meskipun mungkin dengan cara yang agak memaksa, tapi jika itu membuat Naya akan tetap berada di dekatku, aku akan tetap melakukannya.

"Gue nggak bisa, Kev. Gue nggak akan tega untuk bilang yang sebenarnya ke Naya,"kataku. Rasanya kerongkonganku berubah menjadi kering ketika membayangkan Naya dengan airmatanya.

    people are reading<TGS 1st - Silly Marriage>
      Close message
      Advertisement
      You may like
      You can access <East Tale> through any of the following apps you have installed
      5800Coins for Signup,580 Coins daily.
      Update the hottest novels in time! Subscribe to push to read! Accurate recommendation from massive library!
      2 Then Click【Add To Home Screen】
      1Click