《Yes! Mr. Husband [Season 2]》5. Five
Advertisement
"Nanti kalo Al duluan dijemput, Al tungguin Mauren yaa," pinta Mauren penuh harap. Ia tau kalau sifat Al 11/12 dengan Abangnya, tidak peduli dengan sekitar selain keluarganya sendiri.
Tetapi apa salahnya ia berusaha membujuk bocah laki-laki itu, sambil berharap, semoga saja Papanya yang datang lebih dulu.
Di teras kelasnya, kini tersisa mereka berdua yang masih menunggu jemputan orang tuanya.
"Tidak mau, Al sudah pengin cepat-cepat pulang," tolak Al to the point.
"Nanti kalau Mauren yang dijemput duluan, Mauren mau kok tungguin Al dijemput." Anak tunggal dari Lita dan Arvin itu masih saja gencar membujuk Al, ia tidak akan menyerah begitu saja.
"Tidak perlu, Al bisa tunggu sendiri."
"Al kok gitu? Mama Mauren sama Bundanya Al 'kan berteman, jadi kita harus berteman juga."
Al berdiri dari duduknya, "tidak mau!" ia melipat kedua tangannya didepan dada, "Mama Mauren sama Bundanya Al 'kan sama-sama perempuan."
"Terus? Mauren harus berubah jadi laki-laki dulu, biar Al mau temenan sama Mauren?" tanyanya.
"Memangnya kita harus berteman? 'Kan Mauren bisa cari teman lain."
Mauren semakin menekuk wajahnya, "teman Mauren udah pulang semuanya, cuma Al yang masih disini."
"Menunggu jemputan tidak harus berteman dulu 'kan?"
"Tidak harus berteman, tapi nanti Al mau 'kan nunggu Mauren kalau Papa belum jemput?" tanya Mauren penuh harap.
"Tidak."
Persis jiplakan Bundanya, sekali tidak tetap tidak.
"Loh, Al, Mauren kok belum pulang, sayang?" tanya Bu Venika, guru TK mereka.
Keduanya kompak menoleh, "Papa Mauren belum jemput," balasnya.
"Al sama, belum dijemput juga?"
Al hanya mengangguk saja, toh jawabannya sudah diwakilkan oleh Mauren.
"Mau pulang bareng Ibu? Nanti Ibu anter ke rumah," tawarnya.
"Tidak mau," tolak Al tanpa pikir panjang.
"Kenapa?"
"Bunda tidak suka ada perempuan lain ke rumah."
Bu Venika menghela nafasnya, niat hati cari perhatian ke Ayah Al, malah anak itu lebih bucin ke Bundanya.
"Ibu 'kan cuma nganterin Al, nggak ikut masuk ke rumah." ia masih saja berusaha membujuk bocah itu.
"Tidak perlu, Al masih mau menunggu Ayah kok."
"Oke, Ibu temenin kalian aja ya."
Mauren mengangguk sambil tersenyum lega, akhirnya ia tak perlu susah payah membujuk Al agar mau menemaninya menunggu jemputan. Karena sudah ada Bu Venika yang siap sedia.
Dari 45 anak di kelasnya, kenapa harus Al yang sama-sama terlambat dijemput?
Sungguh, menunggu menjadi lebih tidak enak, jika harus bersama Al. Si bocah anti sosial yang susah sekali dibujuk.
Tak lama kemudian, mobil Ayah Al memasuki pekarangan TK, membuat senyum Al sontak melebar dan merekah. Berbeda dengan Mauren yang justru semakin cemberut, karena ternyata Papanya lebih lama dari Ayah Al.
Shella keluar dari mobil dan langsung menghampiri anaknya yang wajahnya sudah memerah karena kelamaan di luar ruangan. "BABBY AAAALLLL, lama yah nunggu Bunda?" tanyanya sambil mengusap keringat di sekitaran dahi anaknya.
Al menggeleng, "NO BABBY, Al sudah besar, Bundaaaaa," rengeknya. Ia tidak mau lagi mendengar panggilan Babby Al, apalagi di depan teman-temannya, terlebih Mauren.
Advertisement
Shella terkekeh gemas, "Oke, mianhae."
"Baiklah. Ayok pulang," ajak Al dengan semangat, benar-benar tidak peduli dengan satu temannya yang masih menunggu jemputan.
Shella beralih kearah Mauren, yang sedari tadi memperhatikan interaksinya dengan Al. "Mauren pulang bareng Onty Shella ya, tadi Mama Mauren yang minta tolong."
"Memangnya Papa Mauren dimana?" tanyanya.
"Papa Mauren lagi banyak kerjaan, jadi nggak bisa jemput Mauren. Nggak papa kan pulang sama Onty? Nanti Onty anterin sampe rumah."
Bukannya langsung menjawab, Mauren justru menatap Al yang juga sedang meliriknya. "Al nggak papa?"
"Kenapa?" Al balik bertanya.
"Nggak papa kalau Mauren ikut pulang bareng?"
"Loh, memangnya kenapa? Al suka nakal yah sama Mauren?" tanya Pak Arkan yang juga sudah ikut menimbrung. Membuat senyum Bu Venika semakin dibuat semanis mungkin.
"Tidak. Al tidak pernah nakal, memang Mauren saja yang mau caper sama Ayah sama Bunda," balas Al tak suka.
"Eh, nggak boleh gitu ngomongnya," tegur Ayahnya.
Al menghela nafasnya, "sudah, ayo pulang, Ayah. Al sudah panas menunggu Ayah yang lama jemputnya."
"Salahin Bundamu yang tadi mampir dulu buat beli printilan Papi Papi virtualmu itu."
Shella langsung menyengir tanpa dosa, mengabaikan raut muka suaminya yang kusut, seperti uang kembalian angkot.
"Papi Jaemin?" tanya Al antusias.
Shella mengangguk, tak kalah antusias dengan anaknya.
"Wah, nanti Al mau lihat ya, Bunda."
"Siaaappp."
Bu Venika berdehem, berniat untuk nimbrung. "Bu Shella masih suka Korea-Korea?" tanyanya.
"Sudah tertanam, Bu, susah ilangnya," balas Pak Arkan, sedangkan Shella hanya balas tersenyum.
Bukan Shella tak peka, dengan senyum guru TK anaknya itu. Ia berkali-kali memperhatikan Bu Venika yang tengah senyum-senyum kearah suaminya.
Berkat Dessyluman, ia jadi hafal di luar nalar dengan bibit-bibit pelakor yang meresahkan.
The real, semua pasti ada hikmahnya.
"Ya, sudah, makasih ya Bu, sudah nemenin Al sama Mauren."
Shella melirik suaminya tak suka, tapi ia harus pura-pura manis didepan Bu Gurunya Al itu.
"Sama-sama, Pak."
"Bu Shella, Al nya bisa lebih diperhatikan ya. Saya rasa dia punya potensi besar kalau orang tuanya mau telaten membimbing," ujarnya pada Shella.
Shella tersenyum sok manis, "tenang aja, Bu, saya lebih tau tentang anak saya."
Bu Venika balas tersenyum, "kalau bisa Koreanya dikurangi, Bu, biar fokus ke anaknya nggak kebagi."
"Sepertinya mengatur kesenangan orang tua murid, bukanlah tugas seorang guru TK. Betul begitu?" tanya Shella.
"Betul, Bu, saya cuma berniat perhatian sama Al. Saya dulu juga suka Korea, tapi sekarang sudah dikurangi, karena ada banyak hal yang lebih penting."
"Mungkin kalau Bu Shella ada niatan ngilangin kebiasaan itu, nanti juga terbiasa."
Shella tersenyum tipis, "sebelumnya terimakasih banyak atas perhatiannya. Tapi kesenangan orang 'kan beda-beda ya, Bu. Saya suka Korea, Ibu sukanya ngurusin hidup orang."
"Permisi."
Setelah itu Shella langsung saja menarik tangan Al dan Mauren menuju mobil. Tidak mau lebih berlama-lama lagi menghadapi bibit-bibit ulat bulu.
Sebelum menyusul istri dan anaknya, Pak Arkan lebih dulu meminta maaf pada Bu Venika, atas perkataan istrinya yang mungkin sedikit tidak sopan.
Advertisement
Berhubung Ayahnya masih di ruang kerja dan Bundanya yang tengah beres-beres, El dan Al dibiarkan untuk belajar masing-masing dulu.
Namun, bukannya belajar, kedua bocah itu malah asik bergibah.
Tidak ada yang lebih seru dan menggebu-gebu, selain menceritakan betapa menyebalkannya Tamara dimata El, dan Mauren di mata Al.
Padahal Tamara adalah anak Della, yang tak lain dan tak bukan Kakak kandung dari Bundanya sendiri. Dan Mauren anak Lita Arvin, yang notabenenya teman seperjuangan Bundanya semasa sekolah.
Ya, ini karena anak Shella dua-duanya laki-laki, jadi tidak ada satupun yang akur dengan anak kakak maupun temannya sendiri.
"Terus Airin pinjam pensil warna Abang, ternyata buat Tamara. Padahal kan Abang tidak suka bagi-bagi sama Tamara."
"Besok-besok Abang tidak usah bagi-bagi sama Kak Airin juga," saran Al.
El mengangguk, "memang teman-teman Tamara semuanya sama seperti Tamara, menyebalkan."
"Mauren juga menyebalkan, dia caper sama Ayah sama Bunda."
"Berarti semua perempuan menyebalkan, kecuali Bunda."
"Betul, betul, betul."
El menoleh pada adiknya, "untung Al tidak perempuan, jadi tidak menyebalkan."
"Tapi, Omaya dan Omana juga tidak menyebalkan," sahut Al.
"Ah, betul juga."
Omaya adalah Omah Maya, Bunda dari Shella. Sedangkan Omana ialah Omah Rina happy kiyowok, Mama dari Pak Arkan.
"Sebentar," ujar El, ia lalu menuliskan sesuatu di buku catatannya.
"Abang tulis apa?" Tanya Al, setelah Abangnya cukup lama berkutik dengan buku tulis dan bolpoinnya. Ia bisa melihat, tetapi belum bisa membaca, jadi ya tetap saja tidak tahu apa yang Abangnya tulis.
"TARAAAAAAAAAAA." El menunjukkan tulisan tangannya yang masih berantakan, karena bocah itu sangat malas belajar menulis.
Menurutnya, asal masih bisa dibaca, itu aman.
Al hanya mengedip-ngedipkan kedua matanya, melihat tulisan tangan sang Abang dengan sangat serius dan seksama.
"Ini catatan, biar kita tidak lupa."
Hening
"Gimana?" Tanya El.
"Apa?" Al balik bertanya.
"Bagus tidak?"
"Ini bacanya seperti apa?" Pertanyaan Al membuat El menepuk jidatnya sendiri.
Bisa-bisanya ia lupa kalau adiknya ini belum bisa membaca. Sekolah TK 'kan hanya bernyanyi dan mewarnai.
Nyanyi terus, tapi nggak jadi idol😌
"Jadi, ini Abang tulis nama-nama perempuan yang menyebalkan. Ada Tamara, Airin sama Mauren."
"Baguuuus, Al sukaaaaa." Al sontak mengacungkan kedua jempolnya, bertepuk tangan kegirangan.
"Gibah terooooooosss." Tiba-tiba Ayahnya muncul dari belakang sofa, bersama sang Bunda yang membawa nampan berisi susu dan cemilan.
"Gibah itu apa?" Tanya Al.
"Gibah itu, menceritakan kejelekan orang lain," balas Bundanya. Shella meletakkan nampan di atas meja, lalu duduk bergabung dengan anak-anaknya.
"Al tidak bilang Mauren jelek, Al cuma bilang kalau Mauren menyebalkan," balas Al, merasa tidak terima dengan perkataan Bundanya.
"Menceritakan kejelekan itu bukan berarti bilang kalau orang itu jelek. Abang El bilang Tamara menyebalkan dan diceritain ke Al, sama saja artinya gibah. Sebaliknya, Al cerita kalau Mauren menyebalkan, juga gibah," jelas Ayahnya.
Rentetan kalimat Ayahnya hanya berputar-putar saja di otak kecil El dan Al, belum sepenuhnya masuk dan dapat dipahami.
"Berarti Ayah sama Bunda juga suka gibah Papi Jaemin."
"Kan Bunda nggak pernah nyeritain kejelekan Papi Jaemin, karena Papi Jaemin nggak ada jeleknya," sahut Shella dengan penuh bangga.
"Inget, nggak ada manusia yang sempurna." Pak Arkan menyeruput kopi, berbicara tetapi tidak sambil menatap istrinya.
"Ya emang nggak ada, Bunda juga nggak bilang kalo Jaemin itu sempurna. Dia emang ada kekurangannya, tapi kekurangan itu bukan berarti kejelekan."
"Apa kekurangan Papi Jaemin?" Tanya El.
"Nggak bisa dimiliki," balas Pak Arkan tanpa pikir panjang, ia berbicara tepat di samping telinga istrinya.
"Iya denger, nggak usah di telinga juga kali." Shella menabok paha suaminya cukup kencang.
Niat Pak Arkan untuk mengambil cemilan di meja, teralihkan dengan tulisan di buku catatan El yang mencuri perhatiannya.
"Ini tulisan Abang?" Tanyanya.
El mengangguk antusias, "iya, Ayah."
"Tidak usah bagi-bagi apa?" Shella bertanya pada anak sulungnya, setelah membaca tulisan di buku catatan El.
"Apa aja. Apa aja yang El punya, El tidak mau bagi-bagi sama mereka."
"Berarti El pelit dong."
"Nggak papa, kan pelitnya sama Tamara sama Airin saja, tidak sama yang lain."
"Berarti El juga pilih-pilih temen."
El diam beberapa saat, menatap Bunda dan Ayahnya yang juga sedang menatapnya. "Katanya kan teman memang harus dipilih, Bunda saja temannya cuma Onty Lita dan Om Arpin."
Benar juga.
Shella memundurkan duduknya dan menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tak gatal.
Benar saja, mungkin anak-anaknya memang keturunan intropet seperti dia.
Intropet in public.
Siluman reog in privat.
"Ayah juga mau bikin tulisan deh." Pak Arkan mengambil buku catatan El, lalu menuliskan sesuatu dibawahnya.
"Nulis apa? Ayat kursi?" Tanya Shella.
"Jeng, jeng, jeng." Bapak dari dua anak itu membentangkan bukunya dan menunjukkan tepat didepan wajah istrinya.
Shella memicingkan matanya, "nggak kurang gede itu nama Jaemin?" Tanyanya dengan tampang garang.
"Nggak, bolpoin mahal," balasnya.
"Nguras dompet seberapa sih? Dibawa belanja seminggu juga dompet kamu masih tebel."
"Ya tebel sih tebel, tapi kan kamu kalo udah ngeliat printilannya Jaeman, nggak kira-kira ngurasnya."
"Itu mah belum seberapa, sayang, tadi di toko juga cuma dua juta."
"CUMA, sodara-sodara, tolong di garis bawahi."
"Ya, dua juta bagi kamu kan nggak seberapa. Kamu jual tanda tangan juga laku."
Pak Arkan menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa, kemudian menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan.
"Sabar, Arkan, sabar."
"Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian."
"Cakeppp," sahut Shella sambil mengacungkan jempolnya.
"Sekarang kita pantau dahulu, baru kita sleding kemudian," sambungnya.
Sontak bantal sofa langsung mendarat dengan tidak hormat di kepalanya.
"OH GITUUUU?? ADA RENCANA MAU NYLEDING ISTRI SENDIRI?" Tanyanya mencak-mencak.
"Enggaaaaak, cuma pantun doang."
Sekarang giliran Shella yang menarik nafas panjang-panjang, bisa darah tinggi ia kalau terlalu baper dengan bercandaan suaminya.
"Sabar, Shella, sabar," ujarnya mengikuti perkataan suaminya berapa menit lalu.
"Salah siapa itu toko jual barang lucu-lucu, kan Shella jadi tergoda."
Selalu saja, tidak mau disalahkan.
Dasar perempuan.
"Besok-besok, kalo liat barang lucu tinggal diketawain aja. Nggak usah dibeli."
Advertisement
- In Serial183 Chapters
You’ve Got The Wrong House, Villain
As if it’s not bad enough to be reincarnated as a child in a slum, she went into a crime town and became an experiment. When I saw a man who came to destroy the research center, I realized that this was the world of a harem novel. Since then, she has been living a normal life away from the research center, and the main character has moved into the house next door. I think I’m an extra in the heroine’s neighborhood. Originally, the main character had to save a fallen villain from a fatal wound and receive a mad obsession in return. But why is it that the villainous servant fainted in front of my house? The male villain, Lakis Avalon, was the king of the dark world, the very man I met at the lab before. “……” I looked around for a while and pushed the man’s body. You’ve got the wrong house, villain.
8 528 - In Serial84 Chapters
I Have Become The Heroes’ Rival
“I’m gonna live with Irene for the rest of my life”
8 602 - In Serial21 Chapters
Maybe it would have been a good idea not to wish for a harem? Completed
Mackay and Seff were two typical high school boys, happily making grandiose fantasies about their future relationships with girls. Of course, in reality, neither knew a single girl to even talk to, let alone do anything more. So, one day, in one of their reality free discussions, they each made a wish for a harem. They got their wishes. Sort of... Things get complicated. Very complicated. They may come to regret their wishes. Oh, they also get mixed up with at bit of a police procedural. This story has multiple characters and multiple Points of View. Every POV change is clearly marked with a new header. Inside each POV section, the POV character’s thoughts are in italics. This fiction is fully written and proof read (that is, a poor man’s proof read with the help of Word). It comes to about 90,000 words (about 330 RoyalRoad pages). It will be published in 19 chapters, roughly one chapter per day. Reviews and comments are much appreciated. And if you actually read all the way to the end, I will be extremely grateful if you could post a comment saying so. After all, the whole point of me publishing this is to share the story with at least one other person, and to know about it. And, yes, I don’t have any graphic artist skills. How did you guess?
8 255 - In Serial99 Chapters
The Author Who Became A Villainess
Hyejin gets sucked into her own book she has written. There she became the villainess of her book who is destined to die in the hands of her own exclusive butler.Unable to escape her new life, she embraces it and decided to change her fate that she wrote, in hopes she won't get killed by her butler. It doesn't matter if her life becomes tough or messy as long as she's alive, she doesn't mind!....."Milady do you favour me or his highness more?""Of course you.""Then me or your brother?""...You?""Am I your favourite, milady?""...."Why is her butler suddenly acting this way? All she did was stop abusing him.PSA: there are some swear words in this bookThis is my own story! I did not copy from anyone. The characters are my own that I made as well. On Webnovel as well.[To be edited!]Highest ranking:#1 Butler#1 Original characters#1 Isekai#1 Anotherworld#1 Comedy#2 Female Protagonist#1 Reincarnation#1 Medieval#3 Author#2 Shoujo#7 Romance#23 Original#54 Slowburn#704 Love
8 182 - In Serial39 Chapters
Daddy's Little Girl
Emily I didn't expect to meet him when I went to my cousin's bachelorette party, didn't expect to go home with him, and definitely didn't expect to be pregnant with his child with no way to tell him. Here I am 4 years later raising our daughter, when I run into him. After breaking the news, he doesn't just want Cora. He wants a family. BraxtonOne night with Emily has left me wanting more even years later, so when I run into her and she tells me we have a daughter I'm shocked. When the shock wears off, I realize this is the perfect chance to win her heart and my daughter's. Emily
8 361 - In Serial10 Chapters
Waltz Under The Moonlit Night
I have dedicated a majority of my life to playing the piano. Practicing for countless of hours everyday, without rest. Why? you ask. Well, it's because I wanted my father, the world-renowned pianist, to look down and finally acknowledge my presence. But lately, It's feels like it's all for naught. Constant failure and loses in many competitions. After years, I've grown to hate my cold father, who refuses to acknowledge me and had abandoned his own family. One day, I lost a huge chance for my name to be known in the world of classical music. As expected, he listed off all my flaws and left. But before he left, he told me to visit my mother's hometown, saying that I'll find something there that I was lacking. At first, I was reluctant, but I decided to go anyways. And on that day, My world changed completely.
8 113

