《Yes! Mr. Husband [Season 2]》2. Two

Advertisement

"Oh gitu sekarang? Mau nyamain istrinya sama monyet?" Tanya Shella, ia berdiri, berkacak pinggang dan menatap tajam pada suaminya.

"Loh, kan kamu yang minta disamain sama monyet," sanggah suaminya.

"Mana ada minta, orang kamu yang nanya duluan."

"Kan aku udah jawab, yaudah, artinya udah selesai, nggak ada persamaannya antara kamu sama monyet. Tapi kamu malah ngungkit lagi, nanya-nanya persamaan kamu sama monyet itu apa, padahal udah jelas-jelas nggak ada persamaannya."

"Ya, kan, kirain aja kamu mau gombalin Shella," ketusnya. Perempuan itu berpindah duduk ditempat biasa ia dandan.

Pak Arkan hanya diam, memperhatikan istrinya dari pantulan cermin rias didepannya.

Memperhatikan Shella yang tengah menekuk wajahnya dengan bibir dimajukan.

Tidak ada yang berbeda, dari kebiasaan perempuan itu ketika ngambek.

Ia tersenyum, berjalan pelan dan berdiri di belakang istrinya. "Sekarang aku tau apa persamaan kamu sama monyet," ujarnya.

Shella enggan menoleh, ia sama-sama menatap suaminya hanya dari pantulan cermin.

"Mau tau nggak?" Tanya Pak Arkan.

"Apa?"

"Sama-sama suka pisang," balasnya sambil tersenyum mesum.

Shella sontak menoleh dengan kedua alis yang bertaut, "maksud--"

"Iya, sama-sama suka pisang kan?" Ulang suaminya dengan senyum yang semakin lebar.

Kedua mata Shella langsung membulat begitu paham dengan isi kepala suaminya, yang mana semakin tua malah semakin kotor.

Pak Arkan menundukkan kepalanya, menempelkan dahinya dengan dahi Shella. "Kamu laper nggak?" Tanyanya.

Shella mengangguk polos, "laper."

"Mau pisang?"

"ARKAAAAANNNNNNN!!!!!"

🦋🦋🦋

"Al mau disuapin?" Tanya Shella pada anak bontotnya.

Dirgantara Family kini sedang kumpul di meja makan, menyantap makan malam yang sudah disiapkan oleh Bi Ayu, Pembantu Rumah Tangga barunya, sejak 5 bulan yang lalu.

Al menggelengkan kepalanya, "tidak mau, Bunda. Al mau makan sendiri saja, seperti Abang El," balasnya.

"Beneran?"

Lagi-lagi Al mengangguk, "kata Bu Guru, kita harus menghargai pemberian Tuhan. Al kan sudah diberi dua tangan, jadi Al harus bisa makan pakai tangan Al sendiri."

Shella tersenyum lebar, merasa bangga mendengar jawaban anaknya. "Pinter sekali anak Bundaaaa," pujinya.

"El tidak dipuji?" Tanya si sulung.

"Coba kasih Bunda alesan, kenapa Bunda harus puji El."

El meletakkan sendok dan garpunya di piring, "gambar layang-layang El yang kemarin, tadi pagi dinilai sama Bu Guru, dapet 87. Di kelas, nilai El yang paling tinggi," tuturnya.

"Tamara cuma dapet 80, gambarnya jelek, Nda. Masa layang-layang tidak ada buntutnya," sambungnya menggebu-gebu.

"Waahh, Abang Al kereennn," puji adiknya sembari bertepuk tangan.

Advertisement

"Keren karena dapet 87?" Tanya El mengpede.

Al menggeleng, "keren karena bisa ingat nilai Kak Tamara."

"Ingat dong, kan Tamara pamer ke meja Abang."

"Terus bagaimana?"

"Terus dia malu karena nilai Abang lebih tinggi, terus dia ngadu ke Kenzo, tapi Kenzo tidak jawab apa-apa."

Al kembali bertepuk tangan, "waahh, Abang Kenzo kereennn juga."

"Kenapa keren?"

"Karena mau cuekin Kak Tamara," balasnya dengan jujur.

El beralih menatap Bundanya, "Bunda tidak mau memuji El?" Tanyanya.

"Mau dong," balas Shella tersenyum manis. "Makasih ya, Abang, karena udah mau belajar sungguh-sungguh sampe dapet nilai tertinggi di kelas. Mau nyelesain gambar layang-layang sampe rela nggak pergi main, gonta-ganti kertas gambar biar dapet hasil yang bagus."

"Pokoknya anak-anak Bunda paling keren. Dan, lebih keren lagi kalo dapet nilai tinggi tanpa harus merendahkan nilai orang lain."

"Bunda tidak suka El ledekin nilai Tamara?" Tanya El.

"No," balas Shella tanpa pikir panjang.

El mengangguk-anggukkan kepalanya, "baiklah, El tidak akan meledek Tamara lagi, kecuali Tamara yang mulai duluan."

"Lebih lebih lebih keren lagi, kalo Tamara mulai duluan dan El nggak ngeladenin," sambung Ayahnya yang sedari tadi diam dan asik makan.

"El tidak mau nurut kata Ayah," balasnya acuh.

"Kenapa?"

"Ayah kan tidak memuji El." Bocah laki-laki bernama lengkap Gabriel Arsenio Dirgantara itu melipat kedua tangannya didepan dada, menatap Ayahnya dengan wajah ditekuk dan bibir dimajukan.

"Ayah juga tidak memuji Al," sahut adiknya tak mau kalah.

Pak Arkan tersenyum tipis, "kan udah diwakilin sama Bunda."

"BEDA," balas keduanya dengan kompak.

"Sama kok, Ayah sama Bunda kan satu paket."

"Tidak sama." El tetap kekeuh dengan jawabannya.

Al menoleh pada Abangnya, "Ayah sama Bunda satu paket, Abang. Seperti Papi Jaemin dan Papi Jeno," ujarnya.

El ikut menoleh, "katanya Om Jeno," protesnya.

Al menggaruk-garuk belakang kepalanya, "kata Bunda banyak Papi banyak rezeki."

Jawaban El membuat Pak Arkan sontak menoleh pada istrinya, "petuah dari mana itu?" Tanyanya.

Shella langsung menunjukkan cengirannya, "dari KBBS, Kamus Besar Bahasa Shella."

"Cih." Pak Arkan membuang muka.

"Ih, bener tau, Ay. Banyak anak aja banyak rezeki, berarti banyak lakik juga banyak rezeki dong, kan banyak yang kerja."

"Yakan mereka kerja buat masa depan mereka masing-masing, Shella, bukan buat kamu." Pak Arkan menempelkan telapak tangannya di dahi Shella.

"Yuk bisa yuk, asyhaduuuuu---"

"Bentar, Ay," potong Shella, ia menepis pelan tangan suaminya.

Advertisement

"Kamu inget kan? Shella pernah bilang, kalo rezeki dari Tuhan nggak selamanya berbentuk uang."

"Hm, terus?"

"Ya, berarti rezeki yang Papi Jaemin dan Papi Jeno kasih tuh emang nggak berbentuk uang. Tapi berbetuk kebahagiaan, keceriaan, dan ke--"

"Bisa diceritakan, Kak, bagaimana gejala awalnya?"

Shella mencebikkan bibirnya, "gejala awalnya dateng tanpa permisi, Kak, jadi saya kurang inget," balasnya.

"Udah diem, lanjut makannya," perintah suaminya.

"Ish, Shella kan emang diem."

"He'em, diem-diem Chek Out album."

"Hehe."

🦋🦋🦋

Selesai makan malam, Shella mengajak anak-anaknya untuk berkumpul di ruang keluarga, sembari menyuruh mereka membawa tugas-tugas sekolahnya untuk dikerjakan sekalian.

Ada ataupun tidak ada tugas dari guru, Al dan El terbiasa untuk tetap belajar setelah makan malam.

Kebiasaan ini sudah Shella tanamkan semenjak El masuk Sekolah Dasar, ia hanya ingin anak-anaknya disiplin dan bertanggung jawab dengan tugasnya masing-masing.

Meskipun Ayah dari kedua anak itu berprofesi sebagai Dosen, Al dan El tetap harus belajar mencari dan menemukan jawabannya sendiri, setelah selesai baru di koreksi oleh Ayah dan Bundanya kemudian dibenarkan jika ada yang keliru.

Meskipun Bundanya semasa sekolah sangat amat malas dan slengean, Shella tidak ingin sifat jelek itu menurun pada kedua anaknya.

"Bunda," panggil El.

"Iya."

"Kalau ada perkalian dengan penjumlahan, yang dikerjakan dulu perkaliannya?" Tanyanya.

"Kalo di soal nggak ada tanda kurungnya, dikerjakan perkaliannya dulu. Tapi kalo ada tanda kurungnya, berarti yang di kurung harus dikerjakan dulu," jelas Shella.

"Ini tidak ada kurungnya." El menunjukkan buku tugasnya pada sang Bunda.

"Abang tambahin kurung saja, biar tidak kabur," timpal adiknya yang tengah mewarnai.

"Mana bisa begitu, sayang," sanggah Bundanya.

"Kenapa tidak bisa?" Tanya Al.

"Kan soalnya udah dari Bu Guru, jadi nggak boleh diganti-ganti sembarangan."

"Kalo diganti-ganti, nanti jawabannya jadi salah," sambung Ayahnya. Meskipun kedua matanya fokus pada layar laptop, ia tetap mendengarkan percakapan anak-anak dan istrinya sedari tadi.

Al mengangguk-anggukkan kepalanya, "mianhae, Bunda."

Shella mengangguk dan tersenyum manis, berbeda dengan Pak Arkan yang lagi-lagi mendengus tak suka, mendengar bahasa asing yang anaknya ucapkan.

🦋🦋🦋

Anak-anaknya sudah selesai belajar dan sudah terlelap di kamar masing-masing.

Ah, maksudnya di kamar mereka berdua. Karena Al masih meminta satu kamar dengan Abangnya, tidak mau tidur sendirian.

"Kamu udah nggak ada kerjaan?" Tanya Shella pada suaminya yang tengah bermain ponsel dengan tubuh menyandar di kepala ranjang.

"Enggak ada, udah selesai semua."

Shella mengangguk-anggukkan kepalanya, "Shella tidur duluan ya," pamitnya.

Pak Arkan melirik jam dinding di kamarnya, "baru setengah 10. Kamu udah ngantuk?"

"Shella capek."

Pak Arkan meletakkan ponselnya di meja nakas, ia merubah posisi duduknya, menjadi sepenuhnya menghadap kepada istrinya. Tangannya terulur untuk menyingkirkan anak rambut Shella ke belakang telinga, mengusapnya dengan lembut.

"Kamu capek karena setiap hari ngurus anak-anak yah?"

Shella menggeleng cepat, "enggak, bukan capek karena itu. Tapi karena Shella lagi pengin tidur cepet aja," balasnya.

"Maaf ya, sayang, aku jarang di rumah. Jarang ada waktu buat kamu, apalagi buat anak-anak."

Shella menggenggam tangan Pak Arkan yang masih bertengger di kepalanya, "nggak papa, nggak usah minta maaf," balasnya dengan senyuman tulus.

"Kamu kan kerja buat Shella sama anak-anak juga, artinya kamu tangung jawab sama keluarga. Dan ngurus anak-anak juga udah jadi tugas dan tanggung jawab Shella."

"Nggak ada yang perlu dikeluhkan, nggak ada yang perlu dimintai maaf. Semua udah punya tugas dan tanggung jawab masing-masing."

"Meskipun kamu kerja, tapi kan kita tiap malem dan tiap weekend masih ada waktu buat quality time. Jadi kamu nggak perlu minta maaf dan merasa bersalah gitu."

Pak Arkan dibuat tersenyum mendengar jawaban istrinya, meskipun kadang tingkah lakunya masih kekanak-kanakan, tidak dipungkiri kalau perempuan itu juga bisa menjadi dewasa tiba-tiba.

Seperti sekarang ini, jawaban perempuan didepannya benar-benar membuat Pak Arkan bangga dan merasa sangat bersyukur. Bersyukur karena Tuhan mempercayakan salah satu Bidadari surga untuknya.

"Kamu tau nggak, tadi pas El cerita soal gambar layang-layang tuh aku ngerasa nggak berguna banget jadi Ayah."

"Kenapa?"

"Soalnya aku sama sekali nggak tahu menahu soal gambar itu, padahal gambar itu El kerjain siang sampe malem hari kan? Dan aku nggak bantuin, bahkan nggak tau sama sekali."

"Nggak papa, kan pas itu kamu emang lagi banyak kerjaan. Lagian juga ada aku yang bantuin El," balas Shella masih dengan senyum manisnya.

"Aku masih berguna kan buat jadi suami dan Ayah dari dari anak-anak?"

Pertanyaan macam apa itu?

"Berguna atau enggaknya seorang laki-laki, nggak diukur dari seberapa tau dia tentang tugas anak-anaknya."

"So, you don't need to apologize, dan nggak perlu mikir yang aneh-aneh."

"Sampe Jaemin nyamperin Shella kesini pun, suami Shella ya tetep kamu, dan Ayah dari anak-anak ya tetep kamu. Nggak bakalan tiba-tiba ganti jadi Jaemin."

"Thank you."

Shella tersenyum, "sama-sama."

"Jika kamu merasa dirimu tidak berguna, maka ingatlah kancing baju Lee Jeno."

Pak Arkan mengernyitkan dahinya, tidak paham dengan perkataan istrinya. "Maksudnya?"

"Ya, karena kancing baju Lee Jeno lebih tidak berguna."

Pak Arkan masih tidak paham, sampai Shella mengambil ponselnya dan menunjukkan satu gambar yang ia maksud.

    people are reading<Yes! Mr. Husband [Season 2]>
      Close message
      Advertisement
      You may like
      You can access <East Tale> through any of the following apps you have installed
      5800Coins for Signup,580 Coins daily.
      Update the hottest novels in time! Subscribe to push to read! Accurate recommendation from massive library!
      2 Then Click【Add To Home Screen】
      1Click