《TGS 1st - Silly Marriage》Chapter 6a - The Accident (1)
Advertisement
Lebih cepat satu hari nih. hehehe. Selamat membaca :)
xoxo- shamlia
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Alex's pov
Aku tidak pulang semalam. Aku menginap di apartement Victor. Temanku itu menatapku heran ketika aku muncul di depan pintu apartemennya pukul tujuh malam. Sebenarnya hari ini tidak begitu banyak pekerjaan di kantor dan seharusnya aku sudah bisa pulang sejak pukul empat sore. Tapi, aku sengaja pulang menjelang jam enam sore dan melajukan mobilku ke apartement Victor. Sepertinya pulang ke rumah bukan suatu opsi yang memungkinkan untuk keadaan seperti sekarang.
Dan untungnya Victor tidak bertanya macam-macam ketika aku mengatakan akan menginap di apartemennya semalam. Dia hanya menyodorkanku segelas alkohol dan kami minum bersama sambil mengomentari pertandingan sepak bola antara Arsenal dan Liverpool yang sedang tayang di televisi. Dan ketika pertandingan bola itu berakhir, aku dan Victor memilih bermain playstation untuk membunuh waktu.
Dan entah jam betapa akhirnya kami berdua tertidur di atas karpet di depan televisi yang masih menyala menampilkan game yang belum selesai kami mainkan.
"Lo nggak mandi?"tanya Victor pagi ini ketika aku baru saja keluar dari kamar mandi setelah membasuh mukaku dan gosok gigi.
"Nggak! Gue habis ini mau balik ke rumah dulu baru ke kantor. Gue mandi di rumah aja,"jawabku sambil duduk di hadapan Victor yang sudah menyiapkanku sepiring roti bakar hangat dan kopi.
"Kalau lo mau Naya tunduk, gue rasa lo perlu pakai cara keras,"ucap Victor membuatku berhenti mengunyah roriku. Sepertinya dia sudah bisa menduga apa masalahku hingga aku harus menginap di apartemennya.
"I've tried that one! Gue udah pernah pakai cara keras, tapi Naya justru berbalik nyerang gue. Makanya gue memilih diam,"jawabku.
"Yah, memang nggak semudah mantan-mantan lo yang lain, tapi Naya pasti bisa dijinakin,"kata Victor.
Yeah, Naya memang beda dengan mantan-mantanku yang pada dasarnya sudah jatuh cinta setengah mati denganku hingga apapun yang kukatakan, mereka selalu menurut. Naya memiliki karakter lebih agresif dan berprinsip tinggi. Harga diri dan egonya merupakan salah satu yang harus ditaklukan untuk mendapatkan dia.
"Ini yang bikin gue enggan berurusan dengan cewek-cewek mandiri seperti Naya. Mereka terlalu menjunjung tinggi ego dan harga dirinya. Mereka terlalu menjaga dirinya sendiri supaya nggak sakit hati,"lanjut Victor.
"Yeah her pride! Gue rasa itu yang membuat dia mati-matian mempertahankan keperawanannya,"ucapku.
Victor menatapku tak percaya. "Are you crazy??? Come on! Ini udah hari ketiga lo nikah sama dia. Lo tinggal ikat dia dan lakukan! Itu nggak sulit kan untuk seorang penakluk wanita seperti lo?"
"Itu lebih mirip memperkosa! Gue pengen dia sendiri yang menyerahkan dirinya ke gue!"
"Lo harus buat dia jatuh cinta sama lo!"
Aku menatap Victor. Jatuh cinta? Hell no! Bahkan aku nggak berpikir sekalipun untuk membuat Naya jatuh cinta. Cara yang terlintas di otakku selalu saja tak jauh-jauh dari pemaksaan, pemerkosaan, atau BSDM.
"Gue rasa itu sulit. You know where our relationship starts from. Gue aja nggak yakin gue bisa jatuh cinta sama dia,"kataku sangsi.
Victor menatapku tajam dan membuatku tak nyaman dengan tatapannya. "Dari awal aja sebenarnya kalian udah saling tertarik. Cuma kalian aja yang terlalu gengsi dan egois. Try to keep your ego in, dude. It's not really hard to open up your heart for her."
Aku mendesah panjang. Mungkin saran Victor itu akan mudah jika dijalankan oleh dua orang yang tidak memiliki pride dan ego yang tinggi seperti aku dan Naya. It's not gonna work for us. Aku dan Naya? Seems difficult. It's like trying to make sense from a non-sense thing.
Us? Yes, it seems so non-sense.
###
Kejutan!
Ketika aku sampai di rumah, aku melihat Naya masih terdiam di ruang keluarga. Matanya menatap layar televisi namun aku tau bahwa pikirannya sedang tidak fokus pada pembbaca berita yang membacakan warta mengenai pembukaan harga saham hari ini. Dari penampilannya, Naya tampaknya sudah siap berangkat ke kantor. Tapi dia sepertinya masih enggan beranjak dari sofa.
Advertisement
Untuk beberapa saat aku hanya terdiam di ambang pintu dan menatap istriku itu. Naya belum menyadari kejadiranku. Dia masih tetap menatap layar televisi. Setelah sekian lama terdiam, akhirnya aku memutuskan masuk ke kamarku tanpa menyapa Naya.
"Lex!"panggilan Naya terdengar ketika dia mendengat derap langkahku.
Aku tak menjawab panggilannya. Aku juga tak berhenti melangkahkan kakiku ke kamarku. Bisa kudengar langkah kaki Naya yang setengah berlari di belakangku.
"Semalem nginep dimana?"tanya Naya yang berdiri di sebelahku ketika aku sibuk menyiapkan pakaianku untuk bekerja. Kudnegar nafasnya yang memburu karena berlari mengejarku. Tapi aku masih enggan menjawab pertanyaannya.
"Kemeja dan celana kamu udah aku siapin di atas ranjang,"lanjut Naya lagi. Dia menyiapakan bajuku? She must be so damn guilty.
Tapi aku masih enggan mengeluarkan kata-kata. Aku segera menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi. Selama di kamar mandi tidak banyak hal yang mampu mengubah pikiranku. Nyatanya air dingin yang mengguyur kepalaku masih saja tidak bisa membuat emosiku reda. Biar saja wanita itu merasakan bagaimana rasanya bersalah!
Damn you woman!
Dan ketika aku keluar dari kamar mandi, tidak kutemukan sosok Naya di kamar. Sepertinya dia sudah berangkat ke kantor terlebih dahulu. Tapi, aku menemukan secarik kertas di atas kemejaku yang terlipat rapi di atas tempat tidur.
maaf, Lex.
Aku mendesah panjang melihat tulisan tangan Naya. Entah apa yang membuatku begitu marah pada Naya. Seharusnya kalau hanya masalah sepele seperti kemarin kan aku tidak akan semarah ini. Bahkan aku sendiri pun bingung dengan diriku.
Kata-kata yang terlontar dari bibir Naya kemarin membuatku tercabik di dalam. Seperti ada ribuan paku yang menancap di sekujur tubuhku. Serendah itukah dia menatapku? Bahkan mungkin dalam otaknya aku tidak dianggap ada. Lalu untuk apa usahaku selama ini? Selama ini aku selalu memastikan keadaannya diam-diam. Menyuruh anak buahku yang mengawasinya. Aku tau saat dia benar-benar hancur ketika Papanya meninggal. Bahkan aku tau setiap perjuangannya untuk membuat perusahaan papanya tetap bertahan. Dan aku bersedia membantunya karena tak tahan dengan segala pemberitaan media yang menganggap bahwa kelangsungan Farian Pulp and Paper terancam. Aku tak sampai hati membayangkan jika Naya harus kehilangan satu-satunya peninggalan papanya.
Dan apa yang ku dapat sekarang?
It hurts, Nay!
Memikirkannya saja membuat darahku kembali mendidih. Lebih baik memang aku tidak kembali ke rumah dulu selama beberapa hari. Mungkin aku perlu menghubungi Victor nanti untuk memintanya menyediakan apartemennya untukku menumpang selama beberapa hari
###
Naya's POV
Darn!!
Selama seharian ini aku tidak dapat berkonsentrasi dengan semua pekerjaanku. Dan akhirnya kuputuskan untuk keluar sejenak dari kantor saat jam makan siang. Aku memilih kafe kecil di seberang kantor sebagai tempat menyendiri.
Kenyataan bahwa Alex belum menghubungiku maupun menemuiku hingga detik ini membuatku bertanya. Apakah dia membaca pesan yang kutinggalkan di secarik kertas? Atau dia masih tidak ingin memaafkanku?
Kenapa masalah sepele seperti kemarin bisa membuatnya menjadi marah sekali hingga melebihi wanita yang sedang PMS? Padahal kukira dia akan tetap seperti biasanya. Tertawa lebar walaupun aku berteriak atau memakinya. Aku tak menyangka bahwa dia akan marah sekali. Akan lebih baik untukku jika dia mengancamku seperti biasanya daripada mendiamkanku dan menganggapku tidak ada. You know... aku tak biasa dianggap invicible. Everyone must be noticing me wherever I am. Dan sekarang ketika permintaan maafku hanya dianggap angin sepoi-sepoi saja rasanya... memuakkan. Aku juga ingin marah. Tapi tidak mungkin aku marah pada Alex sementara aku berusaha meminta maaf padanya.
Sigh!
Aku menghembuskan nafasku panjang. Aku berusaha mengembalikan konsentrasi otakku pada laptop yang menyala di hadapanku. Sambil menyesap minumanku, aku menatap angka-angka yang terpampang di layar. Kemudian aku menggerakkan jemariku di atas keyboard. Sebuah laporan dari manager pemasaran terbuka di layar laptop. Perkembangan penjualan perusahaan akhir-akhir ini meningkat. Meskipun belum begitu pesat, tapi hal ini disambut baik oleh investor yang tadinya sudah mulai kepanasan karena melihat harga saham yang turun.
Advertisement
Tak bisa dipungkiri, ini semua berkat Alex. Lelaki itu bahkan memperbaiki SOP perusahaanku sehingga bisa meminimalisir kecurangan. Harus kuakui, Alex adalah pria yang pandai. Beda denganku yang sudah menghabiskan waktu tujuh tahun untuk menyelesaikan S1 dan S2-ku di jurusan Manajemen bisnis dan MBA, nyatanya malah masih saja gagal dan sempat membahayakan keadaan perusahaan. Kalau saja Papa masih hidup...bahkan mungkin Papa akan bangga sekali memiliki menantu seperti Alex.
"Sendirian, Nay?"tanya seseorang membuatku tersentak dan melepaskan pandangan dari layar laptop.
"Raka? Ngapain lo disini?"tanyaku sedikit kaget karena pria ini hadir di hadapanku.
"Boleh gue duduk disini?"tanya Raka menunjuk kursi kosong di hadapanku.
Aku menatapnya bimbang. Aku ingat kata Alex bahwa aku harus jaga jarak dengan lelaki ini. Tapi, apa alasannya? Aku tak mungkinkan menolak orang padahal aku tak tau masalahnya.
"Silahkan,"kataku pada akhirnya.
"Makan siang, Nay?"tanya Raka.
"Nggak. Cuma butuh refresh,"jawabku. "Lo sendiri nggak makan siang?"tanyaku.
"Kebetulan gue tadi ketemu salah satu investor di private room. Jadi gue udah makan tadi,"jawab Raka.
Aku mengangguk tanda mengerti. "Coffee?"aku menawarkan pada Raka.
"Mocca Frappucino,"kata Raka.
Aku memanggil salah satu waitress dan menyebutkan pesanan Raka dan memesan cheese cake untuk kami berdua. Tak lama kemudian pesanan kami datang.
"Gue lihat harga saham perusahaan lo naik kemarin? Closing price-nya cukup tinggi kalau dibandingkan dengan perusahaan lain dengan industri yang sama,"kata Raka.
Aku tersenyum. Ya! Kemarin Harga penutupan saham perusahaanku naik meskipun masih tipis dibanding harga pembukaan di pagi hari kemarin. Dan tadi pagi, perusahaanku menjadi sorotan media karena kenaikan yang cukup dramatis jika ditilik dari beberapa waktu yang lalu ketika harga saham sempat menurun.
"Itu gara-gara bantuan Alex,"jawabku spontan. Tapi kemudian aku menyesali jawaban yang kuberikan. Seharusnya aku tak menyebutkan nama Alex. Kalau begini bisa-bisa akan memperkuat spekulasi media bahwa pernikahan kami adalah pernikahan bisnis (walaupun itu faktanya, tapi paling enggak image pernikahan kami nggak terlihat seperti itu dimata publik).
"Alex ya... suami lo itu memang berbakat dalam dunia bisnis. Lihat aja kemajuan Davrio Construction di bawah pimpinan Alex. Gue nggak akan heran kalau sebentar lagi jabatan presdir Davrio Group bakal beralih ke Alex,"ucap Raka.
"Emang sebenarnya lo dan Alex ada hubungan apa?"tanyaku penasaran.
"Alex teman lama gue. Tapi karena ada sedikit masalah di masa lalu, kami jadi sedikit berselisih paham hingga sekarang,"jawab Raka yang justru membuatku makin penasaran.
"Yah... melihat karakter Alex sih gue nggak akan heran kalau dia punya banyak musuh,"celutukku.
Raka terkekeh geli. "Seharusnya lo takut dong kalau suami lo punya banyak musuh. Mungkin harusnya lo dikawal bodyguard kemana-mana."
"Gue bisa jaga diri sendiri kok, Ka. Lagian musuh Alex nggak mungkin mengincar gue kan? Dia kan punya masalahnya sama Alex bukan sama gue,"ucapku.
"Justru, lo yang lebih terancam bahaya dibanding Alex. Lo nggak akan sanggup membayangkan apa saja cara yang akan dipakai musuhnya Alex untuk nyakitin dia. Salah satunya dengan cara menghancurkan lo, Nay,"cetus Raka.
Aku terdiam mendnegar ide yang keluar dari bibir Raka. Terdengar menakutkan bagiku. Mungkinkah aku juga akan terlibat masalah dengan musuh-musuh Alex. Bukannya dengan menjadi istri Alex justru akan membuat orang-orang jahat menyingkir karena tak berurusan dengan pewaris Davrio Group?
"Sebaiknya lo mulai hati-hati, Nay. You can't imagine whatever the enemies will do to torture you and Alex,"pesan Raka.
Torture? Gila! Mendengar kata itu aku jadi membayangkan sederet penganiayaan yang mungkin saja terjadi. Mungkin saja nanti mobilku disabotase, atau mungkin ada yang memasukkan racun ke dalam minuman atau makananku.
"NARAYA!!!"
Satu seruan keras membuatku tersentak kaget dan menatap ke sumber suara.
Oh my God!
Alex berdiri di depan pintu kafe. Dan sepertinya keadaan semakin buruk dengan tampang Alex yang terlihat marah. Bahkan lebih marah ketika kemarin dia membentakku di kantor.
Disaster 911's approaching!!
Aku semakin gelisah ketika Alex mendekat ke arahku. Dengan gugup aku segera membereskan laptopku dan memasukkannya ke dalam tas. Lebih baik segera menyeret Alex pergi dari sini sebelum dia meledak tanpa henti.
"GUE UDAH BILANG KAN KALO JANGAN DEKET-DEKET COWOK INI!"suara Alex terdengar lebih tinggi dibanding kemarin ketika dia memarahiku. Tangannya menunjuk Raka yang masih dengan tenang duduk di tempatnya.
"Lex, please...gue bisa jelasin. Please...lo jangan marah dulu,"mohonku dengan terbata. Baru kali ini aku melihat Alex super duper marah. Kemarahannya yang kemarin saja aku masih belum tau cara menenagkannya. Dan sekarang ini kemarahan Alex mungkin mencapai level 100%.
Alex menyingkirkan tanganku dengan kasar sehingga aku tersaruk ke samping. Untungnya aku tak sampai jatuh.
"Denger gue baik-baik! Kalo gue masih lihat lo deket-deket istri gue, gue pastiin gue sendiri yang bakal bikin lo mati!"ancaman itu terdengar menakutkan. Suara Alex memang sudah menurun dibanding tadi, tapi atmosfer kemarahannya justru terlihat semakin mengerikan. Apalagi dengan ancaman yang baru saja keluar dari bibirnya. Bahkan walaupun beberapa orang nampak tertarik pada ribut-ribut yang ditimbulkannya, Alex tampak tak peduli. Matanya menatap nyalang Raka.
"Lex, udah Lex. Please...,"aku masih memohon pada Alex. Kucengkeram jas hitam yang dipakainya.
"Pulang!"perintah Alex padaku. Dengan kasar, Alex menarik tanganku dan keluar dari kafe itu. Setidaknya aku bisa sedikit lega karena Alex tidak melanjutkan kemarahannya di depan umum. Entahlah apa apa yang akan terjadi padaku selanjutnya.
Ketika kami berdua berada di mobil pun, Alex masih saja bungkam. Dia tidak menoleh padaku. Dia justru mengendarai mobilnya keluar dari area kafe. Sementara aku terdiam di bangkuku sambil mencuri pandang pada Alex. Dari samping saja hawa kemarahannya sudah menakutkan. Dan aku cukup penasaran apa yang ada di otaknya. Apakah ini berarti kesalahanku bertambah lagi?
Dan ketika mobil Alex memasuki halaman rumah, aku tau bahwa kali ini kami akan lebih lama berdebat. Aku segera mengetikkan satu sms pada sekertarisku untuk memberitahunya bahwa aku kemungkinan akan terlambat kembali ke kantor.
"Turun!"perintah Alex ketika mobilnya telah terparkir di carport.
"Lex, kita nggak perlu...,"baru saja aku akan membantah perintahnya, Alex sudah menatapku tajam.
"Gue bilang turun, Nay! Masuk rumah!"perintahnya lagi.
Aku menggeram. Ugh! This jerk!!
"Alex! Gue nggak mau!"balasku tak kalah marah.
Kudengar Alex berdecak. Kemudian dia turun dari mobil. Kukira dia akan meninggalkanku sendiri di mobil, tapi nyatanya, dia membuka pintu di sampingku dan melepaskan seatbeltku dengan cepat. Aku berusaha bertahan tetap duduk di dalam mobil ketika Alex memaksaku keluar. Dia benar-benar menarikku hingga bekas-bekas cengkeraman tangannya terlihat merah di pergelangan tanganku.
Aku terus meronta ketika Alex merangkulku dengan paksa dan memaksaku masuk ke rumah dan berakhir di kamar kami. Seberapa keraspun usahaku meronta, Alex dengan mudahnya menyeretku. Sepertinya usahaku sia-sia.
"Gue udah bilang kan kalo lo harus jauh-jauh dari Raka!"suara Alex kembali meninggi.
"Kenapa?"tanyaku berusaha menahan emosiku. Tapi melihat wajah menyebalkan milik suamiku itu membuat darahku mendidih tak terkendali. "KENAPA LO JADI NGATUR-NGATUR GUE??!! LO NGGAK PUNYA HAK UNTUK NGATUR GUE, LEX!"
"GUE SUAMI LO, NARAYA!"
Oh shit! He's right! Tapi itu tidak lantas membuatnya bisa seenaknya mengatur hidupku kan? Apalagi status suami-istri ini bukan keinginanku. Ini hanya bagian dari bisnis. Dan sekarang dia berkata seolah-olah kami menikah karena cinta. Cih!
"MULAI SEKARANG LO HARUS IKUTI PERINTAH GUE, NAY! KALO GUE LIHAT LO NGELANGGAR, LO LIHAT APA YANG BISA GUE LAKUIN!"
"GUE NGGAK TAKUT!"balasku tak kalah marah.
"GUE LAGI NGGAK MAU DIBANTAH, NAY!"
"LO PIKIR GUE MAU NURUTIN LO?"
"NARAYA!"kali ini suara Alex lebih tinggi lagi. Membuatku seketika terdiam. Wajah playboy flamboyan yang biasanya terlihat, sekarang ini sudah berubah menjadi wajah penuh kemarahan dengan rahang mengeras. Sepertinya kemarahannya barusan masih lima puluh persennya saja.
"Lex, kenapa lo bikin semua ini lebih susah padahal seharusnya simple? Kita menikah , Lex, tapi karena bisnis. Bukan karena cinta,"kataku pelan. Aku terduduk di atas ranjang. Kepalaku terasa pening dan tidak bisa berpikir jernih.
"Akan lebih mudah kalau lo nggak membantah gue, Nay,"balas Alex.
Aku mendesah panjang. Kututup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Rasanya badanku langsung letih setelah pertengkaran kami. Dan ketika kudengar suara langkah Alex, aku tau bahwa dia sedang menyingkir dari hadapanku. Mungkin dia ingin memberikan waktu untukku dan dirinya sendiri. Kami sama-sama lelah dan butuh waktu.
Aku merebahkan badanku ke atas ranjang. Dan tanpa terasa air mataku keluar. Aku segera menutup wajahku dengan menenggelamkannya ke bantal empuk yang saat ini menjadi sandaran terbaikku. Rasanya sudah lama sekali ada seseorang berteriak marah padaku seperti tadi. Bahkan Papa dulu tak pernah semarah itu padaku. Apakah aku benar-benar salah kali ini?
Tapi, ketika Alex berteriak marah tadi, harus kuakui bahwa hatiku sakit. Aku bahkan tadi sempat berharap bahwa dia akan sedikit melunak karena aku istrinya. Setidaknya setelah pertengkaran kami tadi, aku jadi tau satu hal. Alex adalah orang nomor satu yang harus kuwaspadai saat ini!
Damn you, badass!
3#####
Advertisement
Over & Over
Luke Thomas has a regular poor life. His girlfriend has just left him and his job has come to an abrupt end. He now has about two months worth of money and nothing to live for in the poorest part of town. He's lost everything so fast he can barely bring himself to care about improving his situation. God knows if you start out poor you end poor in this city, and his end was going to be coming quickly. As quickly as the concrete was rushing towards him.
8 208My Arranged Billionaire Husband
Aria Brown is a 25 years old introvert. She works as an architect in Moretti constructions. Lives alone in Newyork. Neelam and Anna are her best friends. Her mom is adamant to get her married as soon as she turns 25.she has a small crush on her boss Allesandro Moretti.Allesandro Moretti, 27 years old. CEO of Moretti constructions. He is known as cold, and ruthless in the buisness world. Loves his family dearly even though they are pushing him to get him married.What will happen when their parents decide make them meet??Follow their journey will they found love? Or will it end right before even starts?
8 886Wasted Times☯︎︎.
𝐼 𝑑𝑜𝑛'𝑡 𝑤𝑎𝑛𝑛𝑎 𝑤𝑎𝑘𝑒 𝑢𝑝... 𝐼𝑓 𝑦𝑜𝑢'𝑟𝑒 𝑛𝑜𝑡 𝑙𝑦𝑖𝑛𝑔 𝑛𝑒𝑥𝑡 𝑡𝑜 𝑚𝑒 ♲︎.
8 209Kohaku No Atarashi Sekai (New World Confessions)
Noa Imai is a second year transfer student who is coming to terms with the cultural differences between how love is portrayed and expressed in the States compared to Japan. This is a note set here to inform that I've posted this story on 2 other platforms. WATTPAD AND WEBNOVEL All others are fake unless further updates are made.
8 353Just Friends
Marinette had gotten over her feelings for Adrien since she realized that it would never lead to anything. She was just too shy, and getting over her crush would get rid of the awkward tension in her head. So she did just that, erasing her feelings from her heart, shoving them to the deepest part of her mind.Now that those feelings were away, she was able to act the way she wanted. The friendly girl who loved fashion and had the daily job of saving Paris.Adrien, now seeing Marinette's true self begins to see her in a new light. But what if these feelings can't be reaprociated.Best accomplishments:#1 Marinette #1 Ladynoir#1 ladybugchatnoir #1 Chat#1 Adrien#1 Adrienette#1 Chatnoir ________*Smut warning, aggressive language, and violence*
8 207Short Circuit (Riders Of Tyr # 7- MC Romance)
Stig loved two things since he was a kid: his laptop and bikes. What started as curiosity, ended up being his life for both those things. When he left his family in Sweden on his Harley to travel the world, he never knew he would settle in California and become a Rider of Tyr. But he had been through some shit and he needed a haven. The Riders provided that and he offered his skills. His plan? Play games, smoke pot, do his job, have fun. And keep his secret.Nathan is a lone wolf and there are a million reasons how he ended up like that. In his line of work, being alone is better and he aims to be effective. But even lone wolves need to hunt with company sometimes. When his company is a tempting pierced hacker, Nathan has a plan: get the job done and leave. Both will find out that plans don't always work.
8 52